1.192 Subjek Hukum Berkegiatan secara Ilegal dalam Kawasan Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Jumat, 26 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Inventarisasi kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan, oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terus berjalan. Hingga 27 Juli 2022, KLHK telah mengidentifikasi 1.192 subjek hukum yang melakukan kegiatan usaha secara ilegal di dalam kawasan hutan.

Data informasi dan kegiatan usaha ilegal di dalam kawasan hutan 1.192 subjek hukum ini ditetapkan melalui 7 Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dengan nomor SK.359/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2021 tertanggal 29 Juni 2021, SK.531/Menlhk/Setjen/KUM.1/8/2021 tertanggal 30 Agustus 2021, SK.1217/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2021 tertanggal 10 Desember 2021, SK.64/Menlhk/Setjen/KUM.1/1/2022 tertanggal 21 Januari 2022, SK.298/Menlhk/Setjen/KUM.1/4/2022 tertanggal 7 April 2022, SK.652/Menlhk/Setjen/KUM.1/7//2022 tertanggal 1 Juli 2022, dan SK.787/Menlhk/Setjen/KUM.1/7/2022 tertanggal 27 Juli 2022.

Hal tersebut disampaikan KLHK dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Penyelesaian, Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan yang digelar Komisi IV DPR RI, pada 22 Agustus 2022 kemarin.

"Sekarang sudah 1.192 subjek hukum itu yang sekarang ada di 7 SK dan dia wajibnya diproses," kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK sekaligus Ketua Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian (Satlakwasdal) Undang-Undang Cipta kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dalam Rapat Panja tersebut.

Tampak dari ketinggian perkebunan sawit PT BAP di Kabupaten Seruyan, Kalimanan Tengah. PT BAP menjadi salah satu perkebunan yang beraktivitas di dalam kawasan hutan yang mendapat "pengampunan" dari pemerintah./Foto: Auriga Nusantara.

Berdasarkan hasil identifikasi, diketahui bahwa dari 1.192 subjek hukum pelaku tersebut, 616 subjek hukum di antaranya merupakan korporasi. Sementara itu, bila dilihat dari jenis kegiatan, perkebunan menjadi kegiatan usaha terbanyak dengan jumlah 858 kegiatan.

Sesuai ketentuan, penyelesaian kegiatan usaha ilegal dalam kawasan hutan akan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan PP No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Mekanisme Penyelesaian Kegiatan Usaha Ilegal dalam Kawasan Hutan

Secara garis besar, ada dua mekanisme yang akan digunakan untuk penyelesaian kegiatan usaha ilegal dalam kawasan hutan ini, yakni menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Mekanisme ini berlaku bagi apapun jenis usaha, baik perkebunan sawit, pertambangan maupun kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan lain sebagainya.

Untuk kegiatan usaha yang penyelesaiannya menggunakan Pasal 110A, subjek hukum akan dikenakan kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan (PPKH) untuk kegiatan di dalam kawasan Hutan Produksi, atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha bagi yang berkegiatan di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi, selama 1 kali daur.

Sedangkan penyelesaian kegiatan usaha menggunakan Pasal 110B, kegiatan usaha akan dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatna dan subjek hukum akan dikenakan denda administrasi yang besarnya 10 kali besaran PSDH dan DR. Bila denda itu terpenuhi, maka akan diberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (P2KH) untuk yang berada di kawasan Hutan Produksi.

Namun bila denda itu tidak dibayarkan maka akan dilakukan pencabutan perizinan berusaha atau dinyatakan tidak berlaku demi hukum. Sementara itu untuk kegiatan usaha yang berada di Hutan Lindung dan Hutan Konservasi diwajibkan untuk menyerahkan areal kegiatan usaha kepada Negara.

"Khusus di Hutan Produksi kita memberikan sebuah kelonggaran 1 kali daur. Tapi di Hutan Konservasi setelah bayar itu berhenti. Tidak boleh lanjut lagi. Demikian juga di Hutan Lindung," kata Bambang.

Khusus untuk kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat, ada pilihan mekanisme penyelesaian yang lain. Selain menggunakan Pasal 110A dan Pasal 11B, penyelesaiannya juga bisa dilakukan melalui mekanisme program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) atau Perhutanan Sosial. Sehingga penyelesaiannya dapat berujung pada penerbitan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, perubahan batas, Perhutanan Sosial dan Kemitraan Konservasi.

3,3 Juta Hektare Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan

Menurut KLHK, sejauh ini berdasarkan hasil identifikasi, ada sekitar 3.372.615 hektare perkebunan sawit yang terbangun secara ilegal dalam kawasan hutan. Rinciannya, 91.074 hektare berada di Kawasan Hutan Konservasi, 155.119 hektare di Hutan Lindung, 501.572 hektare di Hutan Produksi Tetap (HP), 1.497.421 hektare di Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan 1.127.428 hektare di Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).

Penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan ini menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B. Penentuannya, bagi perkebunan sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) penyelesaiannya akan diproses menggunakan Pasal 110A UU Cipta Kerja.

Sedangkan bagi perkebunan sawit yang tidak memiliki IUP atau tidak sesuai dengan RTRW, akan diproses menggunakan Pasal 110B UU Cipta Kerja. Meski begitu nasib keberlanjutan kegiatan usaha akan ditentukan menurut jenis fungsi kawasan hutan di mana kegiatan usaha terbangun.

Progres "Pengampunan" Menggunakan Pasal 110A

Sejauh ini, dalam pelaksanaan penyelesaian kegiatan usaha ilegal dalam kawasan hutan menggunakan Pasal 110A, sejumlah perusahaan telah mendapatkan "pengampunan" dari KLHK, berupa penerbitan surat keputusan (SK) penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan.

Dalam paparannya, KLHK menyebut sudah ada 24 unit perusahaan yang telah mendapatkan pelepasan kawasan hutan seluas 87.275,93 hektare, yakni 21 unit berada di Kalimantan Tengah, 2 unit berada di Kalimantan Selatan dan 1 unit di Kalimantan Timur.

Selain 24 perusahaan yang telah mendapatkan "pengampunan", KLHK juga tengah melakukan proses verifikasi terhadap 6 subjek hukum dengan luas 6.751,16 hektare. Dari 6 subjek hukum ini, 4 di antaranya telah selesai diverifikasi dan telah dihitung besaran PSDH-DR yang dikenakan.

Kemudian, KLHK juga telah menerima permohonan proses pelengkapan persyaratan perubahan peruntukan hutan yang disodorkan oleh 19 subjek hukum dengan total luas 60.212,25 hektare. 19 subjek hukum ini seluruhnya merupakan korporasi perkebunan sawit, yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Dalam paparannya, terhadap kegiatan terbangun sebelum UUCK yang berproses PP 104 Tahun 2015 dan diproses selanjutnya dengan Pasal 110A dan PP 24 Tahun 2021, KLHK mengklaim telah melakukan penyelesaian sebanyak 57 subyek hukum, dengan pembayaran PSDH DR dengan total senilai Rp17.827.661.820 dan USD8.848.988,214 (total Rp141.713.496.816,--asumsi 1USD = Rp14.000).

"Jadi 110A ini telah berjalan dan bergulir terus untuk semua subjek hukum untuk diverifikasi untuk dikenakan PSDH DR baru dia dapat SK pelepasan," terang Bambang.