Singkong Pahit di Food Estate Kalteng

Penulis : Aryo Bhawono

Food Estate

Selasa, 22 November 2022

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Walhi Kalimantan Tengah (Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalimantan Tengah) melakukan pengamatan di lima desa wilayah pengembangan Food Estate Kalteng setelah proyek ketahanan pangan pemerintah itu berjalan selama dua tahun. Gagal panen membayangi program ini, penyebabnya ketidakcocokan karakteristik tanah dengan jenis tanaman yang ditetapkan pemerintah. 

Lima Desa itu adalah Tewai Baru, Desa Lamunti, Desa Talekung Punei, Desa Pilang, dan Desa Henda.

Sekitar 300 hektar tanah berpasir sudah ditanami singkong sejak satu tahun 2021 di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Padahal tanah dengan karakteristik berpasir kurang memadai untuk mendukung upaya bercocok tanam. 

Panenan singkong milik warga pun tidak sesuai harapan. Selain ukurannya kerdil, umbi singkong yang dihasilkan juga berasa pahit.

Umbi hasil Food Estate di Desa Tewai Baru. Sumber: Walhi Kalteng

“Sebuah penelitian menyebutkan rasa pahit pada singkong mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi dan berbahaya bagi tubuh manusia. Dengan adanya kandungan sianida yang ada di dalamnya, singkong jenis ini memerlukan proses pengolahan yang lebih panjang untuk bisa dikonsumsi,” ucap Pengakampanye Wahyu A Perdana. 

Kegagalan juga terjadi di Desa Lamunti, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, yang mendapat instruksi untuk menanam padi. Karakteristik tanah gambut tipis di desa itu membuat hasil panen padi yang diujicobakan tak memenuhi target produksi skala besar. Panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para petani penggarap.

“Jenis padi yang diberikan pemerintah nggak cocok dengan karakter tanah kami, jadi padi tidak dapat tumbuh baik dan menyebabkan hasil panennya rendah” ujar Sio Gatak (63) yang merupakan Ketua Poktan di Desa Lamunti, seperti dikutip dari hasil pemantauan Walhi Kalteng.

Bantuan pemerintah yang setengah-setengah juga menjadi alasan gagal panen program Food Estate. Masyarakat yang mengajukan pembangunan dan pendampingan penggunaan teknologi pengairan justru sering tidak mendapat respons pemerintah. 

Padahal, saluran irigasi penting untuk membantu petani mengelola sistem pengairan lahan, terutama untuk mengalirkan air keluar saat lahan tenggelam. Pasalnya, lahan yang tenggelam membuat tanaman padi jadi rusak atau  bahkan mati. 

Sementara di Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya, Pulang Pisau, bantuan pemerintah berupa pipa buka tutup air untuk mengatur sistem pengairan di lahan masyarakat tidak disertai dengan sosialisasi cara penggunaannya. Petani merasa alat yang dihibahkan terlalu canggih untuk digunakan, sehingga pipa tidak digunakan dan bantuan menjadi sia-sia. 

Di Desa Pilang, di kecamatan yang sama dengan Desa Henda, pemerintah memberikan benih dan kapur saat lahan belum benar-benar siap ditanami. Sementara lahan disiapkan, bibit dan kapur pun harus disimpan dalam waktu yang cukup lama. Masyarakat pun akhirnya harus membeli sendiri bibit padi yang baru untuk ditanam. 

Sedangkan bantuan kapur bahkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal karena penggarapan lahan yang dilakukan oleh kelompok TNI tidak benar- benar bersih. Mereka hanya menumbangkan pohon dan menyisakan batang kayu hingga akar pohon.

Wahyu menyebutkan kesalahan pemerintah di proyek ini menunjukkan serampangnya pemerintah dalam melakukan kajian pelaksanaan Food Estate. Alhasil, ekosistem, terutama gambut,  yang sudah rusak tidak akan bisa dikembalikan seperti sedia kala, atau paling tidak membutuhkan waktu yang sangat lama. 

Lima desa lokasi pengamatan food estate di Kaltegg oleh Walhi Kalteng. Sumber: Pantau Gambut

Selain itu tercatat konflik lahan dan terancamnya sumber mata pencaharian warga cukup kental dalam proyek ini. Konflik antara pemerintah dengan masyarakat umumnya terjadi karena adanya perbedaan klaim kepemilikan lahan. Masyarakat mengklaim kawasan hutan yang masuk ke dalam program Food Estate merupakan tempat menggantungkan hidup tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada secara turun temurun. 

Sekitar 700 hektare lahan Desa Tewai Baru, yang sudah dibuka oleh program Food Estate malah membuat sumber mata pencaharian mayoritas warganya hilang. Jandra (60), salah satu warga Desa Tewai Baru bercerita jika dirinya dan masyarakat desa dulunya biasa memanfaatkan hasil hutan kayu maupun non kayu dari hutan di sekitar desanya. Dirinya menambahkan, dulunya hutan berisi pepohonan yang besar dan rapat, sehingga mereka biasa menggunakan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain Jandra, Epel Lunce (69) juga memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan. “Lahan saya sekitar 3 hektare yang masuk ke dalam program (Food Estate) langsung digarap secara sepihak tanpa adanya koordinasi, bahkan melakukan ganti rugi juga tidak”, jelasnya.