Studi: Gelombang Panas Sebab Kerugian Ekonomi Global $16 Triliun

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Kamis, 03 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Gelombang panas yang disebabkan oleh kerusakan iklim akibat aktivitas manusia telah merugikan ekonomi global sekitar $16 triliun atau setara dengan Rp 250 kuadriliun sejak tahun 1990-an. 

Hal itu terungkap dalam penelitian baru, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances. Studi menghitung dampak keuangan dari panas ekstrem pada infrastruktur, pertanian, produktivitas, kesehatan manusia, dan bidang lainnya. 

“Kita telah meremehkan biaya ekonomi sebenarnya karena pemanasan global sejauh ini. Ada kemungkinan bahwa kita juga meremehkan kerugian di masa depan,” kata Justin Mankin, asisten profesor geografi di Darmouth College dan penulis senior studi tersebut.

Meskipun memiliki emisi karbon terendah, daerah tropis dan selatan global menanggung hampir keseluruhan beban ekonomi dari panas ekstrem ini. Pasalnya wilayah tersebut lebih hangat sehingga rentan mengalami gelombang panas yang lebih keras. Selain itu mereka juga lebih rentan secara ekonomi, sehingga cenderung terpapar depresi ekonomi dan biaya adaptasi terhadap krisis iklim.  

Orang-orang tidur di atas atap untuk menyejukkan badan selama gelombang panas di New Delhi, India. Beberapa tahun terakhir, India mengalai cuaca panas ekstrem lebih sering. Foto: Tsering Topgyal/AP via ndrc.org

Dengan menggunakan data yang mencakup sekitar 66% populasi dunia, para peneliti mengamati pengukuran suhu dari periode lima hari terpanas antara tahun 1992 dan 2013. Kemudian membandingkannya dengan data ekonomi nasional pada periode yang sama, dengan segmentasi per wilayah. 

Christopher Callahan, peneliti di Dartmouth College dan penulis utama studi tersebut mengatakan, panas ekstrem memiliki berbagai efek pada manusia dan ekonomi. 

“Kita tahu bahwa gelombang panas membunuh tanaman dan menyebabkan penyakit seperti serangan panas. Efek lainnya juga terkait dengan peningkatan agresi interpersonal, tingkat cedera di tempat kerja, dan penurunan kinerja mental,” kata Callahan.

Menurut Dr Leonie Wenz, wakil kepala departemen penelitian pada ilmu kompleksitas di Potsdam Institute for Climate Impact Research, hingga saat ini studi mengenai gelombang panas dan dampaknya terhadap manusia belum mencerminkan pengalaman seluruhnya. Penelitian didasarkan pada rata-rata, meskipun hal ini dapat menutupi efek pada tingkat lokal dan peristiwa sementara. 

“Mereka tidak sepenuhnya mencerminkan bagaimana pengalaman manusia dengan suhu. Di antaranya apa yang terpenting bagi kita, dan apa saja yang memengaruhi kesejahteraan, produktivitas, dan keputusan kita,” kata Wenz, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. 

Studi tersebut menemukan bahwa kawasan terkaya di dunia, seperti Eropa dan Amerika Utara, mengalami kerugian rata-rata 1,5% dari PDB per kapita per tahun karena panas ekstrem. Sebagai perbandingan, daerah berpenghasilan rendah, seperti India dan Indonesia, mencatat penurunan PDB per kapita sebesar 6,7% setiap tahun. 

Mankin mengatakan, mayoritas beban ekonomi akibat gelombang panas ekstrem ditanggung oleh negara-negara yang tidak mendapat manfaat dari industrialisasi. Kenyataan ini pun menciptakan lingkaran setan. 

“Negara-negara berpenghasilan rendah telah diminta untuk mengembangkan dan melakukan industrialisasi dalam ekonomi global yang secara strategis merugikan mereka,” jelas Mankin. 

“Dan mereka melakukan hal ini sembari dihantam oleh dampak pemanasan global yang dihasilkan kawasan utara global. Ini semacam pukulan ganda bagi mereka,” kata Mankin.