Jatayu: Tutup PLTU agar Petani Bisa Hidup di Tanah yang Subur

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Rabu, 28 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Bagi masyarakat tani, kehadiran PLTU Indramayu 1 lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Kehadiran PLTU berkapasitas 3x300 MW tersebut disebut telah merenggut lahan pertanian yang berkorelasi dengan hilangnya mata pencarian.

Masyarakat sejumlah desa sekitar PLTU yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu) meminta agar PLTU tersebut ditutup, agar para petani bisa hidup di tanahnya yang subur. Hal tersebut diutarakan dalam sebuah aksi damai dan tumpengan peringatan Hari Tani Nasional, di Pantai Mekarsari, 24 September 2020 kemarin.

Di momen itu, puluhan petani dari Desa Tegal Taman, Sumber Adem dan Mekarsari juga menolak rencana co-firing biomassa PLTU Indramayu 1 dan meminta pemerintah membatalkan rencana pembangunan PLTU Indramayu 2.

Disebutkan sejak kehadiran PLTU Indramayu 1, warga sekitar mengalami gangguan kesehatan, di antaranya gangguan pengelihatan dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Walhasil warga menjadi kesulitan untuk bertani, sementara sebagian besar warga menggantungkan keberlangsungan hidup dari sawah dan lahan pertanian.

Puluhan warga menggelar aksi dalam momen peringatan Hari Tani Sedunia, di pesisir Pantai Mekarsari, sekitar PLTU Indramayu 1, 24 September 2022./Foto: Trend Asia.

"Kami sebagai masyarakat biasa hanya ingin menyampaikan, pemerintah tolong bantu kami sebagai kaum tani supaya tanah kami tidak dihabiskan untuk industri serta pembangunan-pembangunan yang menghilangkan tanah kami," kata Rodi, Ketua Jatayu, dalam pernyataan tertulisnya.

Rodi mengungkapkan, selama bertahun-tahun masyarakat hidup dari tanah, dari olah tanah masyarakat bisa bertani hingga bisa membesarkan anak-anak. Keberadaan PLTU Indramayu 1, menurutnya, sudah sangat membuat masyarakat kesulitan, yang mana mata pencarian dari pertanian hilang. Bahkan saat ini pun kampung bukan lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman, sebab asap pembakaran batu bara dari cerobong asap PLTU terus mengancam.

"Harapan terbesar kami sekarang, ingin sekali meminta kepada pemerintah untuk menutup PLTU 1 sehingga kami bisa hidup seperti biasa di lahan yang penuh dengan kesuburan."

Salah seorang petani, Surmi mengatakan, sebelum berdiri, PLTU Indramayu 1 sudah memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Contohnya, banyak pohon kelapa yang jadi salah satu andalan ekonomi warga hilang. Kemudian, rencana pembangunan PLTU Indramayu 2 juga telah mengakibatkan banyak warga desa yang ditahan karena mengekspresikan penolakannya.

Akibat operasional PLTU, hasil panen warga selalu buruk dan para petani jadi sakit-sakitan. Ujungnya, para petani selalu merugi dan untuk mendapatkan modal, warga terpaksa harus berhutang.

Tanamannya jelek, jadi hasil sedikit, banyak utang dan sulit membayar. Karena PLTU saya kena penyakit mata dan 5 kali operasi karena asap hitam dan membuat mata pedih, dan akhirnya tidak bisa bertani lagi,” ujar Surmi.

PT PLN menyebut, perseroan plat merah itu dapat mendukung komitmen pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca, ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan menekan laju kenaikan suhu agar tak melampaui 1,5°C. Salah satu cara yang digunakan yakni dengan program co-firing biomassa.

PLN menggunakan beberapa bahan baku untuk proses co-firing di antaranya pellet, sekam, padi, cangkang sawit, sisa gergajian atau serbuk kayu, dan pelet kayu (wood pellet). Dalam proses co-firing ini pemerintah menggunakan skenario 1 persen, 5 persen, hingga 10 persen biomassa dan sisanya dicampur dengan batu bara.

Skema co-firing juga dianggap sebagai salah satu jalan emas menuju transisi energi bersih. Nyatanya, berdasarkan temuan Trend Asia tahun 2021-2022, co-firing biomassa justru lebih polutif, meningkatkan kebutuhan batu bara, dan melanggengkan usia PLTU yang seharusnya sudah pensiun.

Berdasarkan pantauan warga Jatayu dan Aliansi Bersihkan Indramayu (Albin) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Trend Asia, LBH Bandung, selama 7 bulan terakhir mulai terjadi aktivitas pengangkutan serbuk kayu ke PLTU Indramayu 1. Selain itu, warna
asap yang dikeluarkan oleh PLTU pun semakin hitam pekat dan tebal.

Ini menjadi semakin menunjukkan co-firing biomassa hanya skema palsu transisi energi baru dan terbarukan. Pasalnya skema bebas emisi yang digadang PLN tidak sebanding dengan kerusakan dan dampak yang ditimbulkan kepada lingkungan dan masyarakat.

“Sawah habis di negeri agraris, pemerintah sibuk membangun, tapi melupakan pertanian. Lahan habis ditanami cerobong besi dan warga sakit karena dilemburi asap batu bara," kata Feri Irawan dari Albin.

Feri bilang, pada momentum Hari Tani Nasional ini, ia mewakili anak muda sebagai generasi yang akan datang, tidak mengharapkan memiliki pemerintah yang rakus akan penguasaan tanah demi investasi dan jauh dari kata menyejahterakan masyarakat.

"Keberadaan PLTU justru menghilangkan lahan pertanian masyarakat, seperti contoh di Desa Mekarsari,” imbuh Feri.

PLN menargetkan implementasi co-firing biomassa di 52 PLTU di seluruh Indonesia hingga 2025. Saat ini PLN bersama anak perusahaannya PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dan PT Indonesia Power telah melakukan co- firing biomassa di 32 PLTU per Mei 2022.

Co-firing biomassa pada PLTU hanya solusi palsu yang ditawarkan pemerintah untuk memperpanjang napas oligarki batubara. Bagi masyarakat, khususnya di lingkar PLTU, skema ini justru menjadi petaka karena semakin merusak lingkungan tinggal mereka dan memaksa warga untuk lebih lama menghirup udara kotor dari PLTU.

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Wahyudin mengatakan, sebelum ada PLTU Indramayu 1, mata pencaharian warga bergantung pada pertanian. Yang mana warga bisa bertani padi, palawija dan lain sebagainya. Namun saat ini tidak ada lagi harapan bagi warga ketika lahannya tergusur oleh industri raksasa.

"Selain hilangnya mata pencaharian warga karena alih fungsi lahan, saat ini warga pun digempur oleh asap pekat dari cerobong PLTU, asap tersebut tidak hanya berdampak terhadap pencemaran udara melainkan menimbulkan pula terhadap gangguan kesehatan masyarakat sekitar PLTU 1,” tutur Wahyudin.

Di kesempatan yang sama, Juru Kampanye Biomassa dan Energi Terbarukan Trend Asia, Meike Inda Erlina menambahkan, pemerintah wajib menunaikan kewajibannya untuk menekan emisi karbon dan menjamin keselamatan rakyat. Meike memberikan nasihat kepada pemerintah, yakni agar segera mempensiunkan PLTU batu bara dan beralih ke energi bersih yang berkeadilan.

"Setop mengulur waktu agar PLTU batu bara terus beroperasi dengan akal-akalan co-firing. PLTU Indramayu 1 telah 12 tahun beroperasi, mestinya pemerintah mengusahakan untuk menutup PLTU, bukan malah mencampur batu bara dengan biomassa, salah satunya pelet kayu," kata Meike.

Meike menuding, skema co-firing biomassa pada PLTU batu bara ini dibuat seolah-olah "hijau", padahal itu hanya demi pencitraan semata. Co-firing biomassa memiliki emisi karbon tinggi, mulai dari hasil emisi tinggi dari deforestasi, pengelolaan hutan tanaman energi (HTE), sampai pembakaran pelet kayu di PLTU.