Jejak Raja Sawit di Habitat Komodo

Penulis : Aryo Bhawono

Konservasi

Selasa, 09 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kehadiran korporasi dalam pengelolaan tapak konservasi Komodo dianggap menyalahi konservasi biosfer di bawah naungan UNESCO sejak Januari 1977. Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program Man and The Biospher (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan atas upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.

Korporasi tersebut adalah PT Flobamor, sebuah perusahaan milik pemerintah daerah, dan tiga perusahaan swasta, yang mendapatkan hak pengelolaan tapak konservasi Komodo. 

Tiga perusahaan tersebut adalah pertama, PT. Segara Komodo Lestari, yang mendapatkan IUPSWA No 7/1/IUPSWA/PMDN/2013 untuk lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca yang ditetapkan melalui SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013. 

Kedua, SK.796/Menhut-II/2014 yang memberikan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) kepada PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Pulau Komodo yang terdiri atas 274,81 hektar (19,6 persen dari luas Pulau Padar) dan 154,6 Ha (3,8 persen  dari luas Pulau Komodo). 

Truk yang sedang membawa alat berat pembangunan kawasan wisata di Pulau Rinca, NTT, bertemu komodo, Oktober 2020 (Twitter/kawanbaikkomodo)

Ketiga, izin buat PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 6,490 hektar di Pulau Tatawa.

Penelusuran data penerima manfaamenunjukkan PT Synergindo Niagatama terkoneksi dengan Wilmar International. Sebanyak 92 persen saham perusahaan ini dimiliki oleh Mochamad Sonny Inayatkhan. Ia juga tercatat menjadi penerima manfaat atas perusahaan pengelola Pelabuhan Internasional Batam Center, PT Synergy Tharada. 

Selain itu Sonny duduk sebagai Direktur Keuangan di PT Bali Star Resort Indah, sebuah perusahaan pariwisata berbasis di Bali. Penerima manfaat perusahaan ini adalah Augustinus Tanoto Ong yang juga duduk sebagai komisaris di perusahaan Grup Wilmar, PT Natsteel Wilmar Gemilang yang bergerak di bidang konstruksi dan pengembang. 

Sedangkan penerima manfaat PT Natsteel Wilmar Gemilang ini adalah salah satu pendiri Wilmar, Kuok Khong Hong, dan Rosa Taniasuri Ong, yang merupakan istri dari Martua Sitorus, pendiri Wilmar. 

Wilmar Group dikenal sebagai produsen berbagai minyak goreng seperti Sania, Fortune, Siip, Sovia, Mahkota, Ol'eis, Bukit Zaitun, dan Goldie.

Data Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), perusahaan ini memiliki total lahan 354.250 Hektar per tahun 2020. Sekitar 70 persen atau seluas 246.543 Ha ditanam kelapa sawit, sedangkan lahan dalam skema perkebunan rakyat seluas 43.472 Ha.

Saat ini, Wilmar memiliki lebih dari 450 pabrik dan jaringan distribusi di seluruh China, India, Indonesia, dan 50 negara lainnya. Grup perusahaan ini memiliki kurang lebih 92.000 karyawan dari berbagai negara.

Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan Wilmar International, sampai dengan akhir tahun 2020, perseroan membukukan pendapatan sebesar US$ 50,52 miliar dengan laba bersih sebesar US$ 1,53 miliar. Total asetnya sampai tahun 2020 mencapai US$ 51,02 miliar.

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan PT Synergindo Niagatama (PT SN) di Pulau Tatawa. Pada tahun 2014, KLHK memberikan konsesi kepada PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 6.490 Ha di Pulau Tatawa. 

Peta interaktif Sistem Informasi Geospasial KLHK. Sumber: SIGAP KLHK

Peta Sigap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Pulau Tatawa merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo. Pulau ini dikenal sebagai destinasi snorkeling dan memiliki kondisi terumbu karang yang baik. 

Pada 2018, pemerintah mengubah desain situs zona pemanfaatan di Pulau Tatawa. SK 38/PJLHK/PJLWA/ KSA.3/7/2018  pemerintah mengurangi ruang publik menjadi hanya 3.447 Ha dan meningkatkan ruang usaha menjadi 17.497 Ha. Dan pada 2020, pemerintah menerbitkan ulang izin usaha PT Synergindo Niagatama di lahan seluas 15,32 Ha. 

Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara, Supintri Johar, khawatir masuknya korporasi dalam kawasan konservasi membawa ancaman bagi satwa dan lingkungan. Pembangunan fasilitas yang dilakukan akan mempengaruhi ekosistem. Orientasi mereguk keuntungan justru membuat konservasi terancam.

“Kalau dilihat proses pemberian izin ini dilakukan secara tidak transparan. Ini sendiri sudah menimbulkan kekhawatiran. Apalagi yang masuk adalah korporasi yang terhubung dengan perusahaan besar, tentu faktor ekonominya lebih besar dibandingkan konservasi,” ucap dia. 

Sebelumnya Walhi NTT menyebutkan polemik kehadiran investor di kawasan TNK ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan isu kenaikan harga bea masuk wisata TNK. Pengelolaan TNK sebagai Konservasi biosfer seharusnya pembangunan berkelanjutan di kawasan itu berdasarkan atas upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.

Apalagi selama ini pengembangan pariwisata di Taman Nasional Komodo masih mengesampingkan penduduk di pulau-pulau kawasan TNK, termasuk Pulau Komodo.