Pemerintah Segerakan Penyerahan DIM RUU EBT

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Senin, 05 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah akan menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) kepada DPR dalam waktu dekat. Pasal kontroversial masih menyertai rancangan beleid ini dengan masuknya turunan batu bara sebagai energi baru.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif,  mengungkap rencana pemerintah menyegerakan penyerahan DIM RUU EBT dalam Rapat Kerja Bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (29/11). Meski DIM belum diserahkan, ia mengaku telah memberikan draf RUU EBT kepada DPR.

"Secara formal ini (penyerahan DIM) harus melalui Setneg (Kementerian Sekretariat Negara), tapi drafnya kami serahkan," ujarnya, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

RUU EBT merupakan RUU inisiatif DPR RI yang menjadi prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Hal itu berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tertanggal 7 Desember 2021 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024.

Ilustrasi energi terbarukan )lpbi-nu.org)

RUU EBET telah disampaikan oleh DPR RI kepada Pemerintah melalui surat Pimpinan DPR RI Nomor B/11414/LG.01.01/6/2022 tanggal 14 Juni 2022 hal Penyampaian RUU Usul DPR RI yang diterima oleh Pemerintah pada 29 Juni 2022.

Arifin mengatakan pemerintah telah menyusun DIM RUU EBT dengan melibatkan Kementerian/Lembaga lainnya serta asosiasi terkait energi baru dan energi terbarukan.

"RUU EBT ini merupakan upaya untuk melengkapi dan menyempurnakan regulasi di bidang energi baru dan energi terbarukan, serta memberikan landasan pengaturan yang lebih strategis untuk transisi energi dan peta jalan menuju ekonomi hijau," katanya.

RUU EBET, lanjut Arifin, diharapkan dapat mempercepat upaya pencapaian target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 32 persen pada 2030, dan juga pencapaian Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.

Menurutnya, dengan potensi EBT nasional yang besar, beragam, dan tersebar, pemanfaatan EBT diyakini akan meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi.

Selain itu, pemanfaatan EBT juga diyakini bisa berkontribusi terhadap penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan secara bersamaan menumbuhkan industri hijau nasional.

Arifin menambahkan berdasarkan kajian IRENA (2017), pada 2050 energi terbarukan dapat berkontribusi sebesar 44 persen terhadap total upaya penurunan gas rumah kaca dari reference case 45 Gt CO2/tahun menjadi 13 Gt CO2/tahun sesuai dengan skenario REmap.

Ia juga mengklaim teknologi EBT sudah berkembang cepat dan keekonomiannya pun kian kompetitif. Ia mencontohkan PLTS yang pada 2010 membutuhkan biaya sebesar US$4.800 per kW, saat ini sudah berada di kisaran US$500 hingga US$800 per kW bergantung dari kapasitas.

Meskipun tidak sedrastis pada PLTS, penurunan biaya pada PLTB juga terjadi cukup signifikan, sebesar 60 persen hingga 68 persen.

"Di saat yang sama, kita melihat bahwa harga energi yang berbasis fosil berfluktuasi dan menunjukkan kecenderungan semakin tinggi. Sudah saatnya, kita memberikan tempat yang lebih besar pada pemanfaatan EBT yang tersedia melimpah di Indonesia," tandas Arifin.

Namun ketika memasuki tahap harmonisasi di DPR, RUU EBT dipandang menyimpang dari tujuan mendorong transisi energi untuk mencapai netral karbon pada 2060. Tenaga ahli badan legislasi menguatkan posisi energi baru dengan menambahkan sumber energi baru pada RUU yang kini disebut sebagai Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). 

Catatan Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang konsep EBET dalam satu undang-undang tidak efektif dan rancu. Selain itu, dengan masuknya produk turunan batubara seperti batubara tergaskan (coal gasification), batubara tercairkan (coal liquefaction), gas metana batubara (coal bed methane) sebagai sumber energi baru justru akan berpotensi menghambat upaya penurunan gas rumah kaca (GRK).

Emisi GRK yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara pada energi baru jauh lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan. Jumlah emisi yang dihasilkan dari proses konversi 1 kg batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sekitar 3,2 Kg CO2eq atau sekitar 400 gram CO2 eq/kWh (IRENA, 2021). Ini belum termasuk emisi yang ditimbulkan ketika membakar DME yang setara dengan membakar minyak solar sehingga dapat mencapai 631 gram CO2/kWh (asumsi efisiensi kompor DME 40%) sehingga total emisi yang dihasilkan untuk mendapatkan jumlah energi yang sama mencapai 1031 gram CO2/kWh. Sementara emisi daur hidup yang dihasilkan pada penggunaan energi terbarukan, seperti PLTS hanya sekitar 40 gram CO2 eq/kWh (NREL, 2012).