Secarik Pesan Warga Adat di Tengah Rapat Umum FSC

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hutan

Kamis, 13 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Lelaki bertubuh besar itu berdiri. Di tengah ratusan peserta rapat umum Forest Stewardship Councill yang datang dari seluruh pelosok dunia, ia berpesan.

Pesan bagi para pemangku kebijakan sertifikasi hutan. Pesan yang menceritakan kisah pendek hidup mereka yang berasal dari kampung tetangga hutan di Papua.

“Kami datang dengan harapan,” ujar Petrus Kinggo, seorang warga adat asal Kampung Kambenap Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel Papua. Semua lantas menyimak.

Tak cuma Petrus, pada sesi lain di sore hari,  Nicholas Mujah Ason perwakilan dari masyarakat Adat dari Malaysia juga memberikan pesan yang sama. Sedikit bedanya, di pertemuan para member FSC itu, pesan Nicholas dituliskan dalam surat yang ia bacakan. 

Suasana rapat umum FSC. (Supintri Yohar/Auriga Nusantara)

Menurut Nicholas, apapun yang diputuskan dalam rapat umum FSC -organisasi non-profit internasional, yang mempromosikan pengelolaan hutan dunia yang bertanggung jawab, melalui sertifikasi kayu- bisa membuat hidup para warga adat yang tinggal bersama hutan bisa jauh lebih baik.

“Kami berharap FSC bisa berdampak baik bagi kami. Dalam hal memperbaiki, memulihkan, dan mencegah kerusakan sosial juga lingkungan tempat tinggal kami,” ujar Nicholas. “Kami datang dari Sumatera, Borneo, dan Papua, tempat di mana kerusakan yang ditimbulkan oleh pengelolaan hutan itu nyata dan berdampak bagi diri kami.”

Petang hari itu, para anggota FSC berkumpul dalam ruangan jelang pengambilan keputusan opsi-opsi penting terkait cut off date (Mosi 37/2021) dan penguatan kerangka pemulihan (mosi 45/2021).

(Baca juga:  Di Balik Hangatnya Cerita Dua Opsi di Bali)

Kembali ke rapat.

Dengan mimik serius, Nicholas kemudian kembali membaca pesan bahwa aktivitas perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah menghancurkan hutan yang merupakan rumah dan tempat mencari makan mereka, sungai sumber air mereka. Hingga lahan yang yang merupakan ladang-ladang penghidupan mereka.

“Anda semua saat ini adalah penentu, apakah kondisi yang kami hadapi akan selesai tau sebaliknya akan bertambah buruk,” katanya.

Kami, lanjut Nicholas, menaruh harapan besar kami pada sebuah mosi yang akan diputuskan saat itu: Mosi 45/2021. Mosi yang memberikan kami kepercayaan diri bahwa hidup akan jauh lebih baik, jika perusahaan tidak melepaskan diri dari tanggung jawab mereka. “Terhadap hutan dan masyarakat adat,” ujarnya.

“Ini kami lakukan untuk masa depan masyarakat adat dan hutan yang lebih baik,” kata Petrus menutup pesannya.

Seperti diketahui, dari sejumlah mosi yang akan dibincang dan diputuskan, dua hal mencuat dan itu dibahas menghangat pada rapat umum yang digelar di Nusa Dua, Bali.

Persoalan itu adanya dua mosi soal dasar pelaksanaan sertifikasi pengelolaan lestari untuk tahun-tahun mendatang: Mosi 37/2021 dan Mosi 45/2021.

Mosi 37 berisi usulan perubahan cut off date atau batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020. Perubahan ini diikuti dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan secara lingkungan dan sosial terhadap keterlanjuran konversi hutan alam yang diatur dalam Remedy Framework (RF).

Sementara Mosi 45/2021 lebih menekankan pada penyempurnaan kerangka kerja pemulihan lingkungan dan sosial. Mosi ini berpendapat bahwa dokumen PfA, PAC dan Remedy Framework perlu direvisi dan diperkuat melalui pengajuan Mosi 45/2021. Artinya mosi ini mewajibkan semua calon anggota FSC untuk terlebih dahulu menyelesaikan persoalan lingkungan dan sosialnya sebelum mendaftar masuk FSC. Demi kredibilitas FSC.

(Baca juga: Ragam Alasan RAN Menolak Opsi 37 dalam Rapat Umum FSC)

Menanggapi pernyataan dari masyarakat adat, Woro Supartinah dari Institute of Social and Economic Changes, mengatakan FSC adalah organisasi yang seharusnya memegang prinsip penghormatan hidup terhadap masyarakat adat dan lokal. Jika, lanjutnya, keputusan yang dihasilkan nantinya tidak mendukung penguatan kerangka kerja pemulihan dan memastikan kelangsungan hidup masyarakat adat, “Artinya FSC menjauh dari prinsip yang selama ini dipegangnya.

Senada dengan Woro, Direktur Kehutanan Auriga Nusantara, Supintri Yohar juga mengkhawatirkan FSC akan kehilangan reputasinya jika rapat umum kali ini membuka ruang bagi perusahaan kontroversial seperti APP, APRIL dan Korindo untuk kembali ke FSC.

“Jika itu terjadi, FSC gagal menyiapkan kebijakan yang memastikan pemenuhan hak masyarakat adat dan lokal, yang terdampak oleh hadirnya perusahaan di hutan mereka,” ujarnya.