Co-firing Biomassa Pembabatan Hutan Alam Berbalut Transisi Energi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Rabu, 09 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Klaim pemerintah yang menyebut pemanfaatan biomassa melalui co-firing sebagai strategi transisi energi yang bersih mendapat pertentangan dari organisasi masyarakat sipil. Co-firing biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dinilai hanyalah sebuah agenda pembabatan hutan berbalut transisi energi.

Melalui laporan terbarunya yang berjudul "Ancaman Deforestasi Tanaman Energi", Trend Asia menilai, co-firing biomassa berpotensi merusak hutan alam yang berperan sebagai ekosistem penyerap karbon, dan itu bertentangan dengan misi melawan perubahan iklim. Diperkirakan, apabila co-firing ini dilakukan dengan bahan baku biomassa pelet kayu, maka ada potensi deforestasi hutan alam hingga 2 juta hektare.

Dalam rangka mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan, pemerintah telah melakukan co-firing biomassa di 33 PLTU pada pertengahan tahun ini, dan ditargetkan untuk berkembang menjadi 52 PLTU pada 2025.

Praktik ini dilakukan dengan mencampur biomassa, seperti pelet kayu, cangkang sawit, atau sekam padi bersama batubara di PLTU. Masalahnya penggunaan biomassa yang bersumber dari limbah, seperti PLTU Jeranjang di NTB dan PLTU Sintang di Kalimantan Barat, terbukti tidak mampu memenuhi keberlanjutan bahan baku.

Tampak dari ketinggian hamparan kebun kayu milik PT Adindo Hutani Lestari (AHL) di Kalimantan Utara./Foto: Auriga Nusantara

Solusi termudah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku yang sangat besar ini adalah dengan biomassa pelet kayu. Hal ini akan mendorong pembangunan kebun kayu atau Hutan Tanaman Energi (HTE) yang sangat masif.

Ancaman deforestasi dari praktik co-firing biomassa pelet kayu tidak dapat terhindarkan. Apalagi jika merujuk data MapBiomas Indonesia, dari total luas tutupan kebun kayu atau biasa disebut Hutan Tanaman Industri (HTI) di 2019, sejumlah 3.500.622 hektare, 38 persen atau 1.330.236 hektare di antaranya berasal dari pembukaan hutan alam.

Co-firing 10 persen biomassa di 52 PLTU membutuhkan biomassa pelet kayu sebesar 10,23 juta ton per tahun. Pembukaan HTE untuk memenuhi kebutuhan biomassa pelet kayu bisa mendorong deforestasi.

Peneliti dari Trend Asia, Mumu Muhajir menyebut, untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu sebesar itu, butuh setidaknya 2,33 juta hektare HTE, setara 35 kali luas Provinsi DKIT Jakarta atau 3.270.000 lapangan sepak bola. Tergantung kepada jenis tanaman energi yang digunakan.

Dari kebun kayu atau HTI yang ada, lanjut Mumu, 14 unit usaha yang berkomitmen menyediakan lahan untuk tanaman energi hanya mampu mengalokasikan sekitar 500 ribu hektare. Besar kemungkinan pembukaan hutan alam dilakukan.

"Jika 38 persen dari pembukaan berasal dari hutan alam seperti yang sudah-sudah, deforestasi dapat mencapai 629.845 hektare hingga 2,1 juta hektare. Apalagi menimbang track record HTI, sepanjang sejarahnya menimbulkan masalah dan tidak transparan,” kata Mumu, dalam pernyataan tertulis yang diterima, Selasa (8/11/2022).

Solusi Palsu untuk Krisis Iklim dan Transisi Energi

Pemerintah tampaknya berfokus untuk mengurangi angka emisi di sisi energi, namun di sisi lain emisi justru dialihkan ke sektor hutan dan lahan. Padahal, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Siti Nurbaya Bakar telah menyampaikan komitmen Net Sink pada 2030 dari sektor Forestry and other Land Use (FoLU) untuk mengatasi krisis iklim, dengan menyerap lebih banyak emisi.

Namun pemerintah justru malah memperlemah ambisi dengan menambah angka deforestasi maksimal dari 325 ribu hektare menjadi 359 ribu hektare per tahun untuk periode 2020-2030. Menteri Siti bahkan berdalih deforestasi tidak boleh menghalangi pembangunan.

Souparna Lahiri dari Asia-Pacific Biomass Working Group mengatakan, masyarakat, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil perlu menyadari bahwa biomassa yang disebut hijau itu membakar hutan. Padahal luas deforestasi secara global terus meningkat dalam 20 tahun terakhir, dan ini harus dihentikan.

"Hutan itu bukan cuma soal karbon, tetapi juga soal keragaman hayati dan faktor pendukung lain seperti daerah tangkapan air. Data IPCC juga menunjukkan deforestasi berkorelasi negatif dengan ketahanan pangan. Penyediaan biomassa yang mendeforestasi hutan, bisa mengancam ketahanan pangan,” ujar Souparna.

Kemudian, klaim penggunaan pelet kayu dari HTE atau kebun kayu telah dibantah dalam seri pertama laporan Trend Asia bertajuk “Adu Klaim Mengurangi Emisi”, yang di dalamnya menunjukkan hitungan co-firing pemerintah hanya netral karbon jika kita tidak menghitung emisi total dari hulu ke hilir, termasuk dari deforestasi hutan alam.

Proses ini menghasilkan hutang karbon yang butuh puluhan tahun untuk dilunasi melalui penyerapan karbon oleh pohon baru. Waktu yang terlalu panjang untuk melawan perubahan iklim.

Menurut Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Biomassa Trend Asia, co-firing biomassa ini hanya upaya kosmetik pemerintah kepada publik untuk transisi energi. Padahal pembangunan kebun kayu energi untuk memenuhi suplai bahan baku biomassa pelet kayu hanya memperkeruh, bukan mengatasi masalah.

"Proyek energi skala besar ini hanya akan berujung pada ketimpangan penguasaan lahan, karena tata kelola lahan yang tidak transparan, dan cenderung dikuasai oleh segelintir orang,“ kata Meike.

Meike melanjutkan, pemerintah juga menyediakan infrastruktur kebijakan di bidang kehutanan melalui perizinan multi usaha dan eksklusivitas proyek ketahanan energi melalui Perpres No. 112 Tahun 2022 dan Rancangan Undang-Undang Energi Baru-Energi Terbarukan yang sudah masuk program strategis nasional (Prolegnas).

"Kebijakan ini memuluskan jalan bagi pengusaha untuk terus berbisnis energi kotor dengan co-firing biomassa dan batu bara, memperpanjang usia PLTU tua, dan berbagai greenwashing untuk mengakses insentif," imbuh Meike.

Bila memang serius ingin bertransisi ke energi bersih, pemerintah seharusnya menghentikan praktik co-firing biomassa, termasuk menghentikan berbagai insentif untuk pembukaan HTE. Menimbang kondisi listrik yang sudah over-supply di jaringan Jawa-Bali-Madura, solusi paling tepat adalah menghentikan proses pembangunan PLTU baru, menyegerakan pensiun dini PLTU yang sudah berjalan, serta mendorong pengembangan energi yang bukan hanya terbarukan, tetapi juga bersih seperti energi surya dan angin.