Catatan untuk Eropa dan Indonesia dalam Penyelamatan Hutan Alam

Penulis : Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Rabu, 27 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) atau Peraturan Uji Tuntas adalah usulan yang dilakukan oleh Uni Eropa untuk memastikan komoditas dan produk tertentu bebas dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Krisis iklim yang hari ini semakin menjadi-jadi, mungkin adalah salah satu alasan hadirnya EUDDR.

Regulasi ini merupakan pintu masuk untuk mendorong negara-negara produsen, termasuk Indonesia untuk menghasilkan produk yang legal dan bebas deforestasi. Enam komoditas yang akan menjadi perhatian antara lain kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, kedelai dan daging sapi.

Peraturan produk bebas deforestasi dan degradasi telah diwacanakan sejak 17 November 2021. Uni Eropa melihat bahwa penyebab utama terjadinya deforestasi dan degradasi hutan adalah ekspansi lahan agrikultur yang mayoritas menyasar lahan-lahan berhutan. Selaras dengan data yang dimiliki oleh Auriga Nusantara, deforestasi turut diakibatkan karena adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Hingga 2019 luas hutan terdeforestasi yang diakibatkan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit seluas 2,9 juta hektar. Grafik 1 menunjukkan tingkat deforestasi yang diakibatkan perkebunan kelapa sawit secara time series sejak 2001-2019.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Langkah ini--pengajuan proposal EUDDR--diambil oleh eropa sebagai konsumen untuk mengurangi dampak deforestasi dan degradasi hutan. Pada 28 Juni 2022, Dewan Uni Eropa bersepakat untuk menjadikan Uji Tuntas sebagai syarat utama bagi para produsen untuk melakukan ekspor, tak terkecuali untuk negara yang tergabung di Uni Eropa. Dalam konferensi persnya, Dewan Uni Eropa turut melakukan re-definisi  forest degradation dan memperkuat human right aspect dengan mengacu pada dokumen UN Declaration pada Rights of Indigenous Peoples.

Ruang Kosong Peraturan Uji Tuntas

Meski demikian, penulis beranggapan bahwa masih terdapat ruang kosong yang sebetulnya dapat dimaksimalkan dalam proposal Uji Tuntas. Salah satu poin yang menurut penulis memuat persoalan adalah penilaian risiko (benchmarking).

Dewan Uni Eropa telah menyatakan sepakat untuk membangun sistem penilaian risiko. Sistem ini nantinya akan berkaitan dengan tingkat risiko deforestasi yang ditetapkan menjadi 3 kategori yaitu rendah, standar atau tinggi. Kategori yang ditetapkan akan berpengaruh pada tingkat kewajiban negara produsen dalam  melakukan inspeksi dan kontrol.

Artinya, ketetapan ini akan berpengaruh pada uji tuntas yang lebih ketat untuk negara berisiko deforestasi tinggi dan uji tuntas sederhana untuk negara berisiko rendah. Hal ini akan menjadi celah bagi negara Origin untuk memanfaatkan negara risiko rendah menjadi first hand importer country sebelum komoditas tersebut sampai di destinasi utama (Destination Importer).

Sebagai contoh, Indonesia yang sudah pasti menjadi negara dengan tingkat risiko deforestasi tinggi akan mengalami perbedaan perlakuan Uji Tuntas dengan Singapura, yang tentu masuk dalam kategori risiko rendah, jika dilihat dari luas penguasaan atau kepemilikan hutan dan perkebunan kelapa sawit.

Dilihat dari data ekspor yang dimiliki oleh resourcetrade.earth terlihat bahwa pada 2015 Singapura melakukan impor CPO yang mayoritas bersumber dari Indonesia. Masih di tahun yang sama, Negara yang dijuluki sebagai Kota Singa (The Lion City) turut melakukan ekspor ke salah satu negara Uni Eropa yaitu Spanyol, dengan total ekspor CPO sebesar 2.697,30 kg.

Oleh sebab itu, dalam penerapan mekanisme Uji Tuntas, Uni Eropa harus mampu memastikan dan melakukan identifikasi asal muasal (hulu) komoditas berisiko deforestasi (deforestation-risk-comodities) guna memastikan bahwa produk tersebut benar-benar bebas deforestasi dan degradasi hutan.

Ilusi Nol Deforestasi

Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar produk komoditas kayu dan sawit harus mampu mengakomodir regulasi yang telah di susun oleh Uni Eropa, mengingat Uni Eropa adalah salah satu destinasi ekspor dari kedua komoditas tersebut. Mengutip data trase.earth, pada 2015 Eropa menjadi destinasi ekspor terbesar kedua setelah China jika dikategorikan berdasarkan blok dagang.  Pada tahun tersebut Indonesia mengekspor 3,8 juta ton CPO ke eropa yang kemungkinan bersumber dari lahan dengan risiko terdeforestasi (Oil Palm Deforestation Risk) seluas 28.895 hektare.

Tak terkecuali untuk komoditas kayu, data yang dimiliki oleh Auriga Nusantara menunjukkan dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang (2013-2021), Indonesia masih melakukan ekspor produk komoditas kayu ke pasar eropa dengan rata-rata ekspor per tahun sebesar 1.561.177,49. Terlebih, sampai saat ini Indonesia masih menjalin Kerjasama dengan Uni Eropa terkait dengan lisensi FLEGT-VPA.

Meskipun Indonesia telah memiliki sistem verifikasi seperti SVLK untuk komoditas kayu dan ISPO untuk komoditas sawit, penulis beranggapan bahwa system yang ada saat ini tidak cukup untuk memastikan produk-produk yang dihasilkan benar-benar bebas dari tindakan deforestasi. Banyak kajian yang mengatakan bahwa produk yang saat ini beredar tidak dihasilkan dari industri yang benar-benar menjunjung prinsip keberlanjutan lingkungan.

Pun sama dengan deklarasi komitmen nol deforestasi atau NDPE (No Deforestation, Peatland Development and Exploitation) yang dilakukan oleh banyak produsen nyatanya hanya menjadi sebuah instrumen untuk meyakinkan publik dan pembeli (green-washing), bukan menjadi alat utama dalam menjalankan kegiatan bisnis yang jauh dari kata perusakan lingkungan.

Catatan bagi Pemerintah Indonesia

Kurangnya regulasi yang secara spesifik menjadi rujukan dalam prinsip dan kriteria yang terkandung dalam kedua sistem sertifikasi menjadi celah untuk tetap terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Ketiadaan peraturan teknis pendukung menyebabkan tiap pasal yang terkandung dalam peraturan SVLK dan ISPO menjadi lemah dari sisi implementasi.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu untuk mempersiapkan regulasi untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan dari komoditas yang diatur dalam uji tuntas benar-benar bebas deforestasi (dalam definisi seutuhnya) dan degradasi lahan.

Pertama, dalam konteks pelestarian hutan alam tersisa atau kawasan pendukung lainnya. Kewajiban untuk melakukan penilaian terhadap Nilai Konservasi Tinggi masih belum menunjukkan kejelasan tujuan. Permentan Nomor 38 Tahun 2020, mewajibkan pemegang izin untuk melakukan identifikasi dan menjaga area bernilai konservasi tinggi--sesuai dengan yang tertuang pada pasal 4 sebagai penjabaran dari prinsip 3.

Meskipun demikian, ISPO hanya meminta perusahaan untuk mengidentifikasi, namun tidak ada rujukan spesifik dalam melakukan penilaian terhadap area HCV. Sebab, belum ada peraturan Indonesia yang mengatur secara detail tentang pembangunan dan penanganan kawasan bernilai konservasi tinggi.

Peraturan terkait ini ada dan hanya berlaku di wilayah Kalimantan Timur dengan adopsi Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 12 tentang Kriteria Area dengan Nilai Konservasi Tinggi dan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 43 tentang Pengelolaan Area Dengan Nilai Konservasi Tinggi di Area Perkebunan.

S-PHPL dalam SVLK misalnya, dalam menentukan kawasan perlindungan yang diamanatkan dalam kriteria 3 tentang ekologi, perusahaan melakukan identifikasi kawasan lindung secara mandiri atau self-asessment yang kemudian dikukuhkan kedalam surat keputusan milik perusahaan. Penilaian secara mandiri akan menimbulkan bias, sebab kepentingan utama hadirnya izin usaha adalah untuk mengambil sebesar-besarnya keuntungan dari ketersediaan lahan yang diberikan.

Peraturan Dirjen KSDAE No. 5 Tahun 2017 mengenai Petunjuk Teknis Penentuan Area Bernilai Konservasi Tinggi di luar Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru nyatanya belum menunjukkan kemajuan signifikan terutama dalam mengidentifikasi ABKT di area berizin kehutanan dan perkebunan. Padahal, jika peraturan ini turut diimplementasikan pada area yang dibebani izin, maka monitoring areal HCV akan lebih mudah untuk dilakukan karena tidak hanya menjadi domain dari pemilik izin ataupun lembaga sertifikasi, namun turut diawasi oleh KLHK sebagai ‘pemantau area konservasi’.

Pengukuhan area HCV di atas izin usaha oleh pemerintah akan berimbas positif pada pemaknaan deforestasi yang didefinisikan sebagai zero-gross sehingga kebijakan nol deforestasi menjadi lebih efektif. Deforestasi tak hanya didefinisikan sebagai pembukaan hutan diluar izin/kawasan hutan lindung yang telah ditunjuk namun mencakup pada area bernilai konservasi tinggi yang ada di dalam izin kehutanan/perkebunan.

Kedua, menyoal pemberian sanksi. Minimnya disinsentif atau sanksi bagi pelanggar mandatory certification menjadi soal yang menyebabkan ketidakpatuhan. Jika pemerintah memperlakukan disinsentif untuk pelaku--pengelola izin usaha--deforestasi seperti denda keuangan, pembatasan kredit untuk perusahaan, pembatasan kredit untuk wilayah dengan tingkat deforestasi tinggi, pencabutan izin usaha, bahkan hingga hukuman penjara, maka hal ini akan berdampak pada peningkatan tingkat kebijakan perusahaan swasta.

Mengutip salah satu jurnal, bahwa produsen akan lebih patuh jika biaya yang dikeluarkan ketika menerima hukuman/disinsentif lebih besar dibanding biaya kepatuhan. Penyertaan sanksi yang lebih berat perlu kiranya diimplementasikan untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan dalam menjaga lingkungan lestari dan memastikan produk dihasilkan dari lahan legal dan bebas deforestasi.

Hingga saat, ini jika bicara deforestasi, Indonesia sendiri masih menganut konsep zero-illegal deforestation, yaitu jika pembukaan lahan dilakukan di luar izin atau pada kawasan hutan yang telah ditetapkan. Konsep ini tidak mungkin mengarah pada penambahan area konservasi  di wilayah di mana hukum (izin usaha/hgu) telah berlaku.

Implikasinya, perusahaan tidak memiliki keharusan untuk ‘benar-benar’ menjaga tutupan hutan alam tersisa di areal izin--karena areal HCV ditetapkan oleh perusahaan dan konsultan yang memiliki relasi bisnis.