Rekomendasi C20 Untuk Reformasi Pajak Internasional

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Rabu, 20 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Organisasi masyarakat sipil Indonesia dan negara-negara lainnya yang tergabung dalam Tax and Sustainable Finance Working Group (TSFWG) C20 memberikan enam rekomendasi terkait reformasi perpajakan internasional. Rekomendasi ini diberikan sebagai tanggapan atas pertemuan Menteri Keuangan, Bank Sentral, dan negara-negara G20 (3rd Finance and Central Bank Deputies Meeting).

“TSFWG C20 yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil Indonesia dan negara-negara lainnya, dalam beberapa hal mendukung dilanjutkannya agenda-agenda reformasi perpajakan internasional baik yang diinisiasi oleh Indonesia maupun yang telah disepakati sebelumnya oleh negara-negara G20,” tulis keterangan tertulis yang diterima oleh redaksi

Pada pertemuan 3rd Finance and Central Bank Deputies Meeting, G20 membahas beberapa isu yakni dua pilar perpajakan internasional, forum inklusif untuk pendekatan mitigasi karbon, pajak dan pembangunan, transparansi pajak, serta implementasi proyek BEPS.

Rekomendasi tersebut diantaranya adalah:

  1. Meminta G20 dan negara-negara lain untuk menyerukan pembentukan badan PBB tentang Pajak Global. Badan ini akan memiliki mandat internasional dan bukan hanya mewakili negara kaya, namun juga negara berkembang dan miskin untuk menerapkan aturan dan peraturan lintas batas dan lintas yurisdiksi. Ini akan menjadi forum global yang benar-benar inklusif, universal, dan demokratis yang memiliki legitimasi melalui peningkatan keterwakilan dan partisipasi negara berkembang dan negara miskin.
  2. Mengenai Pilar 1, kami mengusulkan pengurangan lingkup ambang batas (threshold) dari yang saat ini sebesar 20 Miliar Euro supaya lebih banyak lagi perusahaan multinasional yang masuk dalam skema Pilar 1 dan benefit yurisdiksi pasar menjadi lebih maksimal. Berikutnya kami mengusulkan minimal 30 persen dari residual profit (seluruh laba diatas 10 persen dari penghasilan) akan diberikan pada yurisdiksi pasar.
  3. Mengenai Pilar 2, yakni Global Anti Base Erosion (GloBE), kami mengusulkan tarif pajak minimum global untuk perusahaan multinasional ditetapkan pada kisaran 21-25 persen, bukan 15persen. Berikutnya, kami mendesak perusahaan multinasional diwajibkan untuk mempublikasikan pelaporan negara per negara (CbCR) yang dapat diakses oleh publik untuk transparansi perpajakan yang lebih baik. Selain itu, kami mendesak untuk menurunkan ambang batas kewajiban pelaporan CbCR yang pada saat ini sebesar 750 Juta Euro agar lebih banyak lagi perusahaan multinasional yang masuk dalam skema Pilar 2.
  4. Kami menegaskan kembali bahwa negara-negara G20 harus membiayai infrastruktur/ layanan publik melalui alternatif lain berupa pajak kekayaan yang juga berfungsi sebagai sarana redistribusi kekayaan dan untuk mengurangi ketimpangan, melalui mekanisme tarif tetap pada nilai kekayaan diatas 10 Juta Dolar AS.
  5. Kami menuntut Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) untuk menghapus beban pajak yang tidak adil pada perempuan dan mengadopsi perpajakan yang progresif, redistributif, dan setara gender – termasuk bentuk perpajakan baru atas modal dan kekayaan dikombinasikan dengan pengurangan ketergantungan pada pajak konsumsi. Kemudian kami menuntut semua pemimpin G20 untuk menghapus bias gender dan diskriminasi dalam kebijakan pajak untuk memastikan bahwa pendapatan pajak dinaikkan dan dibelanjakan dengan cara yang mempromosikan kesetaraan gender. 
  6. Kami mendesak negara-negara untuk memastikan adanya mekanisme pajak karbon yang lebih transparan dan akuntabel. Terkait dengan rencana G20 dan OECD untuk membentuk Inclusive Forum on Carbon Mitigation Approach, yang diharapkan mengulang keberhasilan model Inclusive Framework on BEPS, kami mendukungnya, namun pembuatan mekanisme pajak karbon yang benar-benar inklusif dan demokratis lebih mungkin dilakukan di bawah mekanisme PBB. 

Sesi Foto Pemimpin Dunia di G20. (Flickr)

Selain itu terkait dengan agenda-agenda keuangan berkelanjutan mereka menuntut G20, OECD G20, dan negara-negara lain untuk mengadopsi prinsip inklusif dalam meningkatkan aksesibilitas dan keterjangkauan instrumen keuangan berkelanjutan, yaitu dengan mempertimbangkan karakteristik dari kelompok sasaran di dalam desain dan pembuatan keputusan terkait instrumen keuangan berkelanjutan, termasuk memastikan bahwa instrumen keuangan berkelanjutan menjalankan proses Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free Prior Informed Consent/ FPIC). 

Instrumen keuangan berkelanjutan juga seharusnya tidak digunakan untuk membiayai sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) yang berdampak pada perubahan iklim dan kerusakan lingkungan dan berkontribusi terhadap hampir seperempat dari total emisi global. Terlebih sektor AFOLU yang sangat rentan terhadap pengambilalihan dan penggunaan tanah secara sewenang-wenang 

Mereka juga mendesak untuk memastikan instrumen keuangan berkelanjutan benar-benar berkontribusi terhadap pencapaian target Persetujuan Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Uji tuntas dan verifikasi harus dilakukan dalam menilai kelayakan dari instrumen keuangan berkelanjutan untuk menghindari dampak perubahan iklim, memicu deforestasi, hilangnya mata pencaharian, sumber daya alam, tanah, dan rumah, dan bahkan memicu kekerasan dan pelanggaran dari hak asasi manusia. 

G20 juga harus memfasilitasi mekanisme restrukturisasi utang secara jelas dan tepat waktu yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mencakup semua kreditur untuk menyelesaikan krisis utang secara berkelanjutan jangka panjang untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Terakhir, mereka mendesak G20 untuk mengajukan lebih banyak inisiatif pengurangan utang di luar Inisiatif Penangguhan Layanan Utang/DSSI, Kerangka Kerja Umum/CF, dan restrukturisasi inisiatif pengurangan utang IMF (misalnya penyaluran kembali Hak Penarikan Khusus/SDR).