Ada Lebih dari 2.700 Tambang Ilegal Tersebar di Indonesia

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 15 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat lebih dari 2.700 lokasi pertambangan tanpa izin (Peti) atau tambang ilegal yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, lokasi Peti batu bara ada sekitar 96 lokasi, dan Peti mineral sekitar 2.645 lokasi, berdasarkan data triwulan ketiga 2021. Salah satu lokasi Peti terbanyak ada di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Herdadi mengatakan, Peti adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horizontal di dalam masyarakat. Selain itu, Peti juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap Negara maupun masyarakat sekitar.

"Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagai mana mestinya. Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya," kata Sunindyo, dalam siaran media yang dipublikasikan, Selasa (12/7/2022).

Sunindyo mengklaim, pemerintah tidak tinggal diam menghadapi tambang ilegal. Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam, Kementerian ESDM bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian, terus bekerja sama untuk mengatasi Peti.

Aktivitas PETI yang dilakukan masyarakat di Sungai Batanghari. Walhi Jambi menilai pelegalan tambang rakyat harus dikaji ulang./Foto: Antara/Muhamad Hanapi

"Upaya yang dilakukan antara lain dengan inventarisasi lokasi Peti, penataan wilayah pertambangan, dan dukungan regulasi guna mendukung wilayah pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan pemerintah daerah, hingga upaya penegakan hukum," katanya.

Dari sisi regulasi, Peti melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Pasal 158 UU tersebut menyatakan, orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar. Sedangkan bagi setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, namun melakukan kegiatan operasi produksi, maka akan dipidana dengan pidana penjara diatur dalam Pasal 160.

Pasal 161 UU Minerba ini juga diatur, setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara, yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.

Sunindyo menyebut, aktivitas Peti membawa banyak dampak negatif, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan. Dampak sosial Peti yakni menghambat pembangunan daerah, karena tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.

"Peti juga berdampak bagi perekonomian Negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat."

Dari sisi lingkungan, Peti akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.

Pada umumnya lahan bekas Peti dengan metode tambang terbuka yang sudah tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan Peti tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang mengalir di sekitar Peti bersifat asam.

"Ini berpotensi mencemari air sungai. Bahaya lain yang ditimbulkan Peti adalah batu bara yang terekspos langsung ke permukaan berpotensi menyebabkan swabakar, sehingga dalam skala besar berpotensi menyebabkan kebakaran hutan," kata Sunindyo.

Pelaksanaan Peti juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD), tidak adanya ventilasi udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang bawah tanah.