Ragam Alasan RAN Menolak Opsi 37 dalam Rapat Umum FSC

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hutan

Rabu, 12 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan Rainforest Action Network (RAN), tak henti-henti menyapa orang yang dijumpainya di Selasar Gedung pertemuan Wetin Hotel Bali. Di tengan riuh persamuhan Rapat Umum Forest Stewardship Councill 2022, perbincangan tak lepas dari dua opsi yang dinilai paling penting dalam gelaran acara itu.

Yakni, Mosi 37/2021 dan Mosi 45/2021.

Mosi 37 berisi usulan perubahan cut off date atau batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020. Perubahan ini diikuti dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan secara lingkungan dan sosial terhadap keterlanjuran konversi hutan alam yang diatur dalam Remedy Framework (RF).

Sementara Mosi 45/2021 lebih menekankan pada penyempurnaan kerangka kerja pemulihan lingkungan dan sosial. Mosi ini berpendapat bahwa dokumen PfA, PAC dan Remedy Framework perlu direvisi dan diperkuat melalui pengajuan Mosi 45/2021. Artinya mosi ini mewajibkan semua calon anggota FSC untuk terlebih dahulu menyelesaikan persoalan lingkungan dan sosialnya sebelum mendaftar masuk FSC. Demi kredibilitas FSC.

Pembukaan hutan alam skala besar di RAPP Sungai Kampar, 30 Mei 2012./Foto: Dokumentasi Eyes on The Forests

Betahita lantas terus membuntuti Gemma, penasaran dengan apa yang sebenarnya ia dan RAN coba diskusikan dengan banyak orang di rapat umum. Dalam langkah yang cukup tergesa ia lagi-lagi tak berhenti untuk menyapa banyak peserta dan lantas berdiskusi lagi. Menurutnya, ia sedang mencoba menakar sejauh peserta menaruh perhatian terhadap dua opsi yang memang menghangat di ajang FSC GA 2022.

Persoalan ini, kata Gemma, penting sekali sebab menurutnya ada beberapa alasan untuk kemudian berargumen tentang mengapa dirinya dan RAN menolak Mosi 37/2021.

Pertama, pengubahan tanggal cut-off (Mosi 37/2021) merupakan preseden buruk. Mengubah batas waktu konversi FSC 1994 akan mengakibatkan hilangnya tolak ukur praktek terbaik ini di sektor pulp dan kertas, selama ini. “Bahkan dapat merusak tanggal batas lainnya seperti tanggal batas deforestasi di sektor minyak sawit tahun 2015, atau November 2018 dalam standar RSPO,” ujarnya.

Kedua, Skala kerugian dari konversi hutan oleh APP dan APRIL -dua korporasi yang bakal diuntungkan dengan adanya pengubahan cut off date, menurut Gemma- sudah sangat parah. Sehingga mereka tidak berhak atas sertifikasi lahan yang dikonversi ini melalui standar keberlanjutan tertinggi di sektor perkebunan.

Gerakan yang mendukung Mosi 37, kata Gemma, tidak menghentikan APP dan APRIL untuk dikaitkan dengan FSC atau disertifikasi di bawah standar lacak balak kayu yang dikendalikannya. Ada risiko yang sangat nyata bahwa jika APP dan APRIL mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan, mereka akan dapat mengakses sumber keuangan baru yang akan mendanai rencana ekspansi mereka.

Lalu alasan ketiga, ambang batas penyisihan konservatif untuk lahan yang direstorasi yang dipersyaratkan dalam standar Forest Management -status tertinggi sertifikasi FSC- merupakan batas yang terlalu rendah. Gemma mengatakan, usulan dari banyak NGO soal ambang batas 50 persen tidak disampaikan dalam kebijakan akhir untuk mengatasi konversi yang disetujui oleh Dewan FSC.

“Banyak sekali poin penting yang seharusnya kami bisa tolak dari Mosi 37/2021,” kata Gemma.

Sementara di seberang kubu banyak pihak melakukan ajakan dukungan terhadap Mosi 37/2021. Terutama, para pihak delegasi yang berasal dari Indonesia. Dalam sebuah kesempatan, betahita menyaksikan ada beberapa orang dari peserta rapat umum, sedang membagikan kertas yang isinya juga membahas Mosi 37/2021.

Berkebalikan dengan RAN, WWF Indonesia mengajak para member yang memiliki hak suara untuk mendukung mosi 37/2021. Menurut WWF Indonesia dalam kertas yang dibagikan itu, “Mosi 37 penting bagi komunitas penting bagi lingkungan, penting bagi relevansi FSC. Kita tinggal 8 tahun lagi menghadapi krisis perubahan iklim yang tidak dapat diubah, Tak perlu bersaing satu sama lain dalam menyelamatkan planet.”

Berdasarkan riset singkat betahita, dukungan terhadap Mosi 37/2021 juga sudah dimulai jauh di awal Oktober. Melalui tulisan opini di media massa, rilis media dan lain sebagainya.

(Baca juga: Di Balik Hangatnya  Cerita Dua Opsi di Bali)

Saat hal ini ditanyakan kepada Gemma dari RAN, ia hanya tersenyum. “Jika mau dikemukakan lebih lanjut, masih banyak alasan logis RAN untuk menolak Mosi 37,” ujarnya.

Hari ini Mosi 37/2021 bakal dihadapkan kepada para peserta rapat umum. Pilihannya hanya dua dipilih atau ditolak. Melihat dari konstalasi di rapat umum keputusan hari ini akan berdampak banyak bagi semua pemegang kepentingan, termasuk korporasi-korporasi yang punya jejak deforestasi di Indonesia.