Hari Masyarakat Adat Internasional, Perempuan Papua Desak Hal Ini

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Rabu, 10 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diperingati setiap tanggal 9 Agustus. Pada tahun ini, perayaan tersebut menyorot peran perempuan adat dalam melestarikan dan menyebarkan pengetahuan tradisional. 

Pendeta Magdalena Kafiar dari Bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan atau KPKC Sinode mengatakan, praktik pengetahuan tradisional dan pemanfaatan hutan berkelanjutan salah satunya dilakukan oleh perempuan adat di Tanah Papua. Sebagai contoh aksesoris dan ramuan obat-obatan yang bahannya berasal dari hutan. 

Namun hal itu perlahan tergerus oleh konversi hutan dan eksploitasi perusahaan berskala besar di tanah-tanah adat. “Sekarang hutan mereka sudah diambil dan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu. Obat-obatan sudah mulai hilang sehingga terpaksa ke puskesmas terdekat. Namun faktanya, perempuan adat lebih percaya dengan obat-obatan alami dan ini bikin kehidupan mereka jadi agak sulit,” kata Magdalena dalam konferensi pers di Kemang Selatan, Jakarta, Selasa, 9 Agustus 2022. 

Hilangnya akses pada tanah adat berdampak lebih besar kepada perempuan adat. Selain kehilangan sumber obat-obatan, perempuan juga mengalami dampak kerusakan lingkungan maupun ketidakadilan ekonomi. Hal ini membuat perempuan adat harus menambah tenaga dan waktu untuk usaha produksi dan memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Ini terjadi karena perempuan memiliki keterkaitan erat dengan tanah, hutan dan lingkungan. 

Aktivis dan perempuan adat Tanah Papua dalam konferensi pers Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2022 di Jakarta, Selasa, 9 Agustus 2022. Dok Betahita

Hal tersebut dialami Veronika Manimbu, warga Suku Mpur dari Kampung Arumi, Distrik Kebar Timur, Tambrauw, Papua Barat. Ekspansi perusahaan jagung di Lembah Kebar yang merangsek ke tanah ulayatnya memaksa Veronika untuk membuka ladang lebih jauh. 

“Kalau dulu jarak ladang kasbi (singkong, red) dan sayuran dari rumah hanya 100 meter saja. Sekarang harus jalan kaki ke ladang sekitar dua-tiga jam. Sangat jauh. Kita setengah mati berjalan, karena hutan kami sudah habis digusur perusahaan,” kata Veronika. 

Hal serupa dialami Rosita Tecuari, perempuan adat Namblong dari Kabupaten Jayapura. Deforestasi karena pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit juga seolah ‘memutus’ hubungannya dengan alam. 

“Dulu setiap hari kami bisa dengar suara cenderawasih, kasuari… Tapi sekarang tidak ada lagi sejak hutan kami digusur sekitar 7 ribu hektare. Hari ini hutan kami gundul, dan kami perempuan merasa sedih. Hati kosong, karena cenderawasih itu seperti anak bagi kami,” keluh Rosita. 

Sornica Ester Lily, peneliti Asia Justice and Rights (AJAR), mengatakan pola pembangunan dan perluasan industri ekstraktif di Tanah Papua masih  manipulatif dan tidak melibatkan masyarakat adat secara penuh. Masyarakat yang digandeng terbatas pada satu atau dua individu tertentu dan dibarengi dengan pemberian uang yang kemudian diklaim sebagai ‘tali kasih’ atau kompensasi. 

“Selain itu kami menemukan adanya penyingkiran ruang perempuan dalam negosiasi adat (dalam hal masuknya perusahaan di tanah ulayat),” kata Sornica.

“Salah satu masalah utama selama ini adalah belum adanya pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat. Dan Papua dianggap sebagai tanah kosong, padahal sudah ada yang punya.  Karena itu pengakuan masyarakat adat menjadi penting dan harus menjadi fokus utama,” kata Sornica.

Desakan aktivis dan perempuan adat

Pada momentum HIMAS 2022, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Asia Justice and Rights dan aktivis Perempuan Adat Pembela HAM Lingkungan dari Tanah Papua, merumuskan rekomendasi dan tuntutan. 

Mendesak pemerintah pusat nasional dan daerah untuk: 

  • Mengakui, menghormati, dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, terutama perempuan - secara formal - termasuk hak hidup, dan hak atas tanah, dan hutan adat;
  • Menghormati hak masyarakat adat dalam mengontrol, merawat, dan mengembangkan pengetahuan asli, budaya dan teknologi inovatif, termasuk sumber daya manusia, flora dan fauna, benih-benih, tradisi lisan, karya seni, dan ekspresi kebudayaan lainnya;
  • Mengambil langkah-langkah resmi dan tindakan efektif, dengan melibatkan penyintas, untuk mengakui kekerasan yang terjadi, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghentikan dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dan konflik politik, termasuk membentuk mekanisme pengungkapan kebenaran dan pengadilan yang berpihak pada pemenuhan hak penyintas dan masyarakat adat;
  • Menerapkan kebijakan hukum dan tindakan efektif untuk menghormati hak dan memberdayakan peran perempuan dalam mengamankan, merawat dan mengelola tanah, hutan dan lingkungan alam; serta melindungi Pembela HAM dan Lingkungan, termasuk Perempuan Adat Pembela HAM Lingkungan;
  • Memastikan dan melibatkan Perempuan Adat secara bermakna dalam rancangan kebijakan dan usaha-usaha pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak pada kehidupan Perempuan Adat dan masyarakat luas berdasarkan prinsip-prinsip Free, Prior, Informed, Consent (FPIC);
  • Melaksanakan implementasi menetapkan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Nomor 1 tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua bagi Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia;
  • Mengambil langkah-langkah hukum dan tindakan efektif melakukan evaluasi dan pemberian sanksi hukum pencabutan izin atas pelanggaran administrasi dan kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan pengembang usaha perkebunan kelapa sawit, budidaya tanaman pangan dan energi, pembalakan kayu dan pertambangan, yang berlangsung di wilayah masyarakat adat;
  • Memberdayakan dan meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat adat melalui usaha produksi secara berkelanjutan berdasarkan pengetahuan asli dan prioritas masyarakat adat, tersedianya kebutuhan dasar yang layak, mencakup usaha mata pencaharian, kepemilikan tanah, perumahan yang memadai dengan akses kesehatan, pendidikan, pekerjaan. 

Aktivis dan perempuan adat juga mendesak korporasi untuk: 

  • Menghormati keberadaan dan hak masyarakat adat terutama mengenai hak atas tanah dan hutan adat;
  • Menghormati hak masyarakat adat dalam mengontrol, merawat dan mengembangkan pengetahuan asli, budaya dan teknologi inovatif, termasuk sumber daya manusia, flora dan fauna, benih-benih, tradisi lisan, karya seni, dan ekspresi kebudayaan lainnya;
  • Memastikan pelaksanaan konsultasi yang bermakna dengan memenuhi prinsip Free, Prior, Informed, Consent (FPIC) atas sebuah aktivitas dan/atau usaha-usaha pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi berdampak pada kehidupan masyarakat adat.
  • Memastikan dan melibatkan Perempuan Adat secara bermakna dalam rancangan kebijakan dan usaha-usaha pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak pada kehidupan Perempuan Adat dan masyarakat luas;