Perhelatan G20 Bungkam Ruang Demokrasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 18 November 2022

Editor :

BETAHITA.ID - Gegap gempita kehebohan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali dinilai telah membungkam demokrasi, solusi palsu dan pengkhianatan konstitusi. Perhelatan berjudul “Recover Together, Recover Stronger” ini dianggap hanya untuk memperkuat transaksi untuk memperkaya oligarki dari negara penyumbang tiga perempat emisi global.

Alih-alih melibatkan masyarakat dalam pembicaraan nasib masa depan manusia dan lingkungan tersebut, pemerintah justru membungkam partisipasi publik demi mengamankan citra pemerintah di mata internasional.

Segala aktivitas masyarakat sipil yang diselenggarakan di Bali mendapatkan intimidasi dan pembubaran dari aparat negara, termasuk masyarakat yang menjadi korban langsung dari kerusakan lingkungan.

Bagi masyarakat sipil, situasi di Bali menjadi mencekam karena jumlah personel keamanan yang berlebihan. Sementara itu, para pemimpin negara justru membahas berbagai “solusi palsu” pencegahan krisis iklim.

Presiden Joko Widodo melewati sejumlah bendera negara-negara peserta Group of Twenty (G20). Dok Instagram @jokowi

"Kami sendiri mencoba bertanya kepada masyarakat selama di Bali dalam diskusi bersama mahasiswa di Universitas Udayana. Kami membahas soal energi bersih dan demokrasi, ternyata ruang hidup rakyat semakin sempit," ujar Pratiwi Febri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), melalui pernyataan tertulis Gerak Rakyat, Rabu (16/11/2022).

Gerak Rakyat sendiri merupakan aliansi masyarakat sipil yang terdiri dari 350 Indonesia, XR Indonesia, Satya Bumi, Yayasan Pikul, Public Virtue Research Institute, Walhi, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Lembaga Peradaban Luhur, Aksi! For Gender, Social, and Ecological Justice, Trend Asia, dan YLBHI.

Pemerintah, lanjut Febri, selalu menyebut pembangunan yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat, nyatanya justru banyak warga dimiskinkan dan dimarginalkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Berbagai perampasan lahan terjadi, disertai dengan kriminalisasi dan pembungkaman.

"Alam dirusak oleh sumber energi yang tidak bersih,” lanjut Febri.

Pemerintah seharusnya tak perlu khawatir dan membuka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi masyarakat sipil. Forum KTT G20 yang berlangsung di Bali saat ini hanya menjadi forum eksklusif dari oligarki yang membajak ruang hidup masyarakat. Perlawanan masyarakat sipil atas gagasan elit dibungkam demi narasi tunggal milik pemerintah.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjunak mengatakan, dua pekan terakhir, atau bahkan sebelumnya juga adalah periode represif. Seperti dialami Greenpeace, saat yang ingin berkampanye kreatif dengan kampanye bersepeda sepanjang pantai utara (pantura) Jawa dan mengunjungi komunitas terdampak krisis iklim, seperti masyarakat terdampak kenaikan permukaan laut di Pekalongan, Demak, dan Semarang, masyarakat yang mengalami pencemaran batu bara di Marunda, dan wilayah tragedi Lapindo.

"Namun, aksi kreatif dan damai tersebut dibenturkan dengan kekerasan lewat organisasi massa yang dirancang untuk menghentikan kami di Probolinggo,” ungkap Leonard.

Represifitas negara yang terjadi saat pesta elit G20 ini menjadi bukti kuat bahwa demokrasi di Indonesia yang dijamin oleh konstitusi semakin bergerak mundur.

Presidensi G20 bukan sarana untuk pemulihan masyarakat, perempuan miskin kota, petani, buruh migran, perempuan marginal yang selama ini terhimpit oleh investasi yang merusak lingkungan hidup. Ratusan miliar uang negara habis digelontorkan untuk mengamankan kekayaan para pemimpin negara yang memiliki banyak masalah Hak Asasi Manusia di negaranya.

Kepala Kampanye dan Pelibatan Publik Trend Asia, Arip Yogiawan mengatakan, pihaknya mendorong demokratisasi energi yang tidak pernah jelas pengelolaannya dan rencananya oleh pemerintah. Sumber daya yang vital bagi rakyat berada di bawah penguasaan negara.

"Tapi kita lihat bahwa pengadaan energi begitu korup. Ia merusak alam dan diprotes dimana-mana dan merusak ruang hidup rakyat. Banyak proyek transisi energi dan solusi palsu yang ternyata malah mendorong perusakan alam, air, polusi, juga memiskinkan rakyat,” ujar Arip.

Arie Kurniawati dari Solidaritas Perempuan menambahkan, bukan rakyat yang difasilitasi untuk recover oleh negara, bukan perempuan yang kesulitan mengakses air bersih, kesehatan, dan pelayanan publik. G20, menurutnya, malah menjadi forum untuk investor yang memanfaatkan pandemi, krisis iklim, dan lainnya untuk memperkaya diri.

"G20 terus bicara tentang “investasi” terhadap perempuan, tapi mereka tidak mengakui adanya ketimpangan sistemik yang menghalangi kesetaraan," kata Arie.

"Mereka menutupi fakta bahwa ada masalah sistemik dan mengajukan solusi-solusi palsu. Perempuan yang berdiskusi dan menyampaikan aspirasinya justru diteror, dibuntuti, dan dipantau sepanjang perhelatan G20. Kita kembali ke era otoriter,” imbuh Arie.