Nasib Hutan Riau di Tengah Serbuan Korporasi Sawit

Penulis : Puja Pratama Ridwan dan Mahardika Zenar Auliya

Analisis

Jumat, 04 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Menurut data yang dirilis oleh Greenpeace pada Oktober 2021 lalu, Tunggal Perkasa Plantations merupakan satu dari sekian perusahaan sawit yang diduga memiliki areal tanam kelapa sawit dalam kawasan hutan Riau. Meskipun bergerak secara legal, perusahaan ini diduga menggunakan 10.484 hektare kawasan hutan produksi konversi untuk areal penanaman kelapa sawit perusahaannya pada 2019 lalu.

Dalam pasal 1 ayat 4 aturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Nomor P.51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016, hutan produksi konversi memang diperbolehkan untuk menjadi cadangan pembangunan di luar kegiatan kehutanan atau dapat dijadikan lahan pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan.

Untuk diketahui, tukar menukar kawasan hutan adalah proses penyerahan lahan perusahaan yang bukan kawasan hutan kepada negara untuk dikonversi menjadi kawasan hutan. Proses ini adalah aturan yang harus dilakukan jika areal tanam perusahaan kedapatan masuk ke dalam kawasan hutan.

Meski hutan produksi konversi memang dapat digunakan sebagai lahan pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan, luas areal tanam Tunggal Perkasa Plantations yang ada dalam kawasan hutan bukanlah angka yang sedikit.

Ilustrasi perkebunan sawit

Arie Rompas dari Greenpeace mengatakan data tersebut mulai teridentifikasi sejak tahun 2001 hingga 2019 melalui riset bersama The Treemap dengan mengidentifikasi citra satelit serta komparasi dengan data batas kawasan hutan dari KLHK. Dari hasil identifikasi tersebut ditemukan sekitar 3,12 juta hektar sawit dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia. “Termasuk kawasan hutan yang di wilayah Indragiri Hulu,” kata Ari dalam sambungan teleconference, Rabu 22 September 2022.

Dari analisis Google Earth, bangunan perusahaan ini terlihat seperti bergabung dengan bagian pabrik minyak kelapa sawit dengan areal yang cukup luas. Sementara, di sekeliling areal bangunan perusahaan terdapat perkebunan kelapa sawit. Kebun perusahaan Tunggal Perkasa Plantations masuk kedalam kawasan hutan pada bagian barat daya dan timur gedung perusahaan.

Jika dibandingkan dengan data luas hutan produksi konversi di Indragiri Hulu dari BPS tahun 2019 yang luasnya adalah 170.106 hektar, luas kebun perusahaan Tunggal Perkasa Plantations yang masuk kedalam kawasan hutan produksi konversi Indragiri Hulu adalah 6,16 persen. 

Hasil analisis yang kami lakukan dengan membandingkan kawasan hutan Riau 2019 dan 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar areal tanam sawit milik Tunggal Perkasa Plantation yang ada dalam kawasan hutan produksi konversi tersebut telah berubah menjadi areal penggunaan lain yang berarti area tersebut bukan lagi termasuk kawasan hutan.

Penulis telah mencoba menghubungi PT Tunggal Perkasa Plantations melalui beberapa surel, antara lain sustainability@astra-agro.co.id, jml@jardines.com, dan purel@ai.astra.co.id namun tidak mendapatkan jawaban hingga laporan ini tayang.

Dugaan pelanggaran Tunggal Perkasa Plantations juga kerap dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sawit lain di Riau yang notabenenya adalah provinsi penghasil sawit tertinggi secara nasional. Di Riau, setidaknya ada tujuh perusahaan yang diduga areal perkebunannya masuk ke dalam kawasan hutan Provinsi tersebut.

Inti Indosawit Subur juga termasuk perusahaan yang mencolok dalam dugaan pelanggaran aturan tersebut. Areal perkebunan PT Indosawit Subur diduga telah masuk ke dalam kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo yang menjadi rumah bagi para harimau Sumatera, tapir, dan berbagai hewan langka yang dilindungi lainnya.

Ironis, semua nama perusahaan tersebut telah bersertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Tersertifikasinya sejumlah perusahaan tersebut didasarkan pada aturan terbaru dari Peraturan Menteri Pertanian No.38 Tahun 2020 terkait ISPO. Misalnya PT. Banyu Bening Utama yang tersertifikasi ISPO melalui SGS Indonesia sebagai badan sertifikasi dengan nomor sertifikasi SGS-ID-ISPO-0028 dan memiliki masa berlaku sejak 5 Desember 2018 hingga 4 Desember 2023. 

Untuk diketahui, ISPO adalah standar yang diciptakan pemerintah Indonesia untuk memastikan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan hingga menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Terdapat pula beberapa perusahaan di atas yang sudah mengantongi sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO adalah standar global untuk pengembangan sawit berkelanjutan hingga pelestarian lingkungan hidup.

Di bawah ini adalah visualisasi data geospasial yang menggabungkan batas-batas kawasan hutan Riau berdasarkan Keputusan Menteri LHK bernomor SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 dengan pembaruan data terakhir pada April 2022 yang mengklasifikasi kawasan hutan berdasarkan warna. Serta, batas area tanam dari sejumlah perusahaan tersebut dari citra satelit map.nusantara-atlas.org milik TheTreemap.

codeyoutube :

Tunggal Perkasa Plantations menjadi perusahaan dengan kepemilikan  areal tanam sawit terbanyak yang masuk ke dalam kawasan hutan Riau. Disusul Banyu Bening Utama dan Tri Bakti Sarimas dengan dugaan masing-masing seluas 6.015 dan 4.687 hektar kebun yang masuk ke dalam kawasan hutan Riau. 

Perusahaan pelat merah PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) V juga muncul dalam laporan tersebut. Kebun kelapa sawit milik perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini disinyalir menjajah 184 hektar kawasan hutan lindung.

Romy Yudistira Lubis, bagian Hukum PTPN V saat dikonfirmasi menjelaskan areal tanam kelapa sawit milik perusahaan itu sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1983. Hal itu jauh sebelum batas-batas kawasan hutan Riau ditetapkan. Sehingga kawasan hutan tersebut akhirnya masuk dalam wilayah HGU milik PTPN V. “Jadi kasusnya kawasan hutan yang masuk dalam HGU kita,” tutur Romy pada Senin 3 Oktober.

Menurut Romy, PTPN V sudah berupaya menyelesaikan masalah ini dengan menghubungi pihak KLHK untuk menindaklanjuti. Namun dia belum menjelaskan hasil dari upaya yang dimaksud. 

Penulis telah mencoba menghubungi Ruandha Agung Sugardiman selaku Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui pesan singkat whatsapp, namun hanya dibaca dan tidak mendapatkan balasan.

Lemahnya Payung Hukum Sawit


Permasalahan sawit dalam kawasan hutan bak kaset lama yang terus berdendang sepanjang tahun, hal ini disebabkan oleh payung hukum penanganan perkebunan dalam kawasan hutan yang terus berubah dan menjadi tumpul. Payung hukum yang mengatur permasalahan ini terus berubah sejak tahun 2012 hingga 2021.

Payung hukum perkebunan dalam kawasan hutan serta beberapa hal terkait permasalahan kelapa sawit, pernah diatur dalam PP 60/2012 dan terus mendapatkan perubahan hingga disahkannya Undang-undang Cipta Kerja pada 2020. Sempat mendapat angin segar saat disahkannya Moratorium sawit pada 2018, namun tidak diperpanjang kembali pada 2021.

Kondisi semakin gawat dengan munculnya UU Omnibus Law. Menurut Arie Rompas, beleid ini membuat permasalahan sawit dalam kawasan hutan kian sulit untuk mendapatkan penegakan hukum lantaran beberapa aturan mengenai perlindungan lingkungan termasuk sawit dalam kawasan hutan dihapuskan. “Justru instrumen penegakan hukum yang ada sebelum Omnibus Law lebih progresif tapi prakteknya tidak juga dilakukan,” kata Arie.

Arie mengatakan pasca omnibus law tantangan penegakan hukum semakin menjadi karena semua aturan perlindungan lingkungan termasuk perlindungan sosial dipangkas, termasuk sawit dalam kawasan hutan. “Jadi mereka hanya dapat denda administratif sementara sanksi hukum pidananya hilang. Inikan sesuatu yang mengkhawatirkan,” ujar Arie.

Dampak Terhadap Bencana Banjir dan Tanah Longsor

Belasan rumah rusak berat akibat longsor karena aliran sungai, di Desa Simpang Tiga, Kecamatan Enok, Indragiri Hilir, Riau pada  2 Agustus 2022. Dinding rumah, pos ronda, hingga rumah ibadah rusak akibat hal tersebut. Akibat kondisi tersebut, 32 keluarga dengan total 113 orang terpaksa mengungsi. Situasi semakin gawat karena fasilitas umum seperti jalan, dermaga, hingga rumah ibadah juga rusak parah.

Banjir di wilayah Indragiri Hilir tak lepas dari kondisi alamnya yang mengalami kerusakan. Keberadaan hutan di wilayah ini juga terus terkikis oleh perusahaan sawit yang terus menjorok ke wilayah hutan. Dari 7 perusahaan sawit bersertifikasi yang diduga merambah wilayah hutan di Riau, 4 diantaranya berlokasi di Indragiri Hilir. 

Sejak awal 2022, kurang lebih tiga kali banjir menghantam wilayah Indragiri Hilir ini. Dampaknya bervariasi, mulai dari ratusan rumah terendam banjir, rumah dan gudang hanyut, serta menelan 2 korban jiwa karena terseret arus banjir. Di tahun sebelumnya, banjir terjadi sebanyak empat kali selama satu tahun dan menyebabkan puluhan orang mengungsi dan kerusakan fasilitas umum.

Kondisi yang sama juga dialami Kabupaten Kuantan Singingi yang memiliki 1 di antara 10 lahan sawit yang diduga memasuki kawasan hutan. Pada tahun ini, terjadi dua kali banjir yang merendam beberapa kecamatan akibat curah hujan tinggi dan minimnya resapan air. Banjir tersebut tergolong banjir yang ringan karena hanya menggenangi ruas jalan Imam Munandar. Pada tahun tersebut, banjir juga terjadi di Desa Petapahan Kuantan Singingi akibat meluapnya sungai Petapahan.

Arie Rompas dari Greenpeace mengatakan penanaman sawit di hutan lindung sangat berdampak pada semakin tingginya bencana banjir. Sebab, proses penanaman sawit dalam kawasan hutan bisa menyebabkan keringnya lahan dan merusak siklus hidrologi. Apalagi kawasan hutan di Riau didominasi lahan gambut yang cepat memicu banjir bila daya serapnya sudah melebihi kapasitas.

Fenomena tersebut terbukti dengan semakin tingginya angka bencana banjir dan tanah longsor di wilayah Riau, di tengah maraknya perluasan perkebunan kelapa sawit yang menunjukkan angka kenaikan setiap tahunnya.

Dari kacamata hidrologi, ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh Agustina Kiky Anggraini selaku Akademisi Mekanika Fluida Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Menurutnya,  perusahaan harus bertanggung jawab secara berkelanjutan dan mencegah kerusakan lingkungan.

Jika perubahan kawasan hutan tidak sejalan dengan rasa tanggung jawab, lanjut Kiky, akan terjadi deforestasi yang bisa berdampak terhadap bencana alam di Riau. “Hal tersebut harus bisa dilakukan oleh perusahaan secara penuh tanggung jawab dengan cara memperhitungkan kawasan yang harus disiapkan untuk resapan air berdasarkan luasan pembukaan. Selain itu perusahaan itu perlu menyiapkan teknologi untuk mencegah banjir,” tuturnya pada teleconference Rabu, 21 September 2022. 

Tulisan ini merupakan produk program Fellowship Jurnalisme Data untuk mahasiswa oleh AJI Indonesia yang bekerjasama dengan USAID dan Internews. Dataset yang digunakan dapat dilihat di tautan berikut : https://is.gd/c07DiU