Suara Anak Muda dan Perempuan Harus Didengar Ketika Bicara Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Kamis, 01 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perempuan dan anak muda sering dinilai paling rentan terkena dampak krisis iklim. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini disebabkan oleh ketidaksetaraan gender, sehingga menyebabkan terbatasnya akses dan hak-hak formal kelompok tersebut. 

Di berbagai wilayah di dunia perempuan memegang peran tradisional sebagai penyedia utama pangan dan bahan bakar di keluarga maupun komunitasnya. Jika banjir atau kekeringan terjadi, PBB memperkirakan 80% dari yang terlantar merupakan perempuan. 

Hal serupa terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (2017) mencatat, terdapat 9,9 juta rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan dan terancam dampak negatif dari bencana alam. 

Menurut Gracia Paramitha, pengamat politik perubahan iklim dan dosen di London School of Public Relation, posisi tersebut membuat perempuan berkepentingan menjadi agen perubahan. 

Anak muda menggelar aksi iklim saat Hari Bumi 2022 Mei lalu di Jakarta. Dok 350 Indonesia

“Sudah saatnya kita mengubah pola pikir tentang perempuan sebagai objek atau korban (krisis iklim) semata. Sudah saatnya perempuan diberi ruang, diapresiasi, dan ditingkatkan kapasitasnya,” kata Gracia.  

Pemberdayaan perempuan diakui dalam Kesepakatan Paris 2015, yang secara spesifik menyebut kebutuhan global agar meningkatkan kapasitas perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai iklim. 

Menurut Gracia, perempuan memiliki peran yang signifikan dan dapat menjadi agen perubahan dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam Women’s Forum Barometer 2021, misalnya, ditemukan bahwa 47% perempuan telah mengubah kebiasaan konsumsi mereka menjadi lebih berkelanjutan dibandingkan dengan 36% pria. Survei tersebut dilakukan di negara G7 yaitu Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Italia, dan Uni Eropa.  

Gracia mengatakan, saat ini gerakan iklim dan lingkungan didominasi oleh perempuan dan perempuan muda. Kita bisa melihat nama-nama yang populer di kancah internasional seperti Greta Thunberg (inisiator kampanye School Strike for Climate dari Swedia), Vanessa Nakate (aktivis keadilan iklim dari Uganda), hingga pengkampanye iklim dan lingkungan Aeshnina Azzahra dari Gresik, Jawa Barat.

Terdapat kesamaan di antara aktivis-aktivis tersebut: mereka semua anak muda. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ini memang aktif menyuarakan dan memberikan tekanan kepada pengambil keputusan soal solusi krisis iklim di seluruh dunia. Hal ini didorong oleh kekhawatiran tentang masa depan planet bumi yang suram dan tidak layak dihuni. 

Kegelisahan itu dirasakan oleh Putri Risa Fatmawati. Salah satu founder dari Pratisara Bumi ini, organisasi pemuda yang berfokus pada kampanye lingkungan, percaya bahwa krisis iklim merupakan masalah terbesar yang sedang dihadapi manusia. 

Melalui platform media sosial seperti Instagram dan TikTok, Putri bersama rekannya Aulia Salsabella membuat konten dan mengadakan diskusi bertajuk lingkungan dan krisis iklim. 

“Tujuan kampanye Pratisara Bumi adalah untuk meningkatkan awareness dari generasi muda yang aktif di sosial media tentang krisis iklim termasuk lingkungan dan konservasi dengan fakta yang menarik,” jelas Putri. 

Aksi Jeda Iklim yang diikuti ratusan pemuda di Jakarta pada September 2019. Aksi tersebut rangkaian dari gerakan global Climate Strike di seluruh dunia, di mana anak muda mendesak para pemimpin negara mengambil tindakan serius menghadapi krisis iklim. Dok Greenpeace Indonesia

Putri mengatakan, pihaknya juga melakukan aksi nyata. Pada 2021, Pratisara Bumi melakukan ekspedisi tentang lingkungan dan konservasi di Pulau Tunda di Laut Jawa, Banten. 

Aktivitas itu sendiri bertujuan untuk memberdayakan anak muda dan komunitas untuk menerapkan ekowisata berkelanjutan. Seperti menanam mangrove dan terumbu karang demi mencegah dampak perubahan iklim. 

Menurut Putri, keterlibatan anak muda dalam menyuarakan krisis iklim sangat penting. Hasil sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik menyebut bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2045, dengan penduduk usia produktif mencapai 70,72 persen dari total populasi. Dus, generasi muda saat ini sangat berkepentingan untuk angkat suara. 

“Generasi muda adalah ujung tombak pergerakan untuk menyuarakan isu krisis iklim dengan kemajuan teknologi sosial media. Selain itu, generasi muda juga akan menjadi kelompok paling terdampak krisis iklim,” ujarnya. 

Dampak krisis iklim terhadap anak muda

Asesmen termutakhir dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terbit Februari lalu. Di dalamnya para ilmuwan memperingatkan berbagai bahaya iklim yang tak terhindarkan selama dua dekade mendatang dengan pemanasan global 1.5 derajat celcius. Gelombang panas akan semakin sering dan intens. Begitu juga dengan kebakaran hutan, kekeringan, badai, dan banjir. Beberapa dampak diprediksi tidak dapat diperbaiki. 

Menurut laporan IPCC, sekitar 3,5 miliar orang sangat rentan terhadap dampak iklim dan setengah dari populasi dunia kekurangan akses air yang parah di beberapa titik setiap tahun. Selain itu, satu dari tiga orang terkena tekanan panas yang mematikan. Para ilmuwan memproyeksikan angka ini meningkat menjadi 50% hingga 75% pada akhir abad ini. 

Dengan meningkatnya suhu, akan ada setengah juta orang lebih banyak yang berisiko mengalami banjir parah setiap tahun, dan satu miliar orang yang tinggal di pesisir akan terpapar pada 2050. Meningkatnya suhu dan curah hujan juga akan berkontribusi pada naiknya penyebaran penyakit pada manusia, seperti demam berdarah. Tanaman, ternak, dan satwa liar juga akan semakin sering terkena penyakit atau hama.

Petugas mengevakuasi ibu dan anak saat banjir besar melanda Kabupatan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada 2021. Banyak yang menyalahkan hal tersebut sebagai konsekuensi tata kelola lahan yang buruk dan deforestasi, ditambah dengan perubahan iklim. Dok BPBD Tanah Bumbu

Bagi anak muda, dampak krisis iklim lebih spesifik. Menurut Data Plan International, peningkatan suhu sebesar 1.5 derajat celcius akan berdampak pada kehidupan 9,8 juta anak dan kaum muda. Jika terus berlangsung hingga 2025, lembaga tersebut memperkirakan 12,5 juta anak perempuan akan kehilangan kesempatan menyelesaikan pendidikan. Dengan kata lain, krisis iklim berdampak langsung pada kelangsungan dan berbagai aspek kehidupan generasi muda di masa mendatang. 

Menurut Jeri Asmoro, Indonesia Digital Campaigner 350.org, lembaga yang mengadvokasi isu krisis iklim, hal ini yang mendorong luasnya gerakan protes di seluruh dunia. Kesadaran serupa juga terjadi di kalangan anak muda di tanah air. 

“Anak muda telah familiar dan cukup peduli dengan isu krisis iklim. Hal ini disebabkan oleh teknologi dan arus informasi dan pengetahuan yang menyebar dengan cepat,” kata Jeri.

Seorang anak muda memegang poster bertuliskan "Coal No Longer Cool" untuk memprotes Bank BNI yang membiayai perusahaan batu bara di Indonesia. Energi fosil, termasuk batu bara, minyak, dan gas, adalah penyumbang tingginya emisi gas rumah kaca, yang memicu pemanasan global. Dok 350 Indonesia

Pada 2021, survei terhadap 8.374 anak muda di 34 provinsi mengungkap, 89% tahu dan merasa khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis  iklim. Responden berusia 20-30 tahun itu juga menilai sumber terbesar emisi gas rumah kaca adalah kerusakan dan kebakaran hutan dan lahan (38%), diikuti asap kendaraan dan pabrik (35%), dan pembangkit listrik energi fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam (23%). 

Jeri mengatakan, survei tersebut menunjukkan bahwa saat ini anak muda sudah semakin kritis dalam mengidentifikasi dampak, serta sumber spesifik yang berkontribusi pada krisis iklim. 

Pertengahan tahun ini, pelajar dan mahasiswa di berbagai kota melakukan protes di kantor-kantor cabang Bank Nasional Indonesia (BNI). Aksi tersebut bagian dari gerakan #BersihkanBankmu, yang bekerja sama dengan 350.org dan koalisi Bersihkan Indonesia. Mereka mendesak agar bank tersebut berhenti mendanai bisnis batu bara. 

Kajian dari lembaga urgewald di Jerman melaporkan bahwa BNI merupakan satu dari enam pemberi pinjaman terbesar bagi industri batu bara di Indonesia, dengan nilai sebesar USD 1,83 juta atau Rp 26,8 miliar pada periode Oktober 2018-Oktober 2020. 

Pada periode yang sama, lembaga keuangan lainnya turut mendanai energi fosil tersebut. Di antaranya Bank Mandiri, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank. Total pinjaman ke-enam bank tersebut mencapai Rp 89 triliun.  

Menurut Jeri, aksi pelajar dan mahasiswa tersebut memiliki kekuatan untuk memberi tekanan kepada aktor dalam bisnis energi fosil. “Dalam catatan kami BNI bekerja sama dengan 166 kampus di Indonesia, supaya mahasiswanya menjadi nasabah untuk menyetor biaya pendidikan melalui bank tersebut,” kata Jeri. 

Kabar baiknya, BRI baru saja mengumumkan akan berhenti mendanai industri bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak dalam World Economic Forum di Davos akhir Mei lalu. Sebagai catatan BRI turut andil dalam pembiayaan dua pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia serta terlibat dalam kredit sindikasi senilai US$400 juta untuk PT Adaro Energy Indonesia Tbk. 

Desakan untuk energi terbarukan dalam gerakan #BersihkanBankmu yang diikuti anak muda di Jakarat Juli lalu. Dok 350 Indonesia

G20 di mata anak muda Indonesia

Tak hanya di jalan, di forum internasional suara anak muda juga menggema. Gracia, juga pengamat G20 dan Co-Chair Youth 20 (Y20) Forum di Presidensi G20 Indonesia mengatakan tahun ini Youth 20 engagement group memiliki empat isu prioritas, yakni pekerjaan, transformasi digital, planet yang berkelanjutan dan dapat dihuni, serta inklusi dan keberagaman. 

“Di Y20 White Paper, kami membuat survei ke 5.700 anak muda di 19 negara G20 terkait isu yang paling penting. Yang paling diminati adalah krisis iklim, daratan atau hutan, dan air,” kata Gracia. 

Menurut Gracia, perubahan iklim di masa depan akan membuat energi dan air menjadi langka. Karena itu diperlukan inovasi atau teknologi alternatif penyulingan. Selain itu, kedekatan anak muda dengan teknologi internet juga memungkinkan mereka untuk melakukan crowdfunding seperti yang telah dilakukan di beberapa negara. 

“Kita akan berusaha menjaring masukan dari delegasi Y20 sekaligus praktik terbaik masing-masing negara G20. Itu kita jadikan rekomendasi sekaligus dokumen tambahan untuk komunike,” kata Gracia. 

Gracia berharap, perhelatan G20 di Indonesia akan membawa aksi yang lebih nyata serta kolaborasi yang berkelanjutan. Tidak hanya sekedar seremoni. 

Juli lalu, Y20 Summit 2022 telah digelar di Jakarta dan Bandung. Menurut Co-Chair Y20 Indonesia 2022 Rahayu Saraswati, forum tersebut telah menghasilkan Komunike Y20 yang diadopsi seluruh delegasi. Empat poin utama di dalamnya meliputi ketenagakerjaan pemuda, transformasi digital, planet berkelanjutan dan layak huni, serta keberagaman dan inklusi. 

Pada forum yang sama, Rahayu menyerahkan dokumen komunike kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Rahayu berharap, Presiden Jokowi dapat menyampaikan aspirasi pemuda tersebut ke KTT G20 di Bali November mendatang. 

“Kami anak muda ada di sini untuk berkontribusi dan kami membutuhkan kesempatan. Berikan kami tempat duduk dan kami berjanji kami tidak akan mengecewakan Anda, bahkan di KTT G20,” ungka Rahayu. 

“Delegasi Y20 mendesak adanya perwakilan Y20 di acara puncak KTT mendorong dan mempengaruhi keputusan pemimpin dunia,” tambahnya.

Forum Youth 20 Summit diadakan di Museum Konferensi Asia-Afrika Juli lalu. Dok Y20 Indonesia 

Keterlibatan anak muda juga terlihat dari penunjukan artis dan penyanyi Maudy Ayunda sebagai juru bicara pemerintah untuk presidensi G20. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate, Maudy bertugas untuk menyebarkan informasi terkait KTT G20, terutama bagi generasi milenial dan Z. 

“Indonesia mengajak seluruh dunia untuk berkolaborasi dan pulih bersama dari pandemi dan tumbuh menjadi lebih kuat secara berkelanjutan,” kata Maudy dalam konferensi pers, Maret lalu. 

“Tiga isu prioritas presidensi Indonesia adalah penguatan arsitektur global, transformasi digital, dan transisi energi. Tiga isu ini akan dibahas di semua sektor untuk menjadi modal besar untuk dunia pulih dan bangkit lebih kuat lagi,” jelas Maudy. 

Indonesia memegang presidensi G20 ke-17 sejak 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa,”  rangkaian agendanya memiliki tiga isu prioritas: penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi berkelanjutan. 

Rangkaian pertemuan akan melibatkan 20.988 delegasi yang terdiri atas negara anggota dan tamu undangan. Di antaranya, tuan rumah Indonesia, Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Britania Raya, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Spanyol juga diundang sebagai tamu peserta permanen. 

Gracia mengatakan, Indonesia memiliki posisi dan peran strategis sebagai tuan rumah. Pasalnya, Indonesia merupakan negara pertama dari ekonomi berkembang (emerging market) yang mengetuai forum tersebut. Setelah itu akan berlanjut ke negara dengan ekonomi serupa seperti Brasil dan Afrika Selatan. 

“Peran strategisnya di situ. Kalau Indonesia memberi banyak hal konkret dan aksi yang berdampak dalam konteks krisis iklim, pasti jadi role model. Tinggal bagaimana mengupayakan itu semua, terutama saat KTT nanti,” pungkas Gracia. 

Poster Group of Twenty (G20) di area Senayan, Jakarta Pusat. Dok Kennial Laia/Betahita

Bio Andaru, aktivis muda dari Komunitas Fossil Free Jogja, mengatakan agar forum G20 tidak sekedar mengusulkan solusi palsu dan manipulatif dan hanya berfokus pada ekonomi. Dia mendesak agar pemerintah segera mendeklarasikan darurat iklim. 

“Bumi kita sedang tidak baik-baik saja, dan tak perlu menjadi kaya dulu baru memulai pergerakan,” katanya. 

Farahdila Virta Fauziah, Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM Universitas Indonesia berharap pemerintah lewat forum G20 pemerintah dapat lebih serius dan membuat kebijakan yang mempertimbangkan lingkungan. 

“Hingga saat ini saya belum bisa melihat keseriusan dan tingkat kepahaman pemerintah mengenai relasi khusus manusia dengan lingkungan,” kata Farahdila. 

Betapa pun Indonesia bergembira dan bangga menjadi tuan rumah perhelatan G20, pemerintah harus tetap merefleksikan kesempatan ini dalam kebijakan domestiknya, terutama terkait transisi energi dan krisis iklim. 

Anak muda yang jadi generasi penerus bangsa ini menantikan keseriusan pemerintah. Dan terlebih dulu, pemerintah harus mendengar aspirasi ini dan menjadikan isu yang disuarakan anak muda maupun perempuan sebagai episenter dalam pengambilan keputusan tentang iklim. 

Reportase untuk artikel ini didukung oleh Earth Journalism Network, Internews