Walhi Anggap Indonesia Butuh UU Perubahan Iklim

Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Sabtu, 08 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berpendapat, Indonesia membutuhkan undang-undang perubahan iklim, sebagai salah satu upaya untuk mendorong keadilan iklim. Sebab perubahan iklim akan membawa dampak signifikan terhadap kondisi masyarakat, bahkan mengganggu kedaulatan negara.

"Di nasional kita belum punya satu undang-undang yang bicara keadilan iklim dan saya kira kami di Walhi mengajak kepada semua kawan-kawan untuk bersama-sama mendorong ini nanti menjadi satu gerakan bersama ke depan," kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional, dalam sebuah diskusi mengenai keadilan iklim, Senin (3/9/2022) dikutip dari Antara.

Parid mengatakan, perkembangan diskursus keadilan sosial kini semakin mendapat perhatian besar. Hal tersebut bisa dianggap sebagai kemenangan kecil dari gerakan sosial di seluruh Dunia, termasuk Indonesia.

"Ini sinyal penting bagi kita untuk melanjutkan kembali atau memperkuat gerakan keadilan iklim," kata Parid dalam sebuah diskusi mengenai keadilan iklim, dikutip dari Antara, Senin (3/10/2022).

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

Lebih lanjut Parid mengungkapkan, fenomena perubahan iklim yang kini sedang terjadi telah memberikan dampak signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi, hingga kedaulatan negara.

Yang mana kenaikan permukaan air laut dapat menenggelamkan kawasan pesisir yang dihuni oleh sekitar 60 persen penduduknya. Kondisi itu dapat mengancam kedaulatan negara, karena Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan.

Climate Central memproyeksikan, setidaknya 23 juta orang di Indonesia akan terdampak langsung dan dipaksa menjadi pengungsi internal bila kenaikan muka air laut mencapai 0,6 sampai 2 meter pada akhir abad ini.

Pada 2050, sebanyak 199 kabupaten maupun kota di pesisir pantai Indonesia akan terkena banjir rob tahunan, sekitar 118 ribu hektare wilayah akan terendam air laut, dan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun.

Selain menenggelamkan pulau-pulau kecil, perubahan iklim diperkirakan juga akan membawa dampak pada penurunan jumlah nelayan hingga krisis pangan laut. Parid mengatakan, dalam setahun nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan. Sisanya, mereka harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan.

"Berdasarkan catatan kami dari 2010 sampai 2020 peningkatan jumlah nelayan yang meninggal di laut akibat cuaca buruk sangat tinggi. Setiap tahun, rata rata 100 nelayan hilang atau meninggal di laut akibat melaut saat cuaca buruk," katanya.

Badan Pusat Statistik mencatat sejak 2010 sampai 2019 setidaknya terjadi penurunan profesi nelayan di Indonesia sebanyak 330 ribu orang. Yang mana pada 2010, jumlah nelayan masih sebanyak 2,16 juta orang, dan pada 2019 jumlah nelayan menyusut hanya tinggal 1,83 juta orang.

"Salah satu faktor pendorongnya adalah dampak buruk dari krisis iklim."

Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan laut di masa depan akibat perubahan iklim. Bila dibiarkan kondisi itu dapat membuat Indonesia bakal mengimpor ikan dari Vietnam ataupun negara-negara tetangga lainnya. Perubahan iklim juga menyebabkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan mati akibat mengalami pemutihan karena krisis iklim pada tahun 2030.

"Saat ini butuh RUU Perubahan Iklim sebagai salah satu cara untuk mendorong keadilan iklim di Indonesia. RUU ini harus menjadi prioritas gerakan masyarakat sipil di Indonesia dan mengajak jejaring internasional."

"Kami juga mendorong implementasi Undang-Undang 7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidayaan ikan, dan petambak garam," imbuhnya.