PPMAN Minta BPN Selesaikan Konflik Agraria Masyarakat Adat Flores

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Senin, 19 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Ada puluhan konflik agraria di Flores yang sampai kini belum terselesaikan. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera menyelesaikan konflik agraria yang merugikan komunitas Masyarakat Adat di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Permintaan itu disampaikan oleh Koordinator PPMAN Region Bali Nusra Anton Yohanis Bala bersama Staf Bidang Pemantauan dan Dokumentasi Seknas PPMAN Surti Handayani saat bertemu Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni, di ruang kerjanya, pada Selasa, 6 Desember 2022 lalu.

Anton Yohanis Bala mengatakan, konflik agraria yang terjadi di Flores, tidak hanya melibatkan perusahaan sebagai pelaku, tapi juga institusi negara melalui kebijakannya. Mulai dari penetapan kawasan hutan lindung, pertambangan, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN) di Waduk Lambo, Kabupaten Nagekeo. Anton menyebut ada puluhan konflik agraria yang terjadi saat ini di wilayah adat di Flores.

“PPMAN minta semua konflik agraria yang merugikan Masyarakat Adat di Flores, segera diselesaikan,” kata Anton kepada Raja Juli Antoni, dikutip dari AMAN.

Masyarakat Adat Rendu, Ndora, dan Lambo menggandeng Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Santo Yohanes Don Bosco Ende menggelar aksi damai menolak rencana pembangunan Waduk Lambo, di kantor Pemerintahan Kabupaten Nagekeko di Mbay, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)./Foto: AMAN.

Anton mengatakan, konflik agraria sangat merugikan masyarakat adat di Flores. Termasuk kasus penyelesaian tanah eks HGU antara PT Renha Rosari Keuskupan Larantuka dan Masyarakat Adat Suku Tukan di Flores Timur, serta PT Kristus Raja Keuskupan Maumere dan Masyarakat Adat Tana Ai suku Soge dan Goban di Sikka.

Menurut Anton, hingga kini kasus-kasus tersebut masih menemui jalan buntu. Dalam pemaparannya, Anton mengatakan, pemegang HGU adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik.

“Beliau (Raja Juli) sempat tersentak saat diberi tahu pemegang HGU itu adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik. Ada kesan kaget dan heran.”

Anton menjelaskan, sudah pernah ada dialog untuk menyelesaikan kasus konflik agraria itu. Bahkan, pernah terbit dua kali Surat Keputusan (SK) Bupati Sikka pada 2016 dan 2020, sebagai landasan hukum. Tetapi, permasalahan itu tetap tidak pernah tuntas dijalankan oleh pemerintah.

Anton menduga ada semacam kongkalikong atau permainan antara pemerintah daerah (Pemda) dan aparat Kementerian ATR/BPN di level provinsi dan kabupaten untuk memuluskan kepentingan perusahaan milik gereja Katolik dengan menabrak ketentuan hukum yang ada.

“Inilah inti dari maksud kedatangan PPMAN menemui Wakil Menteri ATR/BPN. Kami berharap Wakil Menteri ATR/BPN dapat melakukan pemantauan dan pengawasan atas proses pembaruan HGU agar tidak sewenang-wenang, menabrak aturan hukum, dan merugikan Masyarakat Adat yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” terang Anton.

Menanggapi hal itu, Raja Juli Antoni menyayangkan terjadinya konflik agraria yang melibatkan pihak gereja Katolik ini. Raja menanyakan apakah masyarakat adat punya sejarah penguasaan dan sudah berapa lama menempati lokasi tanah eks HGU tersebut.

Menjawab itu, Anton mengatakan, masyarakat adat sudah lama menempati tanah eks HGU. Ia juga menegaskan kalau masyarakat adat memiliki sejarah asal-usul yang jelas untuk memiliki tanah eks HGU tersebut. Karenanya, lanjut Anton, pihaknya siap untuk kembali ke meja dialog untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria tersebut.

Raja Juli meminta masyarakat adat untuk membuat laporan dan kronologi kasus agar bisa lebih konkret diawasi dan diselesaikan.

“Saya ingin konflik agraria ini cepat selesai,” katanya.