Putusan MK Soal JR UU Minerba: Rugikan Masyarakat

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 30 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materiil UU No 4 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengecewakan para pemohon. MK dianggap kian menjauhkan akses aspirasi publik di sektor pertambangan sekaligus mengabaikan keselamatan masyarakat. Mereka pun menganggap MK sebagai corong pemerintah. 

Majelis Hakim MK menolak tiga dari empat pokok permohonan Judicial Review UU Minerba pada persidangan Kamis, 29 September 2022, yakni pertama, menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat. Kedua, potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba. Ketiga, jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B. 

Majelis hakim mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang WIUP, WIUPK, dan WPR, dengan memberikan penafsiran “sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Manager Pengkampanye Tambang dan Energi Eksekutif, Fanny Tri Jambore, menyebutkan pertimbangan majelis lebih banyak menggunakan dalil yang diajukan pemerintah dalam persidangan. Sebaliknya argumentasi pemenuhan hak partisipasi masyarakat dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat justru diabaikan. 

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Flickr)

Pada permohonan terhadap Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba yang menyebabkan menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi berfokus pada pembagian urusan pemerintahan pusat dan daerah yang bukan menjadi inti permohonan. 

Padahal saat ini saat ini, masyarakat kesulitan mengadukan perusahaan tambang yang merusak wilayah mereka karena harus mengadu ke pemerintah pusat.

Rere, nama panggilan Fanny Tri Jambore, mencontohkan kasus penolakan tambang di Trenggalek. Masyarakat; Bupati Trenggalek , Mochamad Nur Arifin; dan wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, menolak tambang ini. Tapi memakai dasar pasal tersebut Kementerian ESDM tak mau tahu dengan penolakan ini. 

Alasan penolakan adalah area konsesi tambang seluas 12.813,41 hektar itu justru membahayakan kawasan karst yang selama ini memberi manfaat besar bagi masyarakat Trenggalek.

“Apa yang terjadi di Trenggalek itu seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Tapi entah mungkin karena majelis mainnya kurang jauh atau tak mau tahu malah mengabaikannya,” ujar Rere. 

Selain itu alasan majelis menganggap prematur permohonan Pasal 162 UU Minerba sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, terkait ancaman pidana atas tindakan menghalangi usaha pertambangan. Alasannya MK telah mengeluarkan putusan inkonstitusional bersyarat atas UU Cipta Kerja dan memberikan waktu dua tahun kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan. 

Namun fakta di lapangan justru menunjukkan penegak hukum masih memanfaatkan pasal itu untuk menjerat penolak tambang, baik dari LSM maupun masyarakat sendiri. Artinya, kata Rere, tak ada konsistensi dari MK maupun pemerintah untuk melindungi dan justru mengancam rakyat. 

Mareta Sari, salah satu pemohon dari Jatam Kaltim, merasa khawatir UU Minerba akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat. 

“Kami takut, lahan pertambangan di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 5,2 juta hektar itu bisa meluas dan beban masyarakat semakin berat untuk melindungi kawasan dan aturan yang ada tidak bisa melindungi mereka ketika ada konflik,” kata dia. 

Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari Kanopi Bengkulu, Ali Akbar, beranggapan keputusan MK telah mengkhianati agenda reformasi. Salah satu hal penting yang dihasilkan reformasi yakni mendekatkan warga dengan pemerintah melalui pemerintah daerah. Ketika kewenangan daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini kemunduran karena mengabaikan prinsip otonomi daerah. 

“Akibatnya nasib masyarakat di sekitar industri ekstraktif pertambangan yang dikorbankan,” ucapnya.