Papua: Menagih Janji Pencabutan Izin Sawit PT PNM
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Minggu, 11 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Perusahaan perkebunan sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih nekat melanjutkan aktivitas usaha perkebunannya di Daerah Lembah Grime Nawa, Distrik Nimbokrang dan Unurumguay, Kabupaten Jayapura, Papua. Hal ini memicu reaksi masyarakat adat di Lembah Grime Nawa dan menuding Bupati Jayapura tidak penuhi janjinya untuk cabut izin perusahaan tersebut.
PT PNM dianggap mengabaikan peringatan yang sebelumnya telah disampaikan oleh pemerintah setempat. Yang mana sebelumnya Bupati Jayapura telah memberikan beberapa surat kepada PT PNM, agar perusahaan tersebut menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan (Februari 2022), surat peringatan dan meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitas pembangunan perkebunan (September 2022 dan November 2022).
Aktivitas keras kepala PT PNM tersebut tentu membuat masyarakat adat Lembah Grime Nawa berang dan semakin hilang kesabaran. Terlebih karena sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Jayapura belum mempunyai sikap keputusan untuk mencabut segala perizinan usaha perkebunan PT PNM, seperti Izin Lokasi, Izin Lingkungan, Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU).
Padahal perusahaan tersebut dinyatakan tidak dapat memenuhi syarat ketentuan dan perusahaan itu telah melakukan kelalaian atas surat peringatan dan pemberitahuan penghentian aktivitas.
Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa juga telah berkali-kali melakukan dialog dengan pemerintah daerah. Pada dialog yang digelar Jumat (9/12/2022), Koalisi meminta pemerintah untuk konsisten dengan janjinya untuk memenuhi tuntutan mencabut segala perizinan usaha PT PNM. Koalisi memandang, Pemerintah Kabupaten Jayapura tidak sungguh-sungguh mewujudkan penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
"Bupati tidak memenuhi janji-janjinya untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan PT Permata Nusa Mandiri yang melanggar hukum, merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat, dan penggundulan hutan," kata Yustus Yekusamun, perwakilan masyarakat adat dan juru bicara Koalisi Lembah Grime Nawa, dalam pernyataan tertulis, Jumat (9/12/2022).
Yustus menganggap, pemerintah terkesan sengaja membiarkan permasalahan yang ada. Di satu sisi perusahaan menjadi arogan dan sewenang-wenang, di sisi lain masyarakat adat resah karena tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah.
Aktivis Perempuan Adat, Rosita Tecuari menambahkan, misi dan keputusan Bupati Jayapura dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan program yang seolah-olah dapat melindungi hak masyarakat adat dan wilayah adat, namun tidak sepenuhnya mutlak memberikan kepastian hak untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Lembah Grima Nawa.
“Kampung adat diakui, tapi masyarakat adat tidak punya hak kuasa dan kelola atas tanah dan hutan adat, karena dikuasai dan dikelola oleh perusahaan. Bagaimana mungkin keputusan yang dihasilkan dapat dijalankan tanpa ada kuasa dan kewenangan masyarakat adat dalam mengatur dan mengelola tanah dan hutan adat,” kata Rosita.
Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa menduga, belum adanya sikap dan putusan untuk pencabutan izin usaha perusahaan dikarenakan adanya kepentingan politik dan ekonomi, yang melibatkan kekuatan pihak-pihak tertentu dan berpotensi terjadinya pelanggaran hukum, dan tindakan koruptif.
Karenanya, Koalisi meminta pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk mengawasi pejabat dan aktor yang berkepentingan dalam jejaring bisnis, serta aliran transaksi keuangan.