WALHI Desak Pemerintah Redistribusi Tanah Konflik Agraria

Penulis : Kennial Laia

Agraria

Rabu, 21 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melaporkan terdapat 24 lokasi konflik agraria yang tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia. Organisasi pemerhati lingkungan tersebut mendesak pemerintah untuk mengembalikan lahan sengketa itu kepada rakyat. 

Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Industri Ekstraktif WALHI menyebut beberapa konflik agraria yang dilaporkan kepada Wakil Menteri ATR/ Wakil Kepala BPN merupakan konflik yang sudah pernah dilaporkan WALHI kepada Kementerian ATR/ BPN.

Pelaporan ini disampaikan pada pertemuan WALHI dengan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Senin, 12 September 2022 di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi dan perwakilan Eksekutif Daerah WALHI (Riau, Jambi, dan Nusa Tenggara Timur) turut hadir.

“Kami berharap pergantian kepemimpinan Kementerian ATR/BPN di level Menteri dan Wakil Menteri mampu menyegerakan penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Legalisasi dan redistribusi tanah kepada rakyat merupakan model reforma agraria yang paling tepat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi,” kata Hadi dalam pernyataan tertulis. 

Ilustrasi konflik agraria. Foto: Internet

Tanah konflik agraria tersebut sebelumnya pernah dilaporkan kepada Kementerian ATR/BPN. Menurut Hadi, lokasinya tersebar di 12 provinsi. Di antaranya Riau, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua.

Abdullah, Direktur WALHI Jambi, yang hadir bersama masyarakat Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari dalam pertemuan tersebut menjelaskan persoalan konflik agraria yang terjadi di Jambi terkait dengan mafia tanah. Pencadangan hingga sertifikasi hak atas tanah warga transmigran acap kali diserobot para mafia tanah.

“Konflik di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari awalnya takut disuarakan warga karena adanya gangguan preman. Belakangan, persoalan premanisme berhasil diselesaikan, namun belum mampu menyelesaikan persoalan pokok konflik agraria antara masyarakat dan mafia tanah,” jelas Abdullah.

Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.

Dalam pertemuan ini, Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, menyebut terdapat tiga model konflik agraria di provinsi tersebut. Konflik tersebut melibatkan korporasi dan masyarakat adat.

Pertama, konflik di sektor pariwisata. Konflik agraria di sektor ini telah merenggut nyawa Poro Duka, warga Desa Patiala Bawa, Lamboya, Sumba Barat, saat masyarakat adat menolak pengukuran tanah oleh PT Sutra Marosi Kharisma. Poro Duka tertembak senapan polisi di pesisir pantai Marosi pada 2018. Menurut Umbu Wulang, tanah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan ini seharusnya sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar. 

Kedua, konflik di sektor infrastruktur. “Konflik terakhir yang kami soroti terkait rencana pembangunan Waduk Lambo. Masyarakat menolak proyek pembangunan waduk di atas tanah mereka,” jelas Umbu Wulang. 

Konflik lainnya terkait dengan pembangunan perkebunan tebu milik PT Muria Sumba Manis seluas 52.000 hektare. Perusahaan tersebut merupakan anak dari Hartono Plantation Indonesia (HPI Agro - Djarum Group). 

“Masyarakat menolak pembangunan kebun dan pabrik milik Grup Djarum dan Wings karena berada di atas tanah adat. Secara umum, konflik agraria di NTT tidak dapat lepas dari konflik antara korporasi dan masyarakat adat,” jelas Umbu Wulang.

Sementara itu, konflik agraria di Riau berkaitan erat dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Direktur WALHI Riau Boy Even Sembiring mengatakan pihaknya turut melaporkan lima konflik antara masyarakat dan korporasi perkebunan kelapa sawit. 

Menurut Boy, konflik pertama terkait tumpang tindih hak atas tanah antara masyarakat empat desa di Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis dengan PT Teguh Karsa Wana Lestari. Keempat desa menuntut legalisasi aset melalui skema sertifikasi tanah transmigrasi seluas 2.400 hektare. 

Kedua, konflik agraria terkait Hak Guna Usaha (HGU) tidak aktif di Pulau Mendol, Kabupaten Pelalawan. Selain itu, izin usaha perkebunan PT Trisetia Usaha Mandiri yang berkonflik dengan masyarakat sudah dicabut Bupati Pelalawan pada 2018. HGU ini berada di atas pulau kecil ekosistem gambut yang luasnya hanya 31.289 hektare. 

Ketiga, desakan kelanjutan redistribusi tanah di lokasi konflik antara PT WSSI dengan masyarakat di Kabupaten Siak. Akselerasi ini memastikan target redistribusi tanah seluas 1.602,7 hektare tercapai.

Menurut Boy, sejauh ini redistribusi tanah sudah dilaksanakan di Desa Buatan I dan Buatan II seluas 1.080,8 hektare. Tersisa 635,2 hektare areal kerja belum diredistribusi kepada masyarakat Desa Sri Gemilang dan Rantau Panjang. 

Selain itu, terdapat legalisasi aset yang berpotensi menjadi konflik agraria di Desa Suka Damai, Tanjung Medang, Teluk Rhu, Tanjung Punak, dan Kadur, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis. Menurut Boy, model legalisasi harus dilakukan di atas areal izin lokasi seluas 16.311 hektare PT Bina Rupat Sepang Lestari yang di atasnya telah dimanfaatkan fasilitas umum, perkantoran pemerintah, pemukiman warga dan kebun masyarakat. 

“Kelima, penyelesaian konflik atas tanah dengan luas sekitar 2.000 hektare di Desa Pungkat, Kabupaten Indragiri Hilir antara masyarakat dengan PT Setia Agrindo Lestari yang terjadi sejak 2014,” sebut Boy.

Merespon laporan WALHI, Wakil Menteri ATR/ Wakil Kepala BPN Raja Juli Antoni menyebut kementeriannya akan memperbaiki terlebih dahulu dashboard perekaman data konflik agraria dan laporan masyarakat. Selain itu, secara bertahap akan merespon dan menyelesaikan persoalan konflik agraria yang telah terjadi. 

“Saat ini, kami sedang melakukan audit HGU dengan catatan tidak ada hak rakyat yang dirugikan dan memastikan investasi harus memenuhi kewajiban pajaknya kepada negara,” kata Raja Juli. 

“Berkaitan dengan laporan yang disampaikan WALHI, kami berharap data dan informasi lengkapnya segera disampaikan agar penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara kolaboratif antara kami dan WALHI, sehingga bermanfaat untuk Indonesia kita,” pungkasnya.