RUU Papua Barat Daya Disetujui Sebagai RUU Inisiatif DPR

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Jumat, 08 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (7/7/2022) menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi RUU inisiatif DPR. Persetujuan ini dilakukan usai pengesahan UU pembentukan tiga provinsi baru Papua oleh DPR masih menyisakan protes dan kritik.

"Apakah RUU usul inisiatif Komisi II DPR RI tentang pembentukan Provinsi Papua Barat Daya dapat disetujui jadi RUU usul DPR RI?" tanya Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel selaku pimpinan Rapat Paripurna kepada anggota dewan yang hadir, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

"Setuju," jawab anggota dewan yang hadir.

DPR menugaskan Komisi II DPR melakukan pembahasan Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya bersama pemerintah. Pembahasan dilakukan setelah DPR mendapatkan surat presiden (Surpres) dan dapat dilakukan di masa reses dengan meminta izin kepada pimpinan DPR.

Demonstrasi menolak DOB Papua mendapat penjagaan ketat oleh aparat keamanan, sebelum dibubarkan di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (10/05/2022).(KOMPAS.COM/Roberthus Yewen)

Sebelumnya DPR telah mengesahkan tiga UU pembentukan provinsi baru Papua, yakni Papua Selatan dengan ibu kota di kabupaten Merauke, Papua Tengah dengan ibu kota di Kabupaten Nabire, dan Papua Pegunungan Tengah di Jayawijaya. 

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua, Yoel Luiz Mulait, mengatakan Provinsi Papua Barat Daya ini berada di wilayah hukum Papua Barat. Ia menyebutkan seharusnya DPR tidak buru-buru membahas pembentukan Papua Barat Daya ataupun mengesahkan tiga UU pembentukan provinsi baru di Papua. Pasalnya Mahkamah Konstitusi tengah menggelar uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

MRP mengajukan permohonan uji materi tersebut dan DPR duduk sebagai salah satu pihak termohon.

“Artinya DPR sejatinya harus taat hukum, bahwa UU ini diuji sementara menunggu putusan MK supaya ada kepastian hukum karena uji materi UU Otsus ini menyangkut soal kewenangan pemekaran,” ucapnya. .

Selain itu selama ini berbagai pemekaran di Papua sendiri belum pernah dievaluasi. Beberapa kabupaten hasil pemekaran dalam kondisi tak baik karena kurang sejahtera maupun dilanda konflik. 

“Kalau kita perhatikan evaluasinya itu belum ada,” jelasnya.

Sebelumnya Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, menganggap pemerintah dan DPR melakukan pelanggaran hak asasi atas orang Papua dengan pengesahan ini. Menurutnya pemekaran bukan cara menyejahterakan orang Papua namun justru menguras sumber daya alam Papua.

"Hari ini negara tidak berpikir untuk kepentingan orang Papua, tapi sumber daya alam Papua."

MRP sendiri hanya sekali bertemu dengan pemerintah untuk membahas usulan pemekaran dan menyatakan tidak setuju.

Direktur Amnesty International Indonesia sekaligus Co Founder Public Virtue Research Institute (PVRI), Usman Hamid, menyebutkan pendekatan pembangunan dan kebijakan di Papua harus dilaksanakan dengan partisipasi penuh Orang Asli Papua (OAP) sehingga wacana kesejahteraan yang diusulkan pemerintah pusat sejalan dengan harapan masyarakat. 

Pemerintah perlu melakukan pendekatan dialog damai bersama masyarakat Papua. Dengan kata lain, masyarakat Papua harus diposisikan sebagai subjek yang memiliki peran dalam pembangunan dan perumusan kebijakan di tanahnya sendiri.

“Pemerintah harus melakukan penundaan dan meninjau ulang rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), setidaknya hingga adanya kajian yang komprehensif dan Putusan MK mengenai Judicial Review Revisi UU Otsus Papua,” tulisnya dalam pernyataan tertulis PVRI dan MRP.