Walhi Minta Jepang Stop Danai Energi Fosil

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Jumat, 05 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta menggelar aksi di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang memprotes tindakan negara itu mempromosikan gas fosil dan hidrogen sebagai transisi energi batubara yang diklaim mampu mempercepat pengurangan emisi karbon tahun 2050. Para aktivis meminta pemerintah dan perusahaan Jepang untuk menghentikan pendanaan bahan bakar fosil dan menghentikan promosi solusi palsu krisis iklim. 

Aksi ini dilakukan untuk menanggapi KTT Sektor Energi 2022 sejak 2 hingga 4 Agustus 2022 di Jepang yang dihadiri perwakilan pemerintah, pelaku usaha, penyedia teknologi hingga pemilik modal dari lebih 20 negara. KTT ini bertujuan membahas bagaimana Jepang berupaya dalam menekan emisi termasuk membahas bagaimana penggunaan hidrogen dalam dekarbonisasi dan perluasan LNG Jepang di pasar Asia Tenggara. 

Aksi serupa ini juga dilakukan di Tokyo, Manila dan Bangladesh yang digelar sejak 2 Agustus 2022. 

Menurut mereka KTT sektor energi ini hanya menunjukkan solusi palsu, seperti penangkapan karbon, penggunaan bahan bakar amonia dan hidrogen bersamaan, serta LNG. Padahal hal tersebut merupakan energi kotor. Mereka menentang keras terhadap agenda yang dipromosikan dalam KTT ini. 

Walhi DKI Jakarta menggelar aksi di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang memprotes tindakan negara itu mempromosikan gas fosil dan hidrogen sebagai transisi energi batubara pada Rabu (3/8/2022). Foto: Walhi Jakarta

“Kami meminta peserta KTT berhenti mendukung bahan bakar fosil dan sebaiknya ikut berkontribusi pada transisi energi yang cepat, adil dan energi terbarukan demokratis di Asia” ungkap Lidy Nacpil, Koordinator Asian Peoples' Movement on Debt and Development (APMDD). 

Jepang telah memposisikan diri sebagai pelopor dalam teknologi hidrogen dan membayangkan penciptaan teknologi hidrogen di kalangan masyarakat. Pada COP 26 tahun lalu, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, menjanjikan dukungan Jepang kepada negara berkembang di Asia yang ingin menggunakan bahan bakar berbasis amonia dan hidrogen. 

Lidy menyebutkan penyebab utama krisis iklim adalah penggunaan bahan bakar fosil. Kita, kata dia, perlu mempercepat transisi, adil dan merata menuju teknologi energi bersih terbarukan, bukan memperpanjang umur industri bahan bakar fosil seperti penggunaan hidrogen, gas fosil dan penangkapan karbon. 

“Teknologi ini justru mengarah pada produksi bahan bakar fosil lebih besar,” imbuhnya. 

Amonia dan hidrogen kini dipromosikan sebagai bahan bakar alternatif yang menjanjikan untuk dekarbonisasi produksi listrik. Gas fosil, yang biasa disebut dengan gas alam atau  LNG dalam bentuk cair, merupakan bahan bakar fosil yang disebut-sebut lebih bersih dari batu bara. Bentuk paling umum dari produksi hidrogen melibatkan penggunaan proses yang disebut steam reforming yang menggunakan LNG sebagai sumber bahan bakar dan masih memancarkan gas rumah kaca.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitria Tanjung, menyebutkan transisi energi dari batubara ke LNG adalah solusi palsu dan merupakan kemunduran negara, termasuk Jepang, dalam mengatasi perubahan iklim. LNG bukan energi berkelanjutan karena berasal dari energi fosil. Bahkan bisa jadi emisi yang dihasilkan akan sama atau bahkan lebih besar dibandingkan batubara. 

Selain itu, di Indonesia sendiri rencana pembangunan terminal LNG juga sudah menuai banyak protes karena rencananya akan dibangun di kawasan Tahura Mangrove yang rehabilitasinya dulu dibiayai oleh Jepang sendiri.

“Kami dengan tegas menuntut agar Jepang tidak mendanai solusi palsu yang hanya beralih dari energi fosil ke energi fosil lainnya dan menghentikan semua pendanaan energi fosil termasuk LNG, amonia, dan hidrogen. Tidak ada waktu lagi untuk mencari solusi yang jelas-jelas menjauhkan dunia dari transisi energi bersih, Jepang harus mendukung transisi energi bersih dan berkelanjutan” kata Suci Fitria. 

Penggunaan bahan bakar berbasis amonia dan hidrogen untuk pembangkit listrik sebagai alternatif belum terbukti dapat diandalkan. Sementara itu, infrastruktur gas baru hanya bisa bertahan hingga 30 tahun, hal ini akan beresiko mengunci negara-negara dalam emisi gas rumah kaca yang berkepanjangan. 

Produksi gas fosil ini akan menghasilkan metana dan memiliki efek panas hingga 89 sampai 90 kali lebih kuat dibanding CO2 selama rentang waktu 20 tahun. Ilmuwan iklim memperingatkan bahwa emisi dari industri gas fosil sekarang tumbuh begitu cepat dan bertanggung jawab atas lebih banyak metana di atmosfer daripada yang diketahui sebelumnya. 

Investasi gas fosil terus meningkat di Asia meskipun ada peringatan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) bahwa dunia akan melanggar batas pemanasan 1,5C dalam dua dekade mendatang tanpa pengurangan emisi segera dan dalam. Terdapat rencana untuk meningkatkan kapasitas tenaga gas di kawasan itu dua kali lipat dan tiga kali lipat kapasitas pipa untuk impor gas alam cair.