Lahirnya Sebuah Pedoman Penanganan Kasus Pidana Lingkungan Hidup

Penulis : Roni Saputra - Direktur Penegakan Hukum, Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Rabu, 26 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perlindungan terhadap lingkungan hidup merupakan satu keharusan bagi semua pihak, tak terkecuali Kejaksaan, yang merupakan satu-satunya lembaga yang diberi mandat untuk melakukan kekuasaan pemerintah di bidang penuntutan.

Baik atau buruknya penuntutan tentu akan ditentukan dari hasil penyidikan. Jika penyidikan sebagai pemeriksaan pendahuluan dalam penuntutan sudah tidak tepat, bukti-bukti tidak diperlakukan secara tepat, saksi-saksi tidak diperiksa secara patut, tersangka tidak diperiksa secara mendalam dan tidak melakukan penelusuran keterlibatan pelaku lainnya, tentu akan memberikan pengaruh yang sangat besar atas keberhasilan penuntut umum dalam mendakwa pelaku kejahatan.

Berdasarkan hal tersebut dan sejalan dengan sistem peradilan pidana, penulis berpendapat bahwa sejatinya Kejaksaan difungsikan sebagai lembaga yang mengontrol lalu lintas data kriminal. Dimulai dari proses hukum berjalan masuk hingga dilaksanakannya putusan pengadilan. Fungsi kontrol pengendalian tersebut dikenal juga dengan istilah dominus litis.

Pelaksanaan peran dominus litis dalam perkara tindak pidana sumber daya alam dan lingkungan ini setidaknya telah ditegaskan dalam beberapa undang-undang sektoral. Namun demikian, ketegasan ini perlu dinormakan lebih lanjut dalam suatu pedoman penanganan perkara. Agar keterpaduan dalam penanganan dan penegakan hukum di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat berjalan lebih baik lagi.

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan Penambangan Ilegal di Jayapura (Yusuf/ Jerat Papua)

Walhasil Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian lahir, dari rekomendasi rapat kerja Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021, yang ditindaklanjuti lewat kerja sama antara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan Yayasan Auriga Nusantara dengan dukungan mitra pembangunan dari Kedutaan Besar Norwegia.

Ada empat hal yang menjadi alasan utama mengapa Pedoman ini menjadi kebutuhan penting. Yang pertama, terkait dengan koordinasi dalam rangka penengakan hukum terpadu--Pasal 95 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang harus dimaknai bahwa pelaksanaannya dilakukan tanpa mengurangi kedudukan jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis).

Kedua, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup tidak jarang berbenturan dengan aktivitas pihak yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga diperlukan penguatan pengaturan tentang hak atas lingkungan hidup dengan konsep anti strategic litigation against public participation (ANTI-SLAPP).

Ketiga, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terjadi perubahan beberapa ketentuan pidana dalam sektor lingkungan hidup, yaitu pemidanaan lebih dititik-beratkan pada delik materiil. Namun demikian yang menjadi titik penting adalah bagaimana pemulihan dan pengembalian fungsi lingkungan hidup menjadi arus utama.

Keempat, perkembangan tipologi dan modus tindak pidana di bidang lingkungan hidup banyak melibatkan badan usaha/korporasi, sehingga arah penegakan hukum akan lebih berdaya guna dengan menyasar korporasi, tentunya dengan pengenaan pidana tambahan.

Pada akhirnya, penulis menganggap Pedoman ini setidak-tidaknya bisa menjadi salah satu jalan atau cara untuk menjaga dan memastikan perlindungan negara terhadap lingkungan hidup. Sehingga manusia di masa saat ini dapat mewarisi lingkungan hidup yang sehat dan baik untuk generasi yang akan datang.