Studi: Hampir 70% Populasi Satwa di Bumi Musnah Sejak 1970

Penulis : Kennial Laia

Satwa

Rabu, 19 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Populasi satwa liar di bumi berkurang sebanyak 69% hanya dalam waktu 50 tahun. Hal ini terjadi seiring dengan aktivitas manusia merusak hutan, konsumsi di luar batas kemampuan planet, dan pencemaran dalam skala industri. 

Hal itu terungkap dalam laporan ilmiah terbaru Living Planet Report oleh WWF dan Zoological Society of London (ZSL). Penurunan jumlah spesies itu mulai dari lautan hingga hutan hujan tropis, mencakup burung, ikan, amfibi, dan reptil selama periode 1970 - 2018. Pada laporan sebelumnya angka penurunan berada di 68% dan 60% empat tahun yang lalu. 

Sebelum laporan ini, banyak ilmuwan meyakini bahwa saat ini sedang terjadi kepunahan massal keenam, yakni kehilangan terbesar makhluk hidup di bumi sejak zaman dinosaurus, dan ini dipicu oleh manusia. Laporan yang disusun 89 penulis tersebut mendesak agar pemimpin dunia untuk membuat kesepakatan ambisius pada konferensi biodiversitas COP16 Desember mendatang di Kanada. Pemerintah juga harus memotong emisi karbon untuk membatasi pemanasan di bawah 1.5C dekade ini untuk menyetop kerusakan alam. 

Living Planet Index menggabungkan analisis global atas 32.000 populasi dari 5.230 spesies hewan untuk mengukur perubahan kelimpahan satwa liar di seluruh benua dan taksa, menghasilkan grafik yang mirip dengan indeks stok kehidupan di Bumi.

Photuris mysticalampas, juga disebut kunang-kunang lentera misterius, adalah spesies kunang-kunang berkedip sinkron yang dideskripsikan pada tahun 2013. Foto: IUCN

Tanya Steele, kepala eksekutif di WWF Inggris, mengatakan bahwa laporan tersebut menunjukkan bahwa penurunan terburuk terjadi di wilayah Amerika Latin, rumah bagi hutan hujan terbesar di dunia yakni Amazon. 

“Tingkat deforestasi di sana semakin cepat, melucuti ekosistem unik ini bukan hanya dari pepohonan tetapi juga satwa liar yang bergantung padanya dan kemampuan Amazon untuk bertindak sebagai salah satu sekutu terbesar kita dalam memerangi perubahan iklim,” kata Steele. 

Afrika berada di urutan kedua kehilangan terbesar yakni 66%, diikuti Asia dan Pasifik (55%), dan Amerika Utara (20%). Eropa dan Asia Tengah mengalami penurunan sebesar 18%. Totalnya setara dengan populasi manusia menghilang di Eropa, Amerika, Afrika, Oseania, dan Cina, menurut laporan tersebut. 

“Walaupun ada sains, proyeksi bencana, pidato dan janji yang berapi-api, hutan yang terbakar, negara yang tenggelam, rekor suhu dan jutaan pengungsi, para pemimpin dunia terus duduk dan menyaksikan dunia kita terbakar di depan mata kita,” kata Steele. 

“Krisis iklim dan alam, nasib mereka terjalin, bukanlah ancaman yang akan diselesaikan oleh cucu-cucu kita dengan teknologi yang masih harus ditemukan.” 

Perubahan penggunaan lahan masih merupakan pendorong paling besar hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh planet ini, menurut laporan tersebut. Mike Barrett, direktur eksekutif ilmu pengetahuan dan konservasi di WWF Inggris, mengatakan: “Pada tingkat global, penurunan yang kita lihat terutama didorong oleh hilangnya dan terfragmentasinya habitat yang didorong oleh sistem pertanian global dan perluasannya yang mengonversi habitat utuh.”  

Para peneliti menggarisbawahi meningkatnya kesulitan yang dialami hewan untuk bergerak melalui lanskap terestrial karena terhalang oleh infrastruktur dan lahan pertanian. Hanya 37% sungai yang panjangnya lebih dari 1.000 km (600 mil) tetap mengalir bebas di sepanjang panjangnya, sementara hanya 10% kawasan lindung dunia di darat yang terhubung.

Penurunan di masa depan juga tidak dapat dihindari, kata para penulis. Wilayah Himalaya, Asia Tenggara, pantai timur Australia, pegunungan Albertine Rift dan Eastern Arc di Afrika timur, dan lembah Amazon termasuk dalam area prioritas ini. 

Robin Freeman, kepala unit indikator dan penilaian di ZSL, mengatakan jelas bahwa umat manusia telah mengikis dasar-dasar kehidupan, dan diperlukan tindakan segera untuk memulihkannya.  

“Untuk melihat kurva hilangnya keanekaragaman hayati… bukan hanya tentang konservasi, ini tentang mengubah produksi dan konsumsi – dan satu-satunya cara agar kita dapat membuat undang-undang atau menyerukannya adalah dengan memiliki target terukur yang jelas soal pemulihan kelimpahan, pengurangan risiko kepunahan, dan penghentian kepunahan di Cop15 pada bulan Desember nanti,” pungkas Freeman.