Komitmen Iklim Indonesia pada COP27 Dipertanyakan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Gambut

Jumat, 11 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Gelombang kritik terhadap pidato Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada World Leaders Summit Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau Conference of the Parties (COP) 27 di Mesir pada 7 November 2022 terus berdatangan.

Kali ini dari Pantau Gambut, yang menilai pernyataan Ma’ruf Amin tentang "Indonesia terus mendorong pemulihan hijau, serta aksi iklim yang kuat dan inklusif", di hadapan masyarakat global pada COP27 itu berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.

Soal gambut misalnya. Pantau Gambut menilai ekosistem gambut memiliki peran penting dalam pengendalian iklim, dan gambut di Indonesia justru dalam kondisi terancam. Saat ini, masih ada 39 persen wilayah konsesi berizin yang beroperasi pada lahan gambut Indonesia.

Secara spesifik, Wakil Presiden juga menyampaikan inisiasi terkait program biodiesel B40. Penting diingat, produksi biodiesel di Indonesia masih sangat bergantung pada sawit.

Sebuah ekskavator mengangkut kayu dari pembukaan lahan gambut di dalam konsesi PT Adindo Hutan di Kalimantan Utara pada 2015. Foto: Greenpeace/Ulet Ifansasti

"Dalam catatan Pantau Gambut, luasan konsesi Hak Guna Usaha (HGU) yang berada dalam ekosistem gambut sejumlah 2.300.122,43 hektare--mayoritasnya merupakan perkebunan kelapa sawit. Setelahnya, secara berturut-turut diikuti oleh konsesi IUPHHK-HTI (1.993.780,37 ha), IUPHHK-HA (569.153,74 ha) dan IUPHHK-RE (336.012,31 ha)," kata Wahyu A. Perdana, Juru Kampanye Pantau Gambut, lewat pernyataan resminya, Kamis (10/11/2022).

Wahyu melanjutkan, komitmen FOLU Net Sink 2030 juga tidak ditunjukan melalui penegakan hukum di lapangan. Dari 482 titik sampel lapangan Pantau Gambut pada area terbakar (burned area), yang diambil dari 39 perusahaan di 5 provinsi (Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat), sebanyak 32,15 peren area bekas terbakar sudah ditanami kembali oleh tanaman ekstraktif, baik itu kelapa sawit ataupun akasia.

Padahal, Peraturan Menteri LHK No. 77 Tahun 2015 sudah jelas menyebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan di areal kerja yang terbakar.

Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan oleh Pantau Gambut, total akumulasi areal terbakar di atas wilayah berizin selama kurun waktu 2015-2019 mencapai 1.020.376,04 hektare. Rinciannya sebanyak 580.764,5 hektare di atas kawasan HGU, 168.988,1 hektare ditemukan di kawasan HTI, 83.575,6 hektare di atas kawasan Restorasi Ekosistem (RE), dan 187.047,9 hektare di atas kawasan HA.

"Masih terjadinya kebakaran pasca tahun 2015 menimbulkan pertanyaan pada perintah pelaksanaan pemulihan gambut di area konsesi. Padahal, para pihak sudah sepakat bahwa bencana karhutla 2015 menimbulkan kerugian multisektoral yang sangat besar."

Pantau Gambut memandang, klaim Ma’ruf Amin untuk mendorong pemulihan lingkungan hijau, serta aksi iklim yang kuat dan inklusif, hanya bisa dicapai jika ada perhatian serius pada ekosistem penting seperti gambut.

"Dampaknya jelas penting dalam perubahan iklim. Ketidakseriusan pemerintah dalam meninjau izin, dan menegakkan hukum pada berbagai kasus kebakaran hutan, dan konsesi yang berada di ekosistem gambut, hanya akan menjadi langkah mundur dari komitmen atas FOLU Net Sink 2030 yang disampaikan Wapres di COP27," tutup Wahyu.