Jokowi Larang Ekspor Bijih Bauksit Mulai Juni 2023

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Jumat, 23 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah Indonesia akan melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Keputusan ini diambil setelah larangan ekspor nikel kalah gugatan Uni Eropa di badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO.

Presiden Jokowi mengumumkan keputusan larangan ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Pelarangan ekspor ini untuk mendorong pengolahan dan pemurnian bauksit dalam negeri. 

"Mulai Juni 2023 pemerintah akan melarang ekspor bijih  bauksit. Saya ulang mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri." kata Jokowi di Jakarta, Rabu (21/12), seperti dikutip dari CNN Indonesia. 

Ia menyebutkan pertimbangan pemerintah memberlakukan pelarangan ini karena empat alasan. Pertama, peningkatan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri. Kedua, meningkatkan penciptaan lapangan kerja baru. Ketiga, meningkatkan penerimaan devisa. 

Presiden Jokowi saat mengumumkan pencabutan larangan ekspor CPO dan produk turunnya melalui kanal resmi Sekretariat Negara RI. Foto: Tangkapan layar/Betahita

Dan keempat, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di Indonesia. 

Jokowi mengatakan larangan ekspor itu dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dari kebijakan larangan ekspor nikel yang mulai diberlakukan pemerintah sejak Januari 2020 yang memberikan manfaat besar ke ekonomi dalam negeri.

Sebelum larangan ekspor nikel mentah berlaku, Jokowi mengatakan nilai perdagangan yang diraih Indonesia dari penjualan produk tersebut hanya 1,1 miliar dolar AS atau Rp 17 triliun.

Setelah larangan ekspor berlaku dan nikel diolah di dalam negeri, nilai ekspor dari bahan mentah itu melonjak 19 kali lipat jadi 20,9 miliar dolar AS atau Rp 326 triliun.

Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo, mengaku memendam kekhawatiran atas pelarangan ini terkait perusakan lingkungan. Pemerintah beralasan pelarangan dilakukan demi nilai tambah. Alasan ini sama dengan dasar keputusan pemerintah melarang ekspor bijih nikel sejak 2020.

“Seharusnya ini diikuti dengan tata kelola dengan baik. Tapi kan selama ini yang terjadi dengan nikel tidak, melakukan tata kelola dengan baik itu tidak terjadi,” ucapnya.

Jika pemerintah hanya menekankan pada nilai tambah maka yang terjadi adalah eksploitasi tanpa memperhatikan pelibatan masyarakat maupun lingkungan. Koalisi LSM #Bersihkan Indonesia sendiri mencatat dalam kasus nikel terjadi deforestasi akibat tambang nikel dan kerusakan karena operasi smelter. 

Hingga saat ini pengelolaan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap nikel sendiri masih bergantung pada teknologi Cina. Artinya, kata dia, tata kelola nikel sendiri masih jauh dari kata baik. 

Selain itu penambahan nilai karena hilirisasi nikel sendiri masih semu. Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, menuliskan artikel bertajuk ‘Penguasa Sudah Buta’ melalui blognya, bahwa bijih nikel diobral pemerintah. Mereka menetapkan harga hanya sekitar seperempat  dari harga di negeri mereka sendiri. Makanya investor, mayoritas dari Cina, berbondong-bondong ke sini. 

Mereka memindahkan pabrik smelter nikel, sebagian kemungkinan dari mesin bekas dan diakui sebagai mesin baru. Ia curiga harganya bijih nikel digelembungkan agar seolah-olah nilai investasinya jumbo sehingga dapat fasilitas bebas pajak (tax holiday), memperoleh tax allowance, investment allowance, dan super deduction tax.

“Hampir semua produk smelter nikel itu mereka ekspor ke negerinya sendiri. Penguasa tak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) karena hampir seluruh produknya mereka ekspor. Tak juga membayar pajak ekspor,” tulisnya.