Masyarakat Adat di IKN Masih Was-was Dengan Status Tanah Mereka

Penulis : ibu kota negara

Masyarakat Adat

Senin, 01 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pembangunan dan infrastruktur pendukung Ibu Kota Negara (IKN) belum dibarengi perlindungan hukum tanah adat. Masyarakat adat was-was tanahnya dirampas. Bahkan warga di lokasi proyek pendukung infrastruktur pun terpaksa merelakan bagian rumahnya tergerus proyek. 

Rasa was-was ini dirasakan Armah sejak pemerintah mengumumkan dimulainya pembangunan IKN di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim) pada Agustus 2022 lalu. Pemilik wilayah adat, Masyarakat Adat Suku Balik, belum mendapatkan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah (wilayah adat) mereka yang dikelola secara turun-temurun.

“Terus terang, kami sangat terganggu dengan pembangunan IKN yang begitu cepat. Sebagian dari kami tidak memiliki legalitas. Ini yang membuat kami cemas dan takut,” kata dia pada Rabu (27/7/2022), seperti dikutip dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Perempuan adat dari Suku Balik itu menyatakan masyarakat sering mengajukan permintaan legalitas kepada Pemerintah Desa Bumi Harapan tetapi tidak ditanggapi. Sedangkan pemerintah kerap mempertanyakan legalitas warga di IKN. 

Peta Deliniasi Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara./Sumber: Draft RUU IKN

“Kami jawab, ‘Ini tanah kami,’ tetapi kami tidak memiliki legalitas. Mereka ingin melihat legalitas yang kami miliki. Sehingga, bagi yang tidak memiliki legalitas, tentunya (merasa) was-was dan terancam,” kata Armah.

Jangankan soal legalitas, ketika pemerintah menetapkan PPU sebagai lokasi IKN saja, masyarakat adat tidak dilibatkan sama sekali. Tak ayal jika sekarang mereka justru merasa terganggu dengan adanya IKN di wilayah adat.

Masyarakat Adat Suku Balik sudah mendiami wilayah itu sejak zaman penjajahan. Pada masa penjajahan mereka dijemput paksa dan dipindahkan ke wilayah lain. Ketika kembali lagi ke Sepaku, tanah-tanah itu kemudian sudah dijadikan sebagai lokasi transmigrasi dan areal perusahaan.

“Saat ini, datang IKN. Nasib kami bagaimana? Jujur, kami ingin saja menolak, tetapi namanya pemerintah, kami mau bilang apa karena ini keinginan pemerintah. Begitu pun saya sangat berharap agar tanah-tanah kami dapat perlindungan dari pemerintah. Kami tidak punya tanah lagi selain itu,” ungkap Armah.

Suriansyah, warga Masyarakat Adat Suku Balik, bingung dengan nasibnya sejak sejak IKN ditetapkan di PPU. Ia merasa diacuhkan ketika meminta surat tanda kepemilikan tanah. 

Pemangku Adat Pemaluan, Asmin, juga mengungkapkan hal senada. Bahkan kini Komunitas Masyarakat Adat Pemaluan pun menjadi ketakutan. Polisi mondardan TNI mondar-mandir, kata dia, itu membuat warga kami terbirit-birit ketakutan. 

“Seharusnya, ada sosialisasi kepada Masyarakat Adat setempat agar mereka tidak ketakutan ketika melihat petugas melintas,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah hanya omong-omong saja tanpa memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi masyarakat adat di sana. Padahal seharusnya negara menjamin hak konstitusional masyarakat adat sepanjang keberadaan mereka masih ada. Akan tetapi, pembangunan IKN yang terus digodok, menandakan bahwa negara memiliki ambisi yang besar untuk secepatnya IKN dipindahkan ke sini tanpa memikirkan nasib masyarakat adat selaku pemilik wilayah.

Terpisah, keresahan juga dirasakan warga terdampak pembangunan infrastruktur pendukung IKN. Ketua Kelompok Tani Kampung Sepaku Lama, Mustafa, mengungkapkan pembangunan Bendungan Sepaku Semoi dan Intake Sungai Sepaku mengalami perluasan. Perluasan ini sampai menggusur pemukiman penduduk di kampungnya, termasuk rumahnya.

“Jadi dari perusahaan bilang ada perluasan. Rumah saya kena. Kalau sampai rumah seperti ini saya merasa keberatan,” ucapnya kepada Betahita melalui sambungan telepon.

Pihak perusahaan memang menyediakan ganti rugi tetapi menurutnya tak sepadan karena bangunan rumah akan rusak atau ia harus pindah. Idealnya mereka harus relokasi. Namun pemindahan tak boleh merugikan karena jaraknya terlampau jauh dengan kebun, hutan, atau sawah milik warga.

Apalagi pembangunan proyek infrastruktur pendukung IKN juga sudah merusak mata pencaharian warga dengan mengambil alih lahan mereka. Ganti rugi ada, namun soal masa depan masyarakat masih luput dari perhatian pemerintah.

“Jadi ada antisipasi untuk memberikan pelatihan sablon kaos sampai beberapa dikirim ke Bandung, tapi itu tak sepadan dengan pendapatan mereka dari hasil tani. Apalagi kelak ketika IKN sudah benar-benar pindah,” keluhnya. 

Kepala Adat Masyarakat Dayak Balik Sepaku Lama, Sibukdin Lokdam, menyebutkan bahkan terdapat dua lokasi pemakaman keramat yang tidak boleh diakses oleh warga karena pembangunan ini. Seharusnya mereka menghormati masyarakat adat dengan tidak mempersulit akses. 

Pembangunan Bendungan Sepaku Semoi sendiri tadinya bukan dibangun khusus untuk IKN melainkan pemenuhan kebutuhan air baku Kota Balikpapan. Namun ketika UU IKN disetujui DPR pembangunan ini dimasukkan sebagai infrastruktur pendukung.