PLTU Batu Bara di Sumatra Dinilai Matikan Ruang Hidup Warga

Penulis : Tim Betahita

Tambang

Senin, 28 November 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Pulau Sumatra dinilai merugikan dan merampas ruang hidup masyarakat. Dampak negatif itu mulai dari kampung tergusur, mata pencaharian hilang, penyakit, hingga konflik sosial. 

Hal itu diungkapkan oleh akademisi dan aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Jejaring Sumatra Terang Untuk Energi Bersih dalam webinar bertema “Mengapa 3,7 Gigawatt PLTU Batu Bara di Sumatra Harus Dimatikan”, Rabu, 23 November 2022. Jejaring mendesak pemerintah segera menghentikan energi fosil batu bara dan mempercepat transisi ke energi terbarukan.  

Zaidun Abdi, perwakilan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh mengatakan, keberadaan PLTU batu bara Nagan Raya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. “Yang diterima warga adalah kehancuran pondasi ekonomi rakyat,” tuturnya. 

Wilayah lain, menurut Zaidun, mengalami hal serupa. Nelayan di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, pun mengalami kemerosotan pendapatan hingga 70 persen sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi. Begitu pula nelayan di Sungai Siak Riau  dan Bengkulu yang kehilangan tangkapan ikan akibat eksploitasi batu bara.

Tempat penyimpanan FABA di PLTU Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Kanopi Bengkulu.

Cerita kerusakan ekonomi tidak hanya pada sektor laut, petani pun mengalami penurunan hasil pertanian. Sumiati Surbakti, direktur Srikandi Lestari Sumatera Utara menyatakan bahwa petani di sekitar PLTU Pangkalan Susu mengalami penurunan hasil panen lebih dari 50%. Petani di Lahat, Sumatra Selatan, yang biasanya mendapat lebih dari 100 karung padi per bidang, kini hanya memanen tidak lebih dari 30 karung.

Dampak kesehatan

Pembakaran batu bara juga diyakini memengaruhi dampak kesehatan masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sedikitnya 7 juta orang mengalami kematian dini per tahun, termasuk sekitar 600.000 anak di bawah usia 15 tahun akibat polusi udara. Jumlah ini tanpa memperhitungkan jutaan yang menderita penyakit kronis terkait polusi udara. 

Prof Budi Haryanto, Guru Besar di Universitas Indonesia, mengatakan pada 2018 terdapat penelitian terhadap 88 PLTU batu bara di seluruh dunia. Penelitian ini melihat kesehatan masyarakat yang bermukim dengan jarak 50 kilometer, 100 kilometer, hingga 1.000 kilometer dari pembangkit listrik. Hasilnya, para peneliti menemukan warga terpapar penyakit mematikan, dengan mayoritas gangguan fungsi paru. 

“Dominan mengalami gangguan fungsi paru seperti kanker paru-paru, asma dan pneumonia bahkan jantung, itu yang ditemukan,” tutur Prof Budi. 

Menurut temuan lapangan Jejaring, warga yang tinggal di sekitar PLTU batu bara di Pulau Sumatra juga rentan terhadap penyakit kulit dan pernapasan. Pada 2021, tercatat 2.547 warga menderita ISPA dan 738 menderita sakit paru kronis di sekitar PLTU Pangkalan Susu. 

Derita serupa dialami warga Sijantang Koto Sawah Lunto, Sumatra Barat. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani, penyakit ISPA menjadi yang terbanyak diderita warga Kecamatan Talawi dengan jumlah penderita mencapai 5.000 orang pada periode 2011-2017. Penyakit ini tetap masuk dalam lima penyakit terbanyak pada tahun 2019 hingga 2021. 

Yesi Sepriani perwakilan dari Posko Lentera, Bengkulu, mengungkapkan bahwa 39 orang warga Teluk Sepang mengalami penyakit kulit yang sulit sembuh. Cerita yang sama juga terjadi di sekitar PLTU Pangkalan Susu dengan jumlah penderita penyakit kulit berjumlah 60 orang. Sementara itu penyakit pernapasan diderita oleh warga yang ada di sekitar PLTU Ombilin dan Pangkalan Susu.

Kerusakan lingkungan

Menurut Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya, pembakaran batu bara juga mencemari Sungai Siak, sumber air PDAM sumber air PDAM bagi warga Kota Pekanbaru. Di Jambi, lalu lalang truk angkutan batu bara dan titik penumpukan batu bara mengepung situs cagar budaya Muaro Jambi. 

Profesor Yusmar Yusuf dari Universitas Riau menyebut persoalan sosial ini sebagai bentuk nyata dari eksploitasi berlebihan terhadap alam lewat PLTU batu bara mulut tambang. 

Ia mengatakan eksploitasi tambang batu bara telah menghilangkan habitat di lingkungan tambang yang berupa hutan atau areal yang tidak ada pemukimannya. Ia menilai saat ini Sumatra menjadi rapuh karena pengeroyokan ekonomi ekstraktif.

“Kondisi ini membuat transisi energi bukanlah pilihan tapi sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda terlalu lama,” kata  Profesor Yusmar.

Di sisi lain, saat ini Pulau Sumatra telah kelebihan daya listrik hampir 2.000 Megawatt (MW). Namun pembangunan PLTU batu bara baru terus berlangsung, khususnya di wilayah Sumatra Selatan. Boni Bangun, Koordinator Perkumpulan Sumsel Bersih menyebutkan saat ini provinsi tersebut surplus daya listrik 1.300 MW. Namun pemerintah terus menambah PLTU batu bara baru seperti PLTU Sumsel-1 dan PLTU Sumsel-8.

"Kami mendesak pemerintah menghentikan konstruksi PLTU Sumsel-1 dan Sumsel-8 karena Sumatra sudah kelebihan daya listrik," ujar Boni.

Ali Akbar dari Kanopi Hijau Indonesia mengatakan laporan Sumatra ini dilaksanakan menyikapi inisiasi negara untuk mempensiunkan dini PLTU batu bara di Indonesia. Pertemuan G20 yang baru saja dilaksanakan di Bali memberikan sedikit pengharapan akan adanya pengakhiran masa penggunaan batubara di Indonesia.

“Kami ingin Sumatra bebas dari energi kotor batubara. Cerita kesengsaraan rakyat yang telah dipaparkan tersebut cukup untuk menjadi dasar agar negara benar dalam mengambil keputusan. Rencana negara untuk berhenti menggunakan batubara bara pada tahun 2060 itu sudah terlalu terlambat,” pungkas Ali.