Perpres Energi Terbarukan Hanya Gimmick Transisi Energi Indonesia

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Selasa, 27 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang konon ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatur proses transisi energi Indonesia menuju energi terbarukan, dianggap menyimpang dari misinya dan terkesan hanya gimmick jelang G20 dan COP.

Misi beleid yang diteken pada 13 September 2022 itu adalah untuk mendorong energi bersih dan terbarukan sambil mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Akan tetapi Perpres itu justru terkesan mengulur transisi dan memberikan nafas pada batu bara, yang selain kotor dan destruktif terhadap lingkungan, juga dibangun dalam skema yang sangat merugikan rakyat dan negara.

Trend Asia menyebut, aturan ini memperpanjang tenggat waktu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru yang tersisa dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari 2023 menjadi 2032. Yang mana dalam RUPTL 2021-2030 masih ada 13,8 GW PLTU baru yang rencananya akan dibangun.

Padahal, seperti di jaringan listrik Jawa-Bali dan Sumatera--yang menjadi lokasi pembangunan intensif--kini sudah kelebihan daya (oversupply). Ditambah yang akan dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit baru, angka oversupply di jaringan ini bisa lebih dari 60 persen pada 2030.

Ilustrasi energi terbarukan )lpbi-nu.org)

Gencarnya pembangunan ini didukung oleh skema take or pay, yang mengharuskan PLN untuk tetap membayar kapasitas yang ada--termasuk dari pembangkit swasta yang kini mendominasi--meskipun listrik tersebut tidak diperlukan. Pembangunan pembangkit menjadi bisnis aman yang diminati investor, namun sangat merugikan negara yang harus menebus kerugian PLN.

Trend Asia menyebut, sangat tidak patut bila untuk menyikapi hasil kesalahan tata kelola berkepanjangan berlatar belakang konflik kepentingan ini, pemerintah malah nekat untuk tetap menambah pasokan listrik dalam jaringan.

Selain tidak dibutuhkan dan merugikan secara finansial, pembangunan PLTU selalu membawa dampak buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Pembakaran batu bara telah menimbulkan masalah polusi dan kesehatan.

Pembangkit-pembangkit di Jawa misalnya, telah mengganggu kehidupan rakyat dengan menggusur hidup petani garam dan nelayan, serta menimbulkan masalah kesehatan kulit dan pernapasan bagi masyarakat di daerah sekitar.

Trend Asia berpendapat, pemerintah seharusnya dapat mengendalikan pembangunan pembangkit melalui pemberian izin. Yang terjadi pemerintah justru malah longgar dan sembarangan dalam membagikan izin ini. Contohnya, pada rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A, yang sedang digugat karena analisis mengenai dampak lingkungannya (AMDAL) tidak menyertakan kajian dampak emisi karbon dan perubahan iklim.

Selain pemberian izin yang serampangan, pemerintah juga masih memberi celah bagi PLTU batu bara berusia tua untuk tetap beroperasi, yang justru akan menggagalkan usaha untuk transisi ke energi bersih dan berkeadilan.

Pemerintah tampak acuh kepada masalah-masalah batu bara ini, situasi tersebut menunjukkan betapa lemahnya ambisi pemerintah dalam meningkatkan bauran energi terbarukan yang juga masih didominasi batu bara.

Juru Kampanye Biomassa dan Energi Terbarukan Trend Asia, Meike Inda Erlina mengatakan, Perpres ini tetap ingin melanggengkan penggunaan batu bara dengan mekanisme lain sehingga dapat memperpanjang usia PLTU yang seharusnya segera dipensiunkan, yaitu melalui co-firing biomassa salah satunya berbahan pelet dan serpihan kayu.

"Co-firing biomassa juga dapat dilihat sebagai usaha pencitraan “hijau” yang dilakukan pemerintah terhadap PLTU batu bara tersebut,” kata Meike Inda Erlina, dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (22/9/2022).

Padahal, lanjut Meike, co-firing biomassa pada PLTU batu bara tidak efektif mengurangi emisi, dan bahkan berpotensi menambah emisi dari pembakaran di PLTU dan deforestasi dari pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE). Pemerintah mau menekan emisi dari sektor energi, namun malah akan menambah emisi dari sektor Forestry and Other Land Uses (FoLU).

Lemahnya komitmen pemerintah dalam transisi energi bersih ini berbanding terbalik dengan komitmen verbal Jokowi tahun lalu. Perpres ini nampak seperti sekadar gimmick politik menjelang G20 dan COP27 (Conference of Parties).

“Keberadaan Perpres ini hanya gestur politik dan bualan Jokowi menjelang G20 dan COP27. Apabila mengamati secara mendasar, Perpres ini seperti perubahan kosmetik agar Indonesia tampak progresif di hadapan publik internasional. Nyatanya pemerintah tetap memfasilitasi kepentingan oligarki batu bara,” ujar Novita Indri, Peneliti dan Juru Kampanye Energi Trend Asia.

Publik Indonesia serta negara-negara G7 dan G20, imbuh Novita, harus tetap menyoroti Perpres ini dengan kritis. Publik juga perlu menyoroti aktor-aktor batu bara yang berkelindan erat dengan pemerintahan dan sarat dengan potensi konflik kepentingan.

Jika komitmen pemerintah untuk transisi energi terbarukan bukan sekadar omong kosong, pemerintah harus menunjukkan sikap lebih tegas terhadap industri batu bara.