Perhutanan Sosial di Jatim Belum 100% Terealisasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Sabtu, 13 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Berdasarkan SK Menhut No.395/MenhutII/2011 kawasan hutan di Jawa Timur (Jatim) luasnya sekitar 1.361.146 hektare. Kawasan hutan tersebut pengelolaannya didomonasi oleh Perhutani, dengan rincian Kawasan Hutan Produksi seluas 782.772 hektare dan Hutan Lindung seluas 344.742 hektare.

Sementara untuk kawasan yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yakni, Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) dan Provinsi Jatim yakni Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo lbila dijumlahkan luasnya hanya sebesar 233.632 hektare.

Di Jatim, alokasi Perhutanan Sosial yang ditetapkan pemerintah seluas 176.224 hektare. Namun realisasi Perhutanan Sosial di Jatim tersebut belum seluruhnya tercapai. Sejauh ini Perhutanan Sosial yang telah terealisasi sebesar 176.149,68 hektare, terdiri dari 347 izin dan dimanfaatkan oleh 129.990 KK petani. Dengan lain perkataan, ada sekitar 74,32 hektare lagi yang belum terealisasi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) Achmad Rozani mengatakan, realisasi Perhutanan Sosial tersebut ternyata masih jauh dari harapan. Sebab masih terdapat beberapa kendala yang menyebabkan tantangan pengelolaan kawasan hutan belum dapat terlaksana sesuai dengan harapan.

Presiden Joko Widodo menyerahkan 42 unit SK Perhutanan Sosial di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 8 Februari 2019 lalu./Foto: KLHK

"Salah satunya adalah tidak sinkronnya kebijakan nasional dengan kebijakan yang ada di daerah, serta dengan pemangku kawasan hutan seperti Perhutani. Sehingga program Perhutanan Sosial menjadi agak tersumbat, salah satunya masih terdapatnya konflik hutan sampai persoalan tumpang tindih kawasan," terang Achmad pada Dialog Kebijakan bertajuk "Tantangan dan Kesempatan Pemanfaatan Areal Persetujuan Perhutanan Sosial", yang digelar AP2SI di Mojokerto, Selasa (9/8/2022).

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, Wahyu Eka Setyawan menambahkan, persoalan Perhutanan Sosial bertambah dengan munculnya kebijakan Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus (KHDPK), yang juga menjadi satu dengan program Perhutanan Sosial. Salah satunya kebingungan petani di tapak, pendamping bahkan stakeholder.

"KHDPK niatnya sudah baik, tetapi yang menjadi catatan adalah bagaimana implementasinya, terus payung hukum jelasnya dan keberpihakannya. Ini juga harus diperjelas agar tidak ada persoalan lanjutan dari sebuah kebijakan, sehingga pengeloaan yang berkeadilan dan berperspektif berkelanjutan dapat dijalankan," jelas Wahyu.

Persoalan yang disebutkan Rozani dan Wahyu itu jadi pemantik dialog guna menjawab tantangan pengelolaan kawasan hutan pada program Perhutanan Sosial. Salah satunya adalah dengan mencoba mengurai benang persoalan, seperti upaya membangun komunikasi lintas stakeholder.

Ketua BPP AP2SI Jatim, Slamet mengatakan, tujuan Perhutanan Sosial adalah mengurangi ketimpangan dan kemiskinan serta mendorong target pemerintah dalam melestarikan kawasan hutan serta mengurangi emisi, perlu komunikasi dan komitmen serius lintas pihak.

"Komunikasi dan komitmen lintas stakeholder itu perlu dalam menjawab tantangan ini, salah satunya AP2SI Jatim membuat inisiatif dialog kebijakan ini, untuk memulai sebuah kolaborasi baik dalam mengelola dan menjaga kawasan hutan," Jelas Slamet.

Dalam dialog tersebut perwakilan Gakkum KLHK Jawa Bali Nusa Tenggara, Budi Kurnayadi berharap agar para pengelola Perhutanan Sosial benar-benar memahami aturan yang berlaku. Terutama penegakkan hukum, khususnya dalam melaksanakan pengelolaan IPHPS. Dengan memahami hal tersebut, pemegang izin Perhutanan Sosial dapat melaksanakan pengelolaan dengan baik sesuai norma dan hukum yang berlaku.

"Maka dari itu setiap pengelola harus memahami betul akan hak dan kewajiban dari pengelola IPHPS tersebut, sehingga ke depan dapat lebih maju dan berkembang serta mendapatkan manfaat yang lebih besar dari pengelolaan hutan pada program Perhutanan Sosial sesuai norma," Jelasnya.

Deden Suhendi dari Dinas Kehutanan Provinsi Jatim ingin ingin agar program Perhutanan Sosial dapat dimanfaatkan dengan baik, di samping meningkatkan ekonomi berbasis kawasan seperti agroforestri dan wisata berbasis alam, juga harus melestarikannya. Sehingga masyarakat sejahtera dan hutan terjaga.

Apalagi Indonesia tengah bersama pemerintah dunia lainnya sedang berupaya mengurangi emisi karbon, sebagai bentuk komitmen melawan perubahan iklim. Sesuai dengan mandat dan arahan Presiden Joko Widodo.

Dialog yang digelar AP2SI ini diharapkan dapat menjadi awal baik bagi AP2SI untuk mewujudkan pengelolaan kawasan hutan melalui program Perhutanan Sosial, melalui sinergi multi-pihak untuk mendorong sebuah perubahan yang lebih baik, khususnya bagi masyarakat, masa depan kawasan hutan dan juga generasi yang akan datang.

AP2SI merupakan wadah bersama yang dibentuk oleh 51 Kelompok Tani Hutan (KTH) yang tersebar di 17 Provinsi. Khusus di Jatim, terdapat 5 anggota KTH/LMDH.