Walhi: Strategi Transformasi Hijau ala Jepang adalah Solusi Palsu

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Jumat, 04 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Strategi Transformasi Hijau ala Jepang dituding sekedar menjadi dalih untuk memperpanjang PLTU batu bara. Strategi yang dikenal sebagai Strategi GX ini meliputi teknologi seperti co-firing hidrogen dan amonia, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), serta penggunaan Liquid Natural Gas (LNG).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memprotes pengembangan kebijakan strategi ini dalam percepatan peta jalan karbon netral di Indonesia. Strategi GX tengah didorong untuk diimplementasikan bukan hanya di Jepang, namun juga terutama di negara-negara berkembang di Asia. 

“Meskipun Pemerintah Jepang membahasakan upaya mereka ini sebagai sebuah usaha mewujudkan masyarakat yang ter-dekarbonisasi, bagi WALHI upaya ini tidak lain hanya merupakan solusi palsu terhadap transisi energi,” ucap Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Eksekutif Nasional WALHI, Fanny Tri Jambore.

Menurutnya Japan International Cooperation Agency (JICA) berada di belakang pengembangan Strategi GX ini di Indonesia. Mereka mengusulkan penggunaan amonia, hidrogen, dan LNG (dengan CCS) sebagai tiga bahan bakar utama, dengan memprioritaskan penggunaan co-firing amonia dan biomassa pada PLTU Batu bara sebagai target jangka pendek. 

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Pemakaian hidrogen diharapkan akan menyumbang sebagian besar bauran energi listrik setelah 2051. Korporasi-Korporasi Jepang telah mengumumkan studi kelayakan untuk proyek-proyek semacam ini bisa dijalankan di Indonesia.

Rere, nama sapaan Fanny Tri Jambore, menyebutkan penggunaan batu bara memiliki dampak besar terhadap perubahan iklim. Data bencana atas fenomena alam ini kian mlonjak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa sejak Januari hingga Oktober 2022 telah terjadi 2.654 kejadian bencana yang didominasi oleh bencana hidrometeorologis yang berkaitan dengan perubahan iklim seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrim serta kebakaran hutan dan lahan. 

"Dengan semakin intensifnya dampak krisis iklim global, kita perlu mengakhiri ketergantungan kita pada bahan bakar fosil. Akan tetapi, strategi GX pemerintah Jepang ini hanya akan menunda upaya dekarbonisasi," ucapnya. 

Parahnya studi kelayakan terkait penggunaan teknologi co-firing dan CCS/CCUS yang menyebabkan perpanjangan penggunaan bahan bakar fosil pada gilirannya akan mendorong pertambangan batu bara terus beroperasi. Saat ini, hampir 5 juta hektar lahan telah diberikan sebagai wilayah konsesi pertambangan batu bara di Indonesia, sekitar hampir 2 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan. 

Besarnya pertambangan batu bara di Indonesia yang merambah ke kawasan hutan disebabkan oleh besarnya ketergantungan kebutuhan energi listrik Indonesia pada batu bara. Pada tahun 2022, PLN diperkirakan membutuhkan 119 juta ton batu bara untuk operasi PLTU-PLTU batu bara yang dimilikinya.

Bagi Kota Jakarta sendiri, perpanjangan umur penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas pada pembangkit listrik di sekeliling Jakarta akan memperpanjang juga dampak pencemaran udara di kota ini. Saat ini setidaknya ada 10 PLTU yang beroperasi di sekitar Jakarta dan telah menimbulkan dampak serius polusi udara bagi warga Jakarta. 

Mitsubishi Heavy Industries, Ltd. (MHI), misalnya, telah mengajukan proposal kepada pemerintah Indonesia untuk penerapan co-firing biomassa di PLTU-PLTU batu bara yang ada, dimana PLTU Suralaya (unit 2) di Banten akan dijadikan sebagai lokasi studi percontohan. 

Selain itu, studi kelayakan co-firing amonia di PLTU Suralaya juga tengah dikerjakan oleh MHI, Mitsubishi Corporation, dan Nippon Koei Co., Ltd. atas perintah Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang.

Pengkampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah, mengungkapkan komitmen nol emisi dan penghentian pembangunan PLTU batu bara baru harusnya dibarengi dengan upaya transisi energi non fosil. Alih-alih memitigasi krisis iklim, penggunaan co-firing amonia dan hidrogen serta LNG justru akan menjadi mal-mitigasi krisis iklim, sebab yang digunakan masih energi fosil. 

“Selain itu, baru-baru ini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga sudah memutus bersalah pemerintah terkait polusi udara. PLTU batu bara di sekitar Jakarta sendiri turut menjadi penyebab buruknya udara di Jakarta. Harusnya putusan tersebut dipatuhi setiap lembaga negara terkait dengan mengendalikan pencemaran udara, salah satunya di sektor energi," kata dia.

Saat ini PLTU Suralaya mengoperasikan delapan unit (total 4.025 MW). Unit pertamanya telah mulai beroperasi sejak tahun 1984 dan berdampak bagi warga sekitar, baik secara kesehatan maupun mata pencaharian. 

Semakin lama beroperasi, PLTU Suralaya dengan co-firing biomassa maupun amoniak akan memperpanjang penderitaan warga. Alih-alih mendukung co-firing biomassa maupun amonia, pemerintah Jepang seharusnya mendukung pemensiunan dini dan sepenuhnya terhadap PLTU Suralaya.

Pemerintah dan perusahaan Jepang harus ingat bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia, terutama pada sistem grid Jawa-Bali. 

Walhi pun mendesak pemerintah Jepang untuk segera menghentikan upaya mempromosikan solusi palsu untuk memperpanjang umur penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil atas nama transisi energi.