Masyarakat Berdaya Jadi Kunci Restorasi, Juga Meredam Kebakaran

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Minggu, 31 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

Kolaborasi liputan Betahita dan Mongabay Indonesia. Tulisan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center 

BETAHITA.ID - Kebakaran menjadi musuh nomor satu program pemulihan ekosistem di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Kerja sama konservasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat dari desa penyangga terus dilakukan untuk restorasi dan pengamanan habitat. “Kalau hambatan dari satwa saya rasa tidak sebesar kebakaran hutan. Mungkin kalau satwa hanya 10%, dan kebakaran hutan bisa 80-90% dan berbahaya bagi tanaman karena dapat menyebabkan tanamannya habis hingga degradasi dan hal-hal lain harus dipulihkan kembali,” kata Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Kuswandono. 

Ditemani Koordinator Pemadam Kebakaran Dicky Tri Sutanto dan Kepala Urusan Data, Monitoring Evaluasi, Laporan, dan Perizinan Berusaha Elisabeth Devi Krismurniati, Kuswandono secara bergantian menjawab terkait kondisi restorasi hutan dan bagaimana strategi jangka panjang untuk mengurangi bara api di kawasan konservasi seluas 125.000 hektare tersebut.

Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Kuswandono. Dok Kennial Laia/Betahita

Sejauh ini bagaimana hasil kerja sama konservasi dengan masyarakat, khususnya di desa penyangga? 

Ada perjanjian kerjasama kemitraan konservasi. Setelah 5 tahun selesai ditanam 50 hektare, tentunya akan ada evaluasi dan kerjasama selesai. Mereka keluar, tidak ada aktivitas di lokasi ini lagi. Kami berharap pembinaannya adalah upahan ini untuk menanam, memelihara, kalau ada yang mati disulam, jadi ada penjagaan terus menerus dari masyarakat. Jadi ini hasilnya cenderung lebih karena masyarakat benar-benar menjaga.

Menariknya adalah masyarakat dari Labuhan Ratu VII yang dulu sering beraktivitas ilegal ke dalam kawasan, ketika diajak mengelola PKS tentang konservasi di Rawa Kidang yang alang-alang, mereka memang mendapat upah. Tetapi mereka sepakat dari bimbingan di sini untuk tidak menghabiskan upah yang diterima oleh penerima, tetapi disisihkan dalam kelompok untuk mencoba mengembangkan aktivitas di luar kawasan atau di desanya. Jadi harapannya nanti kalaupun tidak diperpanjang atau ada kemitraan di area lain, mereka sudah memiliki simpanan. Konsepnya seperti itu. 

Jadi kami sangat senang dengan konsep seperti ini, ada hubungannya dengan masyarakat. Di sini ada penjagaan dan ada sisi emosionalnya. Kalau di Rawa Kidang yang pakan badak, nanti yang memanen dari pihak SRS bukan masyarakat karena PKS-nya sudah selesai. Tetapi mereka nanti bisa mengajukan izin jasa wisata untuk membawa wisatawan, mereka yang sudah dilatih untuk mengelola homestay, mengelola atau mengembangkan program pemanduan berkunjung ke lokasi hutan yang sudah mulai tumbuh, bekas yang dia tanam.

Berapa total restorasi yang sudah dilakukan sejak program penanaman dimulai?

Dewi: Secara total yang sudah dilakukan pemulihan dari tahun 2000 sampai dengan 2020, karena kita baru buat RPE dari 2021-2025, sekitar 18.000 hektare. Itu kisarannya karena sebenarnya masing-masing tidak hanya sekali dua kali. Untuk 2021-2025 masih dalam proses, yang direncanakan sekitar 4.500 hektare di ekosistem darat dan perairan. 

Sebelumnya restorasi awal dari 2000-2020 adanya di darat, kemudian ada kegiatan di perairan mangrove sekitar 400-500 hektare dan rencananya akan dilakukan dari 2021-2025 oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan BRGM. Pemulihan ekosistem juga dilakukan kemitraan konservasi yang sudah ada Kelompok Tani Hutan (KTH) Rahayu Jaya di Rawa Kidang dan rencana akan ada KTH-KTH lain dengan kisaran hampir sama 50-100 ha dan keseluruhan berada di kawasan. Untuk mangrove di sepanjang pantai timur, meskipun mangrove namun ada kebakaran juga, juga jenis-jenis tumbuhan rawa lain. Gambaran umumnya seperti itu.

Apa tantangan terbesar restorasi di Taman Nasional Way Kambas? 

Dicky: Masalahnya ada beberapa. Daerah di sini juga ada perambahan dan illegal logging. Tetapi kalau kita ngomong isu atau faktor utama terdegradasinya kawasan Way Kambas itu kebakaran hutan.

Di sisi lain saya punya rumus dari lapangan, bahwa indikasi yang paling banyak menyebabkan kebakaran adalah perburuan. Kalau kita menangkap pemburu, meskipun musim kemarau, minimal di sini satu bulan aman. Kalau begitu, salah satu kegiatan pemulihan ekosistem adalah menangkap pemburu. 

Jadi kalau saya ngomong pemulihan ekosistem (PE), itu ada tiga. Pertama atau yang paling utama adalah law enforcement. Kedua, bagaimana kita bisa memiliki sistem pengendalian kebakaran hutan yang bagus, baru kita suplemen artinya kita lakukan kegiatan tambahan dengan penanaman untuk mempercepat proses PE itu sendiri. Jika kedua hal pertama itu tidak dilalui, maka kita selamanya akan seperti ini.

Jadi gambarannya reforestasi kita, misal area 50 ha kita buat camp 24 jam dan menanam secara intensif. Misalnya ada 50 hektare itu cluster untuk penanaman intensif, tetapi di sekeliling area tersebut adalah 200 hektare lokasi pengamanan intensif. Secara formal kita bisa bilang 50 hektare, tetapi secara aktual seharusnya orang-orang juga mulai memahami untuk menjaganya itu satu pemulihan ekosistem. 

Dari 2010 sampai sekarang, untuk kegiatan yang terkait kerjasama dengan mitra sedikit banyak yang mengadopsi hal tersebut. Kita punya 10 lokasi (restorasi) sampai sekarang yang mana empat baru. Tetapi dari enam yang bukan baru, yang belum merasakan kebakaran hutan hanya satu. Dengan investasi yang sangat besar, intensitas kegiatan yang sangat tinggi, kebakaran hutan masih menjadi kendala utama dalam PE. Oleh karena itu saya bilang kita perlu law reinforcement, kita perlu pengendalian kebakaran hutan yang baik, baru kita suplemen atau tambahkan dengan penanaman.

Sejauh ini apakah sudah dilakukan pengendalian kebakaran hutan berupa tanam, pemantauan kebakaran, dan penegakan hukum? Bagaimana?

Dicky: Perlahan-lahan mulai diaplikasikan. Mulai dari 2010 kita coba konsep tersebut, kemudian di tahun ketiga habis dan recovery lagi. Tetapi dari konsep dasarnya sendiri, dari 10 (lokasi program restorasi, red), ada yang dari ALeRT, YABI, Auriga, dan KTH, jika kita lihat persentase sumber dayanya paling besar untuk pengamanan. Jadi, berbanding terbalik dengan sistem konvensional yang pengamanannya hampir tidak ada, tetapi tanamnya gila-gilaan. Tanam itu komponen terkecil dari reforestasi, pengamanan yang terbesar. 

Dari kegiatan intensif, masyarakat sekitar, sumber masalah sebagian juga masih dari oknum masyarakat, bisa berkembang kegiatan yang di satu sisi memecahkan masalah area degradasi dan di sisi lain kita memberdayakan masyarakat. Dan yang namanya dukungan mulai muncul.  

Taman nasional ini  ada tiga seksi yaitu selatan, tengah, dan utara. Kebakaran hutan dulu awalnya rata. Namun dua tahun belakangan di sini (bagian selatan) hampir tidak ada kebakaran hutan, di sini berbanding lurus juga dengan intensifnya kita melakukan kegiatan. Di sini juga banyak aktivitas konservasi lainnya yang mendukung. Semua aktivitas konservasi yang dilakukan melibatkan masyarakat secara intensif dan itu berbanding lurus dengan berkurangnya intensitas kebakaran hutan.

Perburuan masih menjadi ancaman, dan penyebab kebakaran di Taman Nasional Way Kambas. Pelakunya berasal dari desa-desa penyangga. Bagaimana melihat persoalan ini? 

Kuswandono: Kalau kita berbicara lebih luas, kita benar-benar harus menggeser paradigma pengelolaan hutan konservasi, khususnya taman nasional. Kawasan konservasi manapun kebanyakan sekelilingnya terdapat masyarakat. 

Paradigmanya bergeser ke mana? Kalau kita berbicara mengenai prinsip konservasi sendiri, bukan hanya melindungi, mengawetkan, mengamankan, tapi ada prinsip pemanfaatan berkelanjutan. Yang dilindungi adalah sistem penyangga kehidupan, yang diawetkan adalah keanekaragaman hayati flora dan fauna, yang dimanfaatkan berkelanjutan adalah dari sisi jasa lingkungan. Jasa lingkungan itu ada dari potensi wisata alamnya, kemudian pemanfaatan air dan energi air, jika ada energi geotermal juga bisa tetapi harus ada prosedurnya agar tidak salah kaprah. 

Taman nasional hanya menjaga, tetapi belum mengajak masyarakat untuk belajar memanfaatkan. Karena jika nantinya masyarakat mendapat nilai pemanfaatan, tentunya sesuai kaidah dan aturan serta kita dampingi, mereka akan lebih banyak ikut membantu daripada melakukan aktivitas ilegal. Itu sudah terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Kebetulan saya tiga tahun sebelumnya di (sana). Di sini pun kita memiliki peluang seperti itu, namun mau tidak mau harus ada yang memulai. 

Ada tantangan berat seperti kebakaran hutan akibat perburuan liar untuk memulihkan Taman Nasional Way Kambas. Ini terjadi setiap tahun. Bagaimana strategi ke depan untuk menghadapi hal ini? 

Kuswandono: Kalau terkait kebakaran, kita tidak bisa hanya dengan menjaga. Kita harus bisa juga pendekatan ke masyarakat, dengan harapan yang akan ikut menjaga atau membentengi adalah masyarakat di 38 desa sekitar taman nasional tersebut. Di antaranya adalah ketika mitra LSM minta rekomendasi ke kita untuk membuat proposal ke (donor), kita tidak hanya sekedar memberikan rekomendasi tetapi melihat juga sinkronisasi proposal programnya dengan upaya meminimalkan gap masalah dalam pengelolaan taman nasional bersama masyarakat. Masyarakat ibaratnya income harus dinaikkan. Bisa jadi mereka berburu dan membakar hutan untuk memperoleh pendapatan. Tentunya tidak semua 38 desa sama, motif aktivitas ilegalnya berbeda-beda. Itu yang harus kita cari solusi ke arah itu juga. 

Harapannya nanti ketika ada percepatan melalui pemulihan ekosistem atau restorasi, itu akan benar-benar berhasil karena ancaman yang menekan kawasan sudah diminimalisir. Harapannya juga kita akan melihat lokasi-lokasi yang memiliki potensi untuk pengembangan wisata alam di dalam kawasan, nantinya berbasis masyarakat. Dengan adanya wisata alam, mungkin income-nya bisa bertambah. Baik income di dalam, pemegang izin penyedia jasa makanan dan minuman, atau mungkin ada konektivitas untuk mengelola homestay di desa perbatasan tadi. Kemudian juga membuat produk-produk yang bisa dijual di lokasi itu, seperti makanan atau souvenir. Kira-kira seperti itu.