Di Balik Hangatnya Cerita Dua Opsi di Bali

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hutan

Selasa, 11 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  “tring…tring”…

Bunyi gelas dipukul berkali-kali. Jam di tangan menunjukkan pukul 4 sore hari di Nusa Dua Bali. Lelaki tinggi berkulit gelap menyunggingkan senyumnya kepada para peserta konferensi yang berserak di teras ruang persamuhan.

“Selesai, ayo segera selesaikan mari berkumpul,” ujarnya kepada para peserta yang masih saling bercengkrama dalam jamuan kopi dan teh pada Pertemuan Majelis Umum Forest Stewardship Councill, petang itu.

FSC merupakan sebuah organisasi non-profit internasional, multi-stakeholder yang didirikan pada tahun 1993 yang mempromosikan pengelolaan hutan dunia yang bertanggung jawab, melalui sertifikasi kayu. Sertifikasi FSC diklaim bisa membuat nilai jual kayu menjadi tinggi lantaran sejumlah standar ketat pengelolaan hutan.

Seorang pekerja berjalan di atas sebatang pohon yang baru saja ditebang./Foto: FSC Indonesia

Tahun ini para anggota mereka memilih untuk berkumpul di Bali, dalam perhelatan yang mereka sebut FSC General Assembly 2021-2022. Pada gelaran ini juga, anggota akan memutuskan sejumlah mosi yang akan menjadi dasar pelaksanaan sertifikasi pengelolaan lestari untuk tahun-tahun mendatang.

Dari dua hari betahita mengikuti jalannya agenda pertemuan majelis umum FSC, dari sejumlah mosi yang akan dibincang dan diputuskan, dua hal mencuat dan itu dibahas menghangat.

Persoalan itu adanya dua mosi soal dasar pelaksanaan sertifikasi pengelolaan lestari untuk tahun-tahun mendatang: Mosi 37/2021 dan Mosi 45/2021.

Mosi 37 berisi usulan perubahan cut off date atau batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020. Perubahan ini diikuti dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan secara lingkungan dan sosial terhadap keterlanjuran konversi hutan alam yang diatur dalam Remedy Framework (RF).

Sementara Mosi 45/2021 lebih menekankan pada penyempurnaan kerangka kerja pemulihan lingkungan dan sosial. Mosi ini berpendapat bahwa dokumen PfA, PAC dan Remedy Framework perlu direvisi dan diperkuat melalui pengajuan Mosi 45/2021. Artinya mosi ini mewajibkan semua calon anggota FSC untuk terlebih dahulu menyelesaikan persoalan lingkungan dan sosialnya sebelum mendaftar masuk FSC. Demi kredibilitas FSC.

Pada sesi kedua di hari pertama forum, pembahasan Pendekatan baru soal konversi dan pemulihan, menyedot perhatian paling banyak dari peserta rapat majelis umum FSC. Banyak dari member maupun observer yang hadir, rela berdiri menyesaki sebagian demi mengikuti pembahasan persoalan yang ada.

Dari atas panggung, Aidil Fitri dari Hutan Kita Institute (HaKI) yang hadir sebagai pembicara saat itu mengatakan persoalan konversi dan pemulihan merupakan isu penting. Sebab persoalan hari ini adalah isu kepercayaan terhadap korporasi juga sertifikasi.

Isu soal kinerja keberlanjutan dari korporasi juga penyelesaian persoalan sosial di tingkat tapak seharusnya menjadi acuan dalam segala pertimbangan FSC. Sehingga melakukan dengan penguatan dalam penerapan kerangka kerja pemulihan. “FSC seharusnya bisa menjaga kredibilitasnya di depan publik dengan menentukan syarat yang ketat bagi persyaratan pemegang lisensi,” ujar Aidil.

Senada dengan Aidil, di forum lain, Gemma Tillack Direktur Kebijakan Hutan Rainforest Action Network (RAN) mengatakan persoalan konversi dan pemulihan lingkungan merupakan persoalan yang dipandang serius. FSC sebagai organisasi seharusnya bisa menjaga nilai-nilai etiknya.

“Ini adalah momen kredibilitas FSC. Keputusan yang dibuat oleh para anggotanya di Majelis Umum ini akan menentukan apakah FSC dapat dipercaya sebagai sistem sertifikasi untuk pengguna global produk kertas dan kayu,” kata Gemma.

Tumpukan kayu log milik perusahaan PT Kurnia Tama Sejahtera di lembah Nyora, pedalaman Distrik Naike.

Keputusan paling signifikan yang diperdebatkan, menurut RAN dalam rilis tertulisnya adalah tentang mengubah aturan untuk mengizinkan perusahaan kehutanan ternama ––seperti Grup Sinar Mas dan Grup Royal Golden Eagle yang telah mengubah kawasan hutan hujan tropis yang luas selama 30 tahun terakhir–– untuk mendapatkan sertifikasi yang paling ketat dan didambakan oleh semua korporasi kayu dunia: Forest Management dan Control Wood.

Perubahan dalam batas waktu konversi hutan dari 1994 ke 2020, menurut RAN, seperti yang tercantum dalam Mosi 37/2021, seolah menawarkan hadiah kepada perusahaan-perusahaan yang pernah dan masih menjadi pelaku deforestasi sebelum tahun yang ditentukan, selama mereka memperbaiki kerusakan sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh kerusakan selama beberapa dekade.

Perubahan dalam standar sertifikasi FSC ini, menurut RAN, akan memberi celah bagi korporasi yang sebelumnya dinilai mengalirkan produk kotornya ke pasar untuk bisa bergabung. Padahal dengan standar sebelumnya, FSC sudah menciptakan pasar eksklusif yang hanya dapat diakses, oleh perusahaan yang mengakhiri deforestasi dan konversi hutan pada saat pembuatan sistem FSC, yakni 1994. Pandangan ini sejalan dengan Mosi 45.

Dari atas panggung mengakhiri pembicaraannya, Gemma kemudian menyerukan kepada para hadirin untuk bersama RAN mendukung Mosi 45/2021.

Berseberangan pandang dalam melihat permasalahan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menilai bahwa dengan mengubah cut off date atau batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020, akan memberikan kesempatan kepada FSC untuk memperluas jumlah pemangku kepentingan dan memberikan keadilan juga kesetaraan bagi para pemangku kepentingan di negara-negara berkembang dari Asia-Pasifik, Afrika dan Amerika Selatan yang belum dapat bergabung dengan FSC karena masalah cut-off date.

Perubahan cut-off date FSC, kata Purwadi, tidak boleh dianggap sebagai kemunduran karena yang akan berubah sebenarnya adalah titik waktu ketika semua pemangku kepentingan di berbagai belahan dunia mendapat pertimbangan dan perlakuan yang sama.

“FSC tidak akan kehilangan kredibilitas karena re-asosiasi mengharuskan perusahaan perkebunan ini untuk menghentikan kegiatan konversi dan membuka peluang baru untuk pemulihan lingkungan dan sosial di bawah Kerangka Perbaikan yang terjadi sebelumnya,” ujarnya dalam tulisan opini di The Jakarta Post. Hal yang sama kemudian ia tegaskan pada kesempatan pertemuan di hari kedua Rapat umum FSC di Bali.

Hadir sebagai Observer dalam rapat umum FSC, Woro Supartinah, Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat berpendapat terlepas dari dua opsi itu, konsentrasi FSC seharusnya benar-benar meniadakan konversi atas hutan alam. Woro melihat dalam perkembangannya, dua opsi yang menghangat itu masih dalam perdebatan, baik mendukung atau menolak. “Kita berharap apapun keputusannya terhadap dua mosi itu dijadikan konseideran FSC,” ujar Woro.

Realitas di lapangan, kata Woro, memang memaksa semua pihak bertindak ekstra terhadap keberlangsungan hutan dan masyarakat terdampak. Meski ia bisa memahami dua pendapat berbeda, namun Woro tergelitik dengan perkembangan pendukung Mosi 37/2021, yang begitu ngototnya mendesakan seruan agar disetujui para anggota FSC yang nantinya melakukan voting.

“Membuat jadi bertanya, mengapa begitu ngotot untuk mengubah periode konversi?” ujarnya. Mosi 37, menurut Woro, kontradiksi dengan semangat FSC yakni memproteksi hutan dunia. “Konversi sedikitpun jangan ditolelir seharusnya.”

Sementara itu dari luar gelanggang rapat, Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, menitipkan usul perubahan cut off date atau batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi tahun 2000.

Namun dengan syarat perusahaan-perusahaan yang akan berafiliasi dengan FSC membuka data deforestasinya dari 1994-2000. “Dan lantas menyusun mekanisme pemulihannya,” ujar dia.

Alasan Auriga memilih usulan tahun 2000, sebab menurut Timer, pada kurun waktu itu, citra satelit sudah bisa diakses sehingga memudahkan bukti deforestasi. “Auriga dengan stand point itu, menolak mosi 37 apalagi tidak diatur mekanisme penyelidikan deforestasi terhadap perusahaan sebelum 2020, apalagi aksi pemulihannya,” ujarnya.

Hangat betul bahasan dua opsi ini. Kehangatannya terasa hingga pembicaraan di meja-meja makan siang dan ruang asap para peserta.

Dari sebuah ruang diskusi di rapat umum FSC, Petrus Kinggo, lelaki asal Kambenap, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua menggenggam pelantang suara. Pada kesempatan diskusi terbuka yang membahas konversi dan pemulihan, ia menceritakan kisah tragisnya yang menjadi korban korporasi HTI Korea di hadapan sebagian anggota dan pengamat Rapat Umum FSC 2022.

Namun gayung tak bersambut. Kisah Petrus sebagai warga terdampak industri kayu rupanya kurang menarik, sebab tak mendapat banyak tanggapan.

“tring…tring…”

Suara gelas yang dipukul sendok terdengar lagi. “Selesai…selesai.”