Perambahan Tak Berkesudahan di TN Tesso Nilo

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Senin, 10 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perambahan hutan masih jadi momok di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Aktivitas ilegal tak berkesudahan itu secara masif nyaris menggunduli hutan di salah satu rumah gajah di Sumatera. Sebab dari angka 81 ribu hektare luas TNTN, kurang lebih separuhnya telah berubah menjadi perkebunan sawit. Sedangkan hutan alam yang tersisa hanya sekitar 13 ribu hektare saja.

Hingga kini aktivitas perambahan TNTN itu masih terjadi. Kurang lebih dua pekan lalu, petugas patroli Balai TNTN bahkan masih menemukan dua alat berat jenis ekskavator beraktivitas di dalam kawasan ini, tepatnya di Resort Lancang Kuning Air Sawan.

Pihak Balai TNTN tidak menahan dua alat berat yang sedang beroperasi itu. Melainkan hanya meminta aktivitas yang sedang dilakukan untuk dihentikan, berikut pemberian peringatan keras kepada si operator.

"Yang jelas saya mencegah, saya peringatkan dulu orangnya. Tetapi kalau dia nekat, masih ada di situ setelah kita ingatkan, saya laporkan ke Gakkum," kata Heru Sutmantoro, Kepala Balai TNTN, Kamis (6/10/2022).

Tampak alat berat tengah beraktivitas di dalam kawasan TNTN, Riau, beberapa waktu lalu./Foto: Balai TNTN.

Heru bilang, aktivitas alat berat itu berada di areal hutan sekunder dan semak belukar. Kuat dugaan operasional alat berat itu untuk penyiapan lahan sawit.

"Biasanya triknya itu, pertama kayu-kayu besar itu dihabisi pakai chainsaw. Nanti tinggal semak belukar lalu dibersihkan pakai ekskavator, sawit masuk. Kan begitu. Biasanya untuk mempercepat pakai ekskavator."

Alat berat masuk ke kawasan TNTN ini bukan kali pertama terjadi. Menurut Heru pihaknya juga pernah menggiring alat berat keluar kawasan TNTN bersama pihak keamanan. Sesuai tugas pokok dan fungsinya, lanjut Heru, Balai TNTN mendahulukan upaya preventif atau pencegahan.

"Artinya kita lebih ke upaya preventif ya, tapi kalau upaya preventif tidak bisa, kita lakukan penegakan hukum melalui institusi lain, kalau di KLHK ini ada Gakkum, di luar instansi KLHK ada kepolisian."

Selain aktivitas alat berat, baru-baru ini pihaknya juga menangkap dua orang pelaku pembakaran di areal rehabilitasi lahan yang sedang dikerjakan Balai TNTN. Sejumlah tanaman rehabilitasi dibakar. Pelakunya diketahui bukan berasal dari desa setempat. Kasus ini sekarang ditangani pihak kepolisian.

Sebelumnya, pihaknya juga mendapati adanya aktivitas perambahan hutan tersisa di TNTN. Jumlah pelakunya ada 10 orang dengan barang bukti, 3 unit chainsaw yang diamankan. Kesepuluh orang itu kemudian dilakukan pembinaan, dengan pertimbangan bahwa para pelaku merupakan masyarakat kecil.

Terbaru, Heru menyebut mendapati adanya Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa setempat. Keberadaan SKT ini diketahui saat petugas Balai TNTN menemukan adanya aktivitas penebangan pohon di dalam kawasan yang dilakukan oleh 7 warga. Saat dilakukan pemeriksaan, para warga tersebut melakukannya karena memiliki SKT yang diterbitkan pemerintah desa.

"Ada dua SKT yang diterbitkan, yang jelas di areal hutan yang tersisa. Nah pelaku mengaku memegang SKT. Makanya saya ingatkan Kades, untuk penerbitan SKT itu dihentikan dan dicabut. Karena faktanya ada orang di dalam kawasan konservasi melakukan penggarapan kawasan karena ada surat itu," terang Heru.

Heru juga membenarkan perihal adanya ancaman yang ditujukan kepadanya, tak lama setelah ia menerbitkan surat imbauan kepada Kepala Desa Air Hitam, yang berisi permintaan agar kepala desa dimaksud menghentikan penerbitan SKT dan mencabut SKT untuk lahan yang terindikasi masuk dalam kawasan TNTN. Namun Heru mengaku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, apalagi ancaman tersebut telah ditangani pihak kepolisian.

Kantor Balai TNTN di Pelalawan dicoret-coret dengan kalimat bernada mengancam ditujukan kepada Kepala Balai TNTN./Foto: Dokumentasi Polres Pelalawan/JPNN

Heru bilang, seharusnya pihak pemerintah desa berkonsultasi dengan Balai TNTN soal penerbitan surat tanah. Karena sejauh yang ia tahu, tidak ada regulasi yang mengatur pemerintah desa boleh menerbitkan surat yang berkaitan atas hak tanah di dalam kawasan konservasi.

Ia mewanti-wanti agar jangan sampai masyarakat dirugikan dengan adanya penerbitan surat yang menyatakan hak seseorang terhadap lahan TNTN. Jangan sampai pula hal demikian diboncengi oleh kepentingan tertentu.

Heru menyebut, ada cara bagi masyarakat terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi, yakni melalui Program Kemitraan Konservasi. Yang mana melalui program tersebut, masyarakat dilibatkan untuk melakukan rehabilitasi lahan kritis dengan tanaman tertentu, selain sawit tentunya, yang bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Hutan Alam Tersisa di TNTN Hanya Sekitar 13 Ribu Hektare

Heru menguraikan, luas TNTN sekitar 81.793 hektare. Dari luasan tersebut sekitar 40.460 hektare telah dirambah menjadi perkebunan sawit. Kemudian sekitar 28 ribu hektare berupa hutan sekunder dan semak belukar. Sedangkan hutan alam tersisa luasnya hanya sekitar 13.750 hektare saja kini.

Heru mengatakan, terhadap permasalahan 40 ribu hektare sawit di dalam kawasan TNTN itu, akan diselesaikan menggunakan mekanisme hukum yang diatur oleh Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Yang mana sawit dalam kawasan konservasi itu perlahan akan diganti dengan tanaman hutan. Salah satunya melalui pola jangka benah, dengan menyisipkan tanaman hutan di antara tanaman sawit.

"Ada 23 ribu yang sudah terdata by name by address. Ada isu-isu milik si A si B, sehingga perlu ketelitian. Muncul juga nama-nama yang memiliki lahan lebih dari 5 hektare."

Kemudian terhadap lahan sekunder atau kritis, tengah diupayakan untuk direhabilitasi atau dipulihkan kondisinya. Sejauh ini dari angka 28 ribu hektare itu, sekitar 3500 hektare di antaranya telah dilakukan upaya pemulihan lewat Program Kemitraan Konservasi. Yang mana tanaman yang ditanam 70 persen merupakan tanaman kehidupan, 30 persen lainnya menggunakan tanaman hutan.

"Artinya kita mengembalikan fungsi hutannya, cuma tidak seperti hutan asli. Kita juga berpikir terkait ekonomi masyarakat sekitar. Juga habitat akan terbentuk. Bagaimana membentuk koridor menuju ke hutan alam tersisa."

Sedangkan untuk hutan tersisa seluas sekitar 13 ribu hektare itu, lanjut Heru, Balai TNTN melakukan penjagaan sangat ketat. Dalam sebulan terakhir Heru mengaku memerintahkan para personel balai untuk melakukan patroli dan pengawasan langsung di lapangan. Heru bahkan memerintahkan para personel bermalam di dalam hutan.

"Termasuk bagaimana kita menghilangkan meminamilisir gangguan yang ada. Sebulan inilah saya minta areal hutan tersisa 13 ribu hektare sangat dijaga ketat, dengan tidur di dalam hutan. 10 orang per lima hari bergantian, harus tiap hari ada yang jaga, dan kegiatan itu cukup efektif menekan kegiatan ilegal."

Heru mengakui, aktivitas perambahan di TNTN telah mengakibatkan gajah yang ada di kawasan konservasi itu menjadi tidak aman dan tidak nyaman. Padahal dulunya, penetapan taman nasional terhadap kawasan itu adalah demi mengelola populasi gajah.

Yang mana saat ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004 silam, seluas sekitar 38.576 hektare--sebelumnya adalah bekas lahan Hak Pengusahaan Hutan--populasi gajah di kawasan itu sebanyak sekitar 200-250 individu.

Pada 2009, luas TNTN mengalami penambahan menjadi sekitar 81 ribu hektare. Namun areal yang ditambahkan itu ternyata juga mengandung banyak masalah, berupa perambahan, dan aktivitas ilegal itu merembet hingga ke areal 38 ribu hektare--kawasan konservasi awal TNTN.

Heru mengakui, kini TNTN sudah tidak aman lagi sebagai rumah gajah. Karena masih ada aktivitas perambahan hutan, baik penebangan pohon ilegal dan bunyi chainsaw, yang telah membuat gajah kocar-kacir pergi keluar kawasan TNTN.

Sebagian gajah Tesso Nilo berkeliaran hingga ke konsesi tanaman industri sekitar TNTN, atau masuk ke kebun warga, kemudian berkonflik. Heru menyebut, populasi gajah di TNTN kini diperkirakan hanya sekitar 150 individu saja.

Pemerintah Disarankan Lakukan Beberapa Hal

"Yang jelas rumah gajah 81 ribu hektare itu sekitar 50 ribu hektare sudah tidak ideal lagi. Gajahnya sudah kemana-mana. Ke konsesi HTI dan ada juga yang masuk ke kebun warga kemudian berkonflik. AKhirnya dia (gajah) hanya mondar mandir. Sekarang 150 individu, tidak cukup dengan 13 ribu hektare (hutan alam tersisa). Tesso Nilo harus dipulihkan lagi."

Terpisah, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali menganggap, perambahan TNTN yang tak berkesudahan ini terjadi ini seperti pedagang kaki lima liar yang sulit diberantas. Ia menyarankan agar pihak TNTN melalukan dialogis dengan para perambah.

"Perambahan terus menerus terjadi di TN Tesso Nilo karena pemerintah enggak pernah mengajak mereka ngopi-ngopi, bermakna tidak ada dialog, tidak ada komunikasi dan tidak ada makan bersama. Perlu dialog khusus dan pendekatan lain. Gimana caranya mereka keluar tanpa ada kekerasan, solusi bukan semata penegakan hukum," ujar Made Ali, Kamis (6/10/2022).

Terpisah, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Even Sembiring mengatakan, pemerintah melalui Kementerian LHK sebenarnya sudah pernah menerbitkan kebijakan Revitalisasi Ekossitem Tesso Nilo (RETN) pada 2016 lalu. Kebijakan ini tidak sekedar bertujuan memulihkan Taman Nasional Tesso Nilo, tapi termasuk buffer zone atau zona penyangganya.

"Salah satu tindakan konkretnya mencabut dua izin daerah penyangga, PT Hutani Sola Lestari dan PT Siak Raya Timber. Selanjutnya, dilakukan penegakan hukum selektif, dengan menyasar tuan-tuan tanah skala besar. Sayangnya, kebijakan ini sepertinya terhenti karena penerbitan UU Cipta Kerja, karena ada kebijakan keterlanjuran yang menyelesaikan secara administrasi kebun-kebun di kawasan hutan," kata Boy, Jumat (7/9/2022).

Boy melanjutkan, menurut Walhi Riau ada beberapa hal yang harus dilakukan Negara, untuk menyelesaikan perambahan TNTN. Pertama, komitmen penegakan hukum pidana untuk lokasi-lokasi bukaan baru atau perkebunan yang dimulai pasca-terbitnya UU Cipta Kerja. Kedua, melakukan penegakan hukum pidana dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan di luar UU Kehutanan dan Lingkungan.

"Bisa mengoperasikan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) atau UU P3H (Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan) terkait uang hasil dari kejahatan atau tindak pidana perkebunan kelapa sawit skala besar," ujar Boy.

Ketiga, melakukan penindakan hukum pidana untuk penerbitan legalitas surat yang terbit bertentangan dengan hukum. Keempat, pendekatan penegakan hukum ketiganya harus berbasis analisis aktor yang tepat, tidak sekedar menyasar aktor kecil, tapi pemain kunci.

"Kelima, menurut kami ada pembaharuan kebijakan RETN, sehingga proses dan upaya penegakan hukum hingga pemulihan dapat melibatkan aktor masyarakat sipil."

Terakhir, masih kata Boy, KLHK harus mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal dan tempatan dengan melibatkannya dalam Program Perhutanan Sosial, Kemitraan Konservasi dan skema lain dengan intensif lain, yang akan membuat masyarakat dan pemerintah daerah mengambil bagian dalam perlindungan taman nasional dan ekosistem sekitarnya.

"Memastikan masyarakat sejahtera dari kawasan hutan dan lokasi konservasi akan membuat mereka berpartisipasi aktif menjadi garda depan pelindung kawasan ini," tutup Boy.