Indonesia Perlu Benahi Tata Kelola Hutan Demi Syarat Ekspor ke EU

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Jumat, 16 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Parlemen Eropa sepakat memasukkan tata cara untuk memastikan perusahaan menghormati norma dan standar internasional HAM dalam UU anti deforestasi yang saat ini mereka susun. UU ini memberikan syarat bagi negara pengimpor produk Uni Eropa, yakni Hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (Free, Prior and Informed Concent/ FPIC).

Prasyarat uji tuntas mengenai klaim atas tanah dan keberadaan masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi sangat kuat. 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Uli Arta Siagian, menyebutkan keputusan parlemen Eropa untuk memasukan prasyarat Hak Asasi Manusia dalam peraturan anti deforestasi ini merupakan langkah yang tepat. Sebab, anti deforestasi dan perlindungan terhadap HAM adalah sebuah keniscayaan. 

“Agar undang-undang ini nantinya dapat menurunkan laju deforestasi di Indonesia, maka pemerintah Indonesia harus segera berbenah” kata  dia dalam pers rilis. 

Foto udara hutan lindung Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dok Lembaga Adat Wehea

Setidaknya ada beberapa tindakan korektif yang harus dilakukan pemerintah Indonesia agar bisa tetap melakukan ekspor ke UE, khususnya komoditas sawit dan kayu. Pertama, pemerintah Indonesia harus segera mengoreksi tata kelola sawit dan kayu yang sengkarut, mulai dari pemberian izin. 

Evaluasi menyeluruh izin-izin perkebunan sawit, logging, dan kebun kayu (HTI) milik korporasi. Hal ini menjadi sangat penting sebab, sawit ilegal dalam kawasan hutan yang dikuasai oleh korporasi sangat luas. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat seluas 3,3 juta hektar sawit dalam hutan. 

“Maka tindakan pemberian sanksi terhadap perusahaan tersebut dengan mencabut izinnya penting untuk dilakukan. Pemenuhan bahan baku industri pulp and paper hingga saat ini 45 persennya masih dari hutan alam. Kayu logging yang diproduksi juga masih banyak berasal dari luar konsesi izin perusahaan,” ucap dia.  

Pemerintah harus segera memperluas pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat yang berada di kawasan hutan. Pengakuan dapat dilakukan dengan kebijakan perhutanan social, hutan adat dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dalam Kawasan hutan. 

Wilayah kelola rakyat yang berkonflik dengan korporasi, maka diperlukan distribusi lahan dengan skema enclave, dan bahkan lebih jauh mencabut izin perusahaan. 

Kedua, perlu penguatan implementasi dari kebijakan moratorium izin di kawasan hutan. Bahkan pemerintah Indonesia sudah seharusnya mengambil langkah untuk berhenti menerbitkan izin untuk perkebunan sawit. Jika penerbitan izin perkebunan sawit terus dilakukan, maka deforestasi akan semakin massif. Ketiga adalah penegakan hukum. 

Hal lainnya yang diputuskan parlemen UE dan harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia adalah sertifikasi. Parlemen UE juga menyatakan sertifikasi tidak dapat digunakan oleh perusahaan sebagai pengganti bahwa mereka telah melakukan uji tuntas. Selama ini banyak sekali kasus yang ditemui, bahwa perusahaan pemegang sertifikat seperti SVLK dan ISPO untuk Indonesia masih melakukan deforestasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

“Maka pemberian, monitoring, evaluasi terhadap korporasi pemegang sertifikat SVLK dan ISPO harus dilakukan dengan serius, ketat dan inklusif, agar semua pihak dapat memantau,” jelasnya.

Ia berharap parlemen UE harus memperkuat kerja sama dengan pemerintah Indonesia dan mendorong perbaikan tata kelola, kebijakan perlindungan hutan dan HAM, serta memperluas pengakuan hak rakyat Indonesia atas wilayah Kelola mereka.  UU anti deforestasi ini tidak diharapkan memberikan dampak buruk bagi petani swadaya di Indonesia. 

“Maka untuk menjamin petani Indonesia dapat memenuhi prasyarat uji tuntas, maka parlemen UE harus memberikan perhatian khusus dan membangun kerja sama dengan petani,” imbuhnya.