Krisis Iklim: Bumi Catat 8 Tahun Terpanas Sejak 2016

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Selasa, 08 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Laporan terbaru dari Perserikatan Bang-Bangsa (PBB) mengungkap delapan tahun terakhir sebagai periode terpanas yang pernah tercatat. Temuan ini menunjukkan saat kondisi dunia yang semakin parah akibat krisis iklim. 

Laporan tersebut, yang diterbitkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di bawah PBB, mengatakan bahwa “kesepakatan internasional mengenai batas kenaikan suhu pada 1,5C hampir tidak terjangkau lagi.” Organisasi tersebut juga menetapkan bagaimana rekor gas rumah kaca yang tinggi di atmosfer mendorong permukaan laut dan pencairan es ke titik tertinggi baru dan memicu cuaca ekstrem di seluruh dunia. 

Asesmen tersebut diterbitkan pada hari pembukaan KTT iklim PBB atau COP27 di Mesir. WMO memperkirakan bahwa suhu rata-rata global pra-industri akan menjadi sekitar 1,15C di atas rata-rata pra-industri  (1850-1900). Artinya tahun-tahun sejak 2016 merupakan salah satu rekor terpanas. 

Selama dua tahun terakhir, fenomena iklim alami La Niña sebenarnya telah membuat suhu global lebih rendah dari yang seharusnya. Peralihan yang tak terhindarkan ke kondisi El Niño akan membuat suhu melonjak lebih tinggi di masa depan, di atas pemanasan global.

Desa yang terendam di Matiari, provinsi Sindh, setelah banjir besar menghantam Pakistan Juni 2022. Dok UNICEF/Asad Zaidi A

Laporan WMO mengatakan:

  • Karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida berada pada tingkat rekor di atmosfer saat emisi terus berlanjut. Peningkatan tahunan metana, gas rumah kaca yang kuat, adalah rekor tertinggi.
  • Permukaan laut sekarang naik dua kali lebih cepat dari 30 tahun yang lalu dan lautan menjadi lebih panas dari sebelumnya.
  • Rekor pencairan gletser di Pegunungan Alpen pecah pada 2022, dengan rata-rata kehilangan ketinggian 4 meter. 
  • Hujan – bukan salju – tercatat di puncak lapisan es Greenland setinggi 3.200 meter untuk pertama kalinya.
  • Wilayah es laut Antartika turun ke level terendah dalam catatan, hampir 1 juta km2 di bawah rata-rata jangka panjang.

“Semakin besar pemanasan, semakin buruk dampaknya,” kata Sekjen WMO, Prof Petteri Taalas. 

“Saat ini kita memiliki tingkat CO2 yang begitu tinggi di atmosfer sehingga [target] 1.5C yang lebih rendah dari Perjanjian Paris hampir tidak dapat dicapai. Sudah terlambat bagi banyak gletser [dan] kenaikan permukaan laut adalah ancaman jangka panjang dan utama bagi jutaan penduduk pesisir dan negara bagian dataran rendah.”

Meningkatnya pemanasan global telah menyebabkan cuaca ekstrem semakin parah dan semakin sering di seluruh dunia. Laporan WMO tersebut menyoroti kekeringan di timur Afrika, di mana curah hujan jatuh di bawah rata-rata selama empat musim berturut-turut dan merupakan yang terpanjang selama 40 tahun. Akibatnya sekitar 19 juta jiwa tengah mengalami krisis pangan.  

Analisis WMO juga melaporkan bahwa: 

  • Banjir mematikan di Pakistan telah merenggut 1.700 nyawa dan memaksa 7,9 juta jiwa untuk kehilangan tempat tinggalnya.
  • Rangkaian topan yang menghantam selatan Afrika berdampak paling parah di Madagaskar yang diiringi dengan hujan lebat.
  • Gelombang panas dan kekeringan di bagian utara bumi. China mengalami gelombang panas terpanjang dalam catatan, sementara itu Inggris mencapai suhu 40C untuk pertama kalinya. Sungai-sungai di Eropa, termasuk Rhein, Loire, dan Danube surut ke level yang sangat rendah. 
  • Badai Ian di Amerika Serikat menyebabkan kerusakan dan kehilangan ekstensif di Kuba dan negara bagian Florida. 

“Seringkali mereka yang menyumbang paling sedikit terhadap krisis iklim adalah yang paling menderita. Namun tahun ini, masyarakat yang paling siap pun dihancurkan oleh cuaca ekstrem,” kata Prof Taalas.