Industri Batu Bara Masih Ekspansi di Tengah Darurat Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Senin, 10 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Penelitian terbaru mengungkap, ratusan perusahaan batu bara di seluruh dunia sedang mengembangkan tambang dan pembangkit listrik baru. Para peneliti menyebut rencana itu “sembrono dan tidak bertanggung jawab” di tengah darurat iklim. 

Batu bara merupakan bahan bakar fosil yang paling berpolusi dan penggunaannya harus segera disetop untuk mengakhiri krisis iklim. Namun, hampir setengah dari 1.000 perusahaan yang dinilai masih mengembangkan aset batu bara baru, dan hanya 27 perusahaan yang telah mengumumkan tanggal coal exit sesuai dengan target iklim internasional. 

Proyek pertambangan baru dapat meningkatkan lebih dari sepertiga produksi batu bara termal yang digunakan pada pembangkit listrik, menurut laporan tersebut. Sebagian besar proyek berada di Tiongkok, India, Australia, Rusia, dan Afrika Selatan. 

Analisis tersebut dihasilkan oleh Urgewald, lembaga lingkungan Jerman, yang menyebut bahwa laporan tersebut merupakan database publik yang paling komprehensif di dunia tentang industri batu bara. 

Salah satu sumber polusi udara berasal dari pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menghasilkan listrik untuk kebutuhan manusia. Foto: PBB

“Mengejar proyek batu bara baru di tengah keadaan darurat iklim adalah perilaku yang sembrono dan tidak bertanggung jawab,” kata Heffa Schucking, direktur Urgewald. “Investor, bank, dan perusahaan asuransi harus segera melarang pengembang batu bara ini dari portofolio mereka.”  

Pada COP26 di Glasgow tahun lalu, negara-negara di dunia telah bersepakat untuk “mempercepat upaya menuju pengurangan batu bara.” Namun, Badan Energi Internasional (IEA) pada Juli mengatakan bahwa pembakaran batu bara akan meningkat pada tahun 2022, sehingga kembali mencapai tingkat rekor yang ditetapkan pada 2013. Kenaikan ini disebabkan oleh harga gas yang tinggi akibat perang Rusia di Ukraina, yang membuat batu bara relatif lebih murah. 

Tahun lalu IEA menyatakan bahwa tidak boleh ada konstruksi pembangkit listrik tenaga batu bara baru jika dunia ingin berada dalam batas aman dari pemanasan global dan memenuhi tujuan emisi nol bersih pada 2050. Sejumlah upaya telah dilakukan. Pada 2021, misalnya, hanya 4% kapasitas listrik baru berasal dari batu bara, turun dari sekitar 30% pada 2016. Sebaliknya, 75% daya baru berasal dari energi terbarukan, yang seringkali lebih murah dan semakin menantang kelayakan ekonomi pembangkit batu bara baru. 

Meski demikian, Coal India justru bertujuan menggandakan jumlah batu bara yang ditambangnya menjadi 1 miliar ton per tahun pada 2o25, menurut analisis Urgewald. Ini akan menjadikannya perusahaan pertambangan terbesar. “Serbuan penambangan batu bara merupakan penolakan total industri terhadap realitas iklim. Tulisannya ada di dinding, tapi penambang batu bara menolak untuk membacanya,” kata Schucking. 

Laporan tersebut menemukan sebanyak 476GW kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara masih dalam proses di seluruh dunia, setara dengan ratusan pembangkit listrik baru. Jika dibangun, proyek tersebut akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara dunia sebesar 23. Tiongkok bertanggung jawab atas 60% dari semua kapasitas baru yang direncanakan. 

Lidy Nacpil dari Asian Peoples’ Movement on Debt and Development mengatakan dunia menyambut baik pengumuman Presiden Xi Jinping pada 2021 bahwa Tiongkok akan berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri. “Tetapi China perlu mengadopsi langkah-langkah serupa untuk sistem energi domestiknya jika ingin menjadi aktor untuk mencapai target 1.5C.” 

Untuk mencapai emisi nol karbon bersih pada 2050, IEA mengatakan bahwa semua pembangkit listrik tenaga batu bara di negara-negara kaya harus dihentikan paling lambat pada tahun 2030 dan pada 2040 di seluruh dunia. Temuan Urgewald, hanya 27 perusahaan dari 1.064 telah mengumumkan tanggal keluar dari batu bara.  Dari jumlah tersebut, sebagian besar berencana untuk mengkonversi ke pembangkit listrik tenaga gas atau menjual ke pemilik lain. 

“Pada akhirnya, kami hanya mengidentifikasi lima perusahaan dengan rencana transisi batu bara yang dapat dianggap selaras dengan Perjanjian Paris,” kata Schucking. “Sebagian besar perusahaan masih tidak berniat untuk menghentikan aset batu bara mereka, yang mendorong kita menuju kerusakan iklim. Penundaan telah menjadi bentuk baru penolakan iklim.”

Amerika Serikat, yang memiliki jumlah pembangkit batu bara terbesar ketiga di dunia, belum menetapkan tanggal akhir nasional untuk pembangkit listrik batu baranya. Ini berbeda dengan Inggris, Prancis, dan Italia. Amerika Serikat perlu menghentikan 30GW kapasitas berbahan bakar batu bara setahun hingga 2030 untuk memenuhi tujuan iklim Paris, tulis Urgewald dalam laporan tersebut. Namun pada 2021, hanya 8,4GW yang ditutup atau dihentikan. 

Lucie Pinson, direktur Reclaim Finance, yang menilai kebijakan batu bara lebih dari 500 lembaga keuangan mengatakan bahwa sebanyak 190 lembaga keuangan masih belum memiliki kebijakan batu bara, 272 memiliki kebijakan batu bara yang lemah, dan hanya 28 yang memiliki kebijakan keluar batu bara yang efektif.

“Perusahaan tidak akan melakukan transisi kecuali bank, investor, dan perusahaan asuransi dengan cepat menghentikan semua dukungan untuk ekspansi industri dan memerlukan penerapan rencana penutupan.