Rendahnya Atensi terhadap Gajah dan Habitatnya

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Selasa, 20 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Beberapa waktu belakangan gajah-gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) ditemukan mati secara misterius. Kematian gajah-gajah ini semestinya menjadi alarm atau peringatan, bahwa perhatian terhadap habitat dan gajah masih rendah.

Sekitar dua pekan lalu, gajah sumatera jantan ditemukan mati di perkebunan karet warga di Jambi. Menyusul kemudian, 13 September 2022 kemarin, satu individu gajah betina jantan ditemukan sudah jadi tulang belulang di Bentang Alam Seblat, Bengkulu.

Gajah mati meninggalkan tulang belulang ini merupakan kasus kedua kalinya yang terjadi di Bentang Alam Seblat. Pada Maret 2021 lalu, tim patroli Konsorsium Bentang Seblat juga menemukan tulang belulang gajah yang tidak diketahui identitasnya.

Pembeda dari dua temuan gajah mati tinggal tulang belulang itu adalah, satu tanpa GPS Collar, satu lagi (terbaru) dengan alat pantau tersebut. Konsorsium mencatat setidaknya sejak 2018 sampai dengan sekarang, tercatat 3 kasus kematian gajah yang terdeteksi di Bentang Alam Seblat.

Tulang belulang gajah betina yang ditemukan di konsesi PT API, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu./Foto: Konsorsium Bentang Seblat.

Bila diuraikan, gajah betina yang ditemukan tinggal tulang belulang di usia sekitar 35 tahun, di dalam areal kerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)--sebelumnya disebut IUPHHK-HA--PT Anugrah Pratama Insiprasi (ASI) di Kawasan Hutan Produksi (HP) Air Rami, beberapa hari lalu itu merupakan gajah istimewa. Gajah ini dikalungi GPS Collar sejak dua tahun lalu oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung.

Pemasangan GPS Collar ini tujuannya untuk mendeteksi jalur dan keberadaannya. Fungsinya, bila gajah ini ke luar kwasan hutan atau mendekati pemukiman, petugas dapat melakukan respon cepat sehingga memiliki waktu untuk memberikan peringatan, upaya penggiringan gajah kembali ke habitat pun bisa lebih cepat dilakukan.

Sebagai satwa endemik, langka dan terancam punah, gajah statusnya dilindungi berdasarkan Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018. Satwa payung ini telah lama masuk dalam kelas Kritis Terancam Punah oleh IUCN dalam Daftar Merah Spesies yang Terancam Punah.

Namun perlindungan dan status keterancamannya tersebut sepertinya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pelestarian secara keseluruhan. Kawanan ini semakin terancam dan secara perlahan menuju kearah kepunahan.

"Inti masalah terancamannya keselamatan satwa gajah ini disebabkan oleh perebutan ruang hidup antara manusia dengan satwa gajah. Bentang Alam Seblat adalah wilayah perebutan tersebut," kata Ali Akbar, Koordinator Konsorsium Bentang Seblat, Jumat (16/9/2022).

Ali menjelaskan, Bentang Alam Seblat merupakan habitat penting bagi tidak lebih 50 ekor populasi gajah sumatera. Kawasan ini terdiri dari HPT Air Ipuh 1 dan 2, HPT Lebong Kandis, HP Air Teramang dan HP Air Rami, TWA Seblat serta sebagian kecil kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Pada sebagian besar kawasan hutan produksinya telah dibebani izin penebangan kayu yaitu IUPHHK-HA PT Bentara Arga Timber (BAT) dan IUPHHK-HA PT Anugrah Pratama Inspirasi (API) dengan total luas 73 ribu hektare.

Analisis tutupan hutan yang dilakukan Konsorsium Bentang Seblat-- terdiri dari Kanopi Hijau Indonesia, Genesis Bengkulu dan Lingkar Inisiatif Indonesia--menunjukkan, hingga Agustus 2022, dari seluas 80.987 hektare kawasan hutan Bentang Alam Seblat yang dipantau, 28 ribu hektare telah mengalami kerusakan.

Tutupan hutan seluas 34 persen dari kawasan HP yang menjadi habitat gajah di Bentang Alam Seblat telah berganti menjadi lahan pertanian, lahan kering campuran dan lahan terbuka.

Kerusakan terparah terdapat di dua kawasan yaitu kawasan Hp Air Teramang yang mengalami kerusakan mencapai 46 persen atau seluas 2.227,5 hektare dari total luas 4.818,5 hektare.

Sedangkan HP Air Rami mengalami kerusakan sekitar 25 persen atau seluas 3.499,6 hektare dari 14.010 hektare luas kawasan hutan ini. Bukaan ini secara umum untuk lahan perkebunan dengan jenis utama kelapa sawit dan terus berlanjut hingga kini.

"Pembiaran penguasaan hutan negara dan lemahnya penegakan hukum, baik oleh pemegang izin maupun Dinas Kehutanan terhadap tindakan kejahatan kehutanan selama ini, telah berkontribusi meningkatkan konflik ruang hidup, yang sekarang telah akut dan mengancam kelestarian gajah liar di Bentang Seblat," lanjut Ali.

Kawasan HP Air Rami dan HP Air Teramang, lanjut Ali, seyogyanya dilestarikan, karena kawasan ini telah kuat secara hukum. Penetapan HP AIR Rami telah dilakukan melalui SK Menhut Nomor 484 Tahun 1999, sedangkan HP Air Teramang melalui SK Nomor 4042 Tahun 2014.

Beberapa kegiatan dilakukan oleh Konsorsium Bentang Seblat, seperti melakukan patroli rutin, peningkatan kapasitas masyarakat sampai dengan membangun tim satgas mitigasi dan penanganan konflik, melaporkan kejahatan satwa dan kejahatan kehutanan kepada aparat penegak hukum masih belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keselamatan baik habitat maupun satwa yang memiliki fungsi ekologis penting ini.

Temuan kematian pada 2021 telah dilaporkan ke aparat penegak hukum Polres Mukomuko, kejahatan habitat telah disampaikan ke penegakan hukum KLHK. Namun sampai sekarang kasus kematian dan perusakan kawasan ini tidak naik status.

Bahkan kasus jual beli kawasan hutan yang dirasa telah cukup terang pelakunya, sampai dengan hari ini juga belum ada perkembangan yang berarti. Surat dari pemanggilan dari DLHK tidak pernah direspon oleh orang yang disangkakan sebagai pelaku.

"Atas situasi tersebut, kami dari Konsorsium Bentang Seblat meminta kepada para pihak yang berkepentingan untuk mengungkap kasus kematian gajah di Bentang Seblat," ujar Ali.

Selain itu, Konsorsium mendesak dilakukannya penegakan hukum atas kejahatan kehutanan yang terjadi di Bentang Seblat, utamanya terhadap aktivitas penguasaan dan perusakan hingga jual beli kawasan hutan habitat gajah.

Konsorsium juga meminta pemerintah daerah dan KLHK untuk melakukan pengawasan dan upaya perlindungan pada habitat dan populasi gajah liar di Bentang Seblat, sehingga tidak terjadi lagi kematian gajah non alami.

"Mendukung pemerintah daerah melakukan evaluasi dan peninjauan ulang atas Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam/IUPHHK-HA, Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan izin lainnya yang berada dalam habitat gajah."

Diperkirakan Gajah Mati karena Sakit 

Menurut keterangan media yang diterima, pada 14 September 2022, BKSDA Bengkulu-Lampung menerjunkan tim ke lokasi temuan tulang belulang gajah betina di kawasan HP Air Rami. Di sana tim mencoba melakukan nekropsi. Namun dikarenakan kondisi bangkai yang telah membusuk sepenuhnya (nekrosis postmortem), maka pengambilan sampel untuk kepentingan uji laboratorium tidak dapat dilakukan.

Hasil pengamatan tim, di sekitar lokasi kejadian terdapat pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat yang masif merusak habitat gajah dan dapat mengancam keselamatan satwa gajah di kawasan HP Air Rami yang merupakan areal konsesi PT API.

Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung, Donal Hutasoit mengatakan, menurut dugaan sementara gajah betina tersebut mati karena sakit, akan tetapi penyebab pastinya tidak dapat diketahui.

"Kami tidak dapat mengetahui penyebab pasti kematian gajah tersebut, sebab saat ditemukan hanya tersisa tulang belulang gajah," kata Donal, dalam konferensi pers yang digelar Jumat (16/9/2022) kemarin, dikutip dari Antara.

Donal menjelaskan, dugaan sakit sebagai penyebab kematian gajah betina ini berasal dari ditemukannya lubang yang diperkirakan karena benda tajam pada kaki belakang bagian kiri gajah yang berpotensi menimbulkan infeksi. Sehingga akibat luka tersebut gajah mengalami kesulitan berjalan.

Selain itu ditemukan pecahan gigi bagian kiri bawah gajah dan mengalami gangguan makan. Meski demikian, Donal belum dapat memastikan, penyebab gigi tersebut pecah, apakah karena makanan gajah, atau yang lainnya.

"Dari pengalaman kita di lapangan bahwa lokasi ditemukannya gajah tersebut banyak lahan bukaan masyarakat," imbuh Donal.