Catatan Obral Lahan Para Presiden untuk Korporasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Jumat, 28 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Merunut sejarah, lebih dari setengah abad lalu korporasi sudah bercokol menguasai Bumi Indonesia. Sejak era pemerintahan Presiden Soeharto hingga sekarang, terhitung sekitar 147.936.564 hektare lahan pernah diberikan Pemerintah Indonesia kepada korporasi.

Hal itu secara ringkas diulas dalam laporan yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara, yang berjudul "Indonesia Tanah Air Siapa-Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi".

Bila diuraikan, menurut data yang disajikan laporan tersebut, luas lahan yang pernah diberikan kepada korporasi untuk sektor kehutanan, khususnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH)--sekarang disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam--luasnya sekitar 68.604.460 hektare, sedangkan untuk Hutan Tanaman Industri--kini disebut PBPH Hutan Tanaman--luasnya kurang lebih 13.963.748 hektare.

Kemudian lahan berasal dari pelepasan kawasan hutan yang pernah diberikan kepada korporasi perkebunan sawit luasnya mencapai 6.019.019 hektare, dan untuk korporasi pertambangan luasnya sekitar 47.424.838 hektare.

Laporan berjudul Indonesia Tanah Air Siapa-Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang dipublikasikan Walhi dan Auriga Nusantara mengungkap secara ringkas luasan lahan yang dikuasai korporasi.

Obral pemberian pengusahaan, pengelolaan dan pengusahaan lahan kepada korporasi mulai marak sejak Orde Baru, terutama sejak diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada 1967 (UU 1/1967) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968 (UU 6/1968).

Penguasaan oleh korporasi ini melalui berbagai bentuk, seperti konsesi dan izin pada pertambangan, izin usaha perkebunan dan atau hak guna usaha (HGU) pada perkebunan sawit, konsesi/izin logging (biasa dikenal Hak Pengusahaan Hutan – HPH) atau kebun kayu (biasa dikenal Hutan Tanaman Industri – HTI) pada kehutanan.

Omnibus Law, atau dikenal juga UU Cipta Kerja, membungkus semuanya dalam bentuk Perizinan Berusaha. Meski nama atau istilahnya beragam, satu hal yang pasti: semua itu diperuntukkan bagi perusahaan atau, untuk selanjutnya disebut korporasi.

Alokasi pengusahaan lahan oleh korporasi per periode kepresidenan./Sumber: Laporan Indonesia Tanah Air Siapa-Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi

Presiden Soeharto merajai “kemurahan hati” pemerintah kepada korporasi. Berkuasa 32 tahun tak kurang dari 78,7 juta hektare lahan diberikannya kepada korporasi, baik kehutanan, sawit, maupun tambang. Rerata per tahunnya lahan yang ia berikan kepada korporasi luasnya sekitar 2,5 juta hektare.

Bila dirincikan, untuk PBPH Alam (HPH) 61,7 juta hektare, PBPH Tanaman 4,3 juta hektare, pelepasan kawasan hutan untuk sawit 2,9 juta hektare dan tambang 9,8 juta hektare.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menempati urutan kedua Presiden yang terbanyak memberikan lahan kepada korporasi. Walau hanya berkuasa selama 10 tahun, SBY menyerahkan penguasaan lahan seluas 55 juta hektare kepada korporasi. Dengan rata-rata sekitar 5,5 juta hektare lahan ia obral kepada korporasi tiap tahunnya selama 10 tahun.

Rinciannya 11,9 juta hektare untuk PBPH Alam, sekitar 6 juta hektare untuk PBPH Tanaman, 2,1 juta hektare kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan sawit, dan 35 juta hektare untuk pertambangan.

Bisa jadi karena hanya sebentar berkuasa, 2-3 tahun, rezim Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati tidak terlalu banyak memberi penguasaan lahan kepada korporasi.

Presiden B.J. Habibi hanya sekitar 2 juta hektare, terdiri dari PBPH Alam 1,6 juta hektare, PBPH Tanaman, 118 ribu hektare, pelepasan kawasan hutan untuk sawit 284 ribu hektare dan tambang 5 ribu hektare. Habibie bahkan tercatat menutup pabrik pulp Indorayon Inti Utama (kini Toba Pulp Lestari) karena mencemari lingkungan dan ditolak masyarakat setempat.

Presiden keempat, Abdurrahman Wahid menjadi presiden paling sedikit memberikan lahan kepada korporasi, totalnya hanya 1,6 juta hektare, yang terdiri dari 1,3 juta hektare untuk PBPH Alam, 113 ribu hektare PBPH Tanaman dan pelepasan kawasan hutan untuk sawit seluas 107 ribu hektare. Gusdur tercatat tidak memberikan lahan untuk korporasi tambang.

Kemudian luas lahan yang diberikan Presiden Megawati kepada korporasi mencapai angka 2,6 juta hektare. Rinciannya, 1,3 juta hektare untuk PBPH Alam, 417 ribu hektare untuk PBPH Tanaman dan 927 ribu hektare untuk pertambangan. Akan tetapi Presiden Megawati membukukan catatan kritis, selain menghidupkan kembali pabrik Indorayon, ia juga membolehkan penambangan di hutan lindung kepada korporasi tertentu.

Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) yang disusun dan disahkan pada era Habibie telah membatasi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, yakni hanya membolehkannya secara terbatas di dalam hutan produksi dan tambang tertutup (underground mining) di hutan lindung.

Namun, oleh rezim Megawati terbit peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu 1/2004) sehingga perusahaan-perusahaan tertentu dibolehkan menambang secara terbuka (open pit) di dalam hutan lindung. Berbasis Perppu ini Megawati kemudian menerbitkan Keppres 41/2004 yang membolehkan 13 korporasi menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektare (dari total luas izin 6.257.640.49 hektare).

Meski dalam masa kampanyenya, dan bahkan mencatat secara formal pengalokasian penguasaan lahan kepada rakyat berupa perhutanan sosial (12,7 juta hektare) dan reforma agraria (5 juta hektare), ternyata yang dilakukan rezim Joko Widodo cenderung sebaliknya.

Hingga saat ini, pemenuhan janjinya tersebut hanya sekitar 2 juta hektare (atau 11 persen dari total janjinya), sementara alokasi lahan yang diberikan rezimnya ke korporasi hampir mencapai 8 juta hektare. Terdiri dari 2,6 juta hektare PBPH Alam, 3,1 juta hektare PBPH Tanaman, 598 ribu hektare pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan 1,6 juta hektare untuk pertambangan.

Jokowi sendiri baru 8 tahun berkuasa, sehingga masih punya waktu 2 tahun lagi menuntaskan periode kepresidenannya. Persoalannya, 2 tahun terakhir tersebut akan berupa tahun elektoral, baik pusat maupun daerah, yang biasanya justru ditandai dengan hujan izin.