Papua: Suku Awyu Ajukan Sengketa Informasi Atas Perusahaan Sawit

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Kamis, 20 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Tokoh Masyarakat Adat Suku Awyu di Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua mengajukan permohonan sengketa informasi publik kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan  Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua. Suku Awyu yang mendiami Kali Digoel hingga Mappi resah atas keberadaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) namun pemerintah justru menutup informasi soal perusahaan itu. 

Permohonan sengketa Informasi itu diajukan oleh Hendrikus Woro asal Kampung Yare, Distrik Fofi. Dalam permohonannya, Kepala DPMPTSP Papua diduga melakukan pelanggaran terhadap hak pemohon dengan tidak menyediakan informasi publik, sebagaimana ketentuan Pasal 28 F UUD 1945 dan Pasal 7, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 

Sejak tahun 2019, dirinya dan masyarakat adat Awyu khawatir menghilangkan hutan adat karena operasi PT IAL. Terjadi pro dan kontra, upaya kriminalisasi, dan ancaman kekerasan terhadap warga yang melibatkan aparat kepolisian dan operator perusahaan. 

Masyarakat adat Awyu sendiri menolak rencana perusahaan. Beberapa kali Hendrikus bersama perwakilan komunitas bertemu dan menyatakan sikap penolakan ini dalam pertemuan resmi dengan pemerintah daerah, pemerintah provinsi, DPRD dan MRP, namun belum ada tanggapan berarti. 

Ekskavator membabat hutan Sagu, salah satu sumber makanan pokok masyarakat Papua, untuk membuka lahan bagi perkebunan kelapa sawit./Foto Greenpeace/Ardiles Rante

Berdasarkan informasi yang beredar, PT IAL merupakan Perusahaan Modal Asing (PMA) asal Malaysia. Perusahaan itu telah mengantongi Izin Lokasi yang diterbitkan Bupati Boven Digoel dan Izin Usaha Perkebunan diterbitkan DPMPTSP Papua. Namun, masyarakat adat Awyu belum pernah mendapatkan dan menerima dokumen informasi perizinan dimaksud dan belum pernah memberikan persetujuan atas rencana perusahaan tersebut. 

Pada 26 Juli 2022, Hendrikus bertandang ke kantor DPMPTSP di Jayapura Papua menyampaikan permohonan informasi publik untuk mengetahui perizinan perusahaan PT IAL. Namun Surat Tanggapan Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan DPMPTSP Papua (08 Agustus 2022) dan surat tanggapan atas keberatan pada 30 September 2022 yang lalu, tidak sesuai dengan permintaan untuk mendapatkan informasi yang diminta. 

“Saya telah menjelaskan secara baik tujuan dari permohonan informasi publik untuk mengetahui perkembangan perizinan perusahaan di tanah adat saya”, kata Hendrikus. 

DPMPTSP Provinsi Papua terkesan menutupi akses informasi masyarakat terhadap PT IAL. Bahkan pejabat DPMPTSP meminta Hendrikus melengkapi syarat yang diketahui kepala kampung, distrik, pemerintah daerah hingga Lembaga masyarakat adat, tidak sesuai ketentuan. 

“Syarat ini memberatkan pemohon, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik  tidak mengatur syarat tersebut, justru DPMPTSP wajib memberikan informasi karena bersifat terbuka dan wajib tersedia”, tegas Emanuel Gobay, Pembela Hukum dari LHB Papua.  

Hendrikus lantas menggugat DPMPTSP Provinsi Papua ke Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Papua. Pendamping hukum dari LBH Papua dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkapkan telah  menerima kuasa dari Hendrikus untuk mendampingi dalam sengketa ini.

“Sesuai Pasal 11 ayat 1 huruf b UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, Informasi publik yang diminta pemohon merupakan informasi yang wajib tersedia setiap saat. Hal ini juga diatur dalam peraturan Komisi Informasi Publik Nomor 1 Tahun 2021 tentang standar layanan informasi publik,” jelas Tigor G Hutapea, Kuasa Hukum. 

Tindakan DPMPTSP yang tidak memberikan permintaan informasi publik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pemohon sesuai pasal 28 F UUD 1945 dan UU  No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi publik, Komisi informasi publik harus berpihak kepada masyarakat adat untuk memutuskan ini.