Kaleidoskop 2022: Solusi Palsu Bajak Transisi Energi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 30 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sekitar 2.654 bencana alam terkait hidrometeorologi dan iklim, yang didominasi banjir, longsor dan cuaca ekstrim terjadi di Indonesia selama 10 bulan pertama 2022. Pemanasan global penyebab bencana iklim itu disumbang oleh penggunaan bahan bakar fosil dan batu bara, selain hutan dan penggunaan lahan. Trend Asia merangkum isu-isu terkait iklim dan transisi energi di Indonesia selama 2022.

Di awal tahun, krisis pasokan batu bara mengakibatkan pemerintah mengawali tahun ini dengan kebijakan pelarangan ekspor batu bara selama sebelas hari pada Januari lalu. Krisis batu bara untuk kebutuhan PLTU domestik ini disebabkan oleh kelakuan produsen batu bara yang mangkir dari kewajibannya memenuhi kebutuhan domestik atau Domestik Market Obligation (DMO), saat harga batu bara melambung.

Tapi kebijakan yang mulanya diberlakukan selama satu bulan, sejak 1 Januari hingga 31 Januari, itu disunat menjadi hanya berlaku 5 hari. Ekspor batu bara kembali dibuka pada 11 Januari 2022, setelah Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan membatalkan aturan dimaksud.

Trend Asia memandang, krisis pasokan batu bara di awal 2022 itu seharusnya membuat pemerintah sadar bahwa ketergantungan terhadap energi kotor akan terus menggiring Indonesia dalam ancaman krisis energi, akibat fluktuasi harga global. Yang terjadi sebaliknya, kebijakan pemerintah di tahun ini justru berbeda arah, praktik transisi energi di Indonesia berjalan mundur.

Sekelompok anak-anak bermain dilatari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Foto: Greenpeace Indonesia

Pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) menjadi contoh. RUU itu seharusnya menjadi langkah transisi ke energi bersih dan berkelanjutan, tapi malah memuat banyak poin yang mendukung solusi palsu dan seolah cenderung memberi insentif, termasuk di antaranya proyek gasifikasi batu bara.

Di samping itu, pada September 2022, Kementerian ESDM justru memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada PT Adaro, tanpa adanya proses evaluasi yang jelas. Adaro merupakan perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, dengan rekam jejak lingkungan dan sosial yang buruk, khususnya bagi warga Kalimantan Selatan.

Ekspansi pertambangan PT Adaro telah menggusur paksa warga Desa Wonorejo. Yang mana warga yang tak bersedia menjual tanahnya tak jarang mendapatkan intimidasi oleh aparat keamanan.

Dengan pemberian IUPK kepada PT Adaro, menimbulkan pertanyaan publik tentang komitmen pemerintah terhadap transisi energi. Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam sepuluh besar penyumbang emisi gas rumah kaca di Dunia, yang didominasi dari sektor energi.

Penggunaan energi kotor batu bara merupakan salah satu penyebab kenaikan suhu global, yang mana pada 2022 semakin terasa dampaknya di seluruh Dunia. Sebagai contoh nyata adalah bencana gelombang panas (heatwave) yang terjadi di pertengahan 2022, di wilayah Eropa dan Amerika. Meski heatwave tak melanda Indonesia, namun cuaca ekstrim di Indonesia juga terjadi di pertengahan tahun kemarin.

Terbitnya kebijakan kontroversial Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022, yang isinya memuat pembebasan royalti sebesar 0 persen bagi perusahaan tambang, seakan-akan memberi "peningkatan nilai tambah" dan memihak pada kepentingan industri ekstraktif. Beleid ini membuat banyak perusahaan tambang ramai-ramai melakukan proyek hilirisasi.

Hilirisasi dimaksud salah satunya proyek gasifikasi batu bara yang ditargetkan secara masif oleh para tambang batu bara raksasa dalam negeri, seperti PT Bukit Asam Tbk., Bumi Group, PT Indika Energy Tbk., dan PT Adaro Energy Tbk. Proyek gasifikasi batu bara ini kemudian semakin kuat diakomodasi oleh pemerintah lewat RUU EBET.

Gejala kemunduran transisi energi di Indonesia lainnya yakni rencana pembangunan 13,5 GW PLTU baru yang ada dalam RUPTL 2021-2030, yang tertulis dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022. Perpres itu juga tidak mengatur tenggat pembatasan pembangunan PLTU baru dan masih diperbolehkannya penambahan PLTU untuk penggunaan industri.

Trend Asia menilai, rencana pembangunan PLTU baru ini akan mempersulit ruang bagi pembangunan energi bersih, sebab keberadaan PLTU baru akan menambah oversupply listrik, khususnya di Jawa-Bali dan Sumatera. Pembangunan PLTU di tengah oversupply listrik ini tentu akan menambah beban keuangan negara, karena skema take or pay, sehingga PLN harus membayar kapasitas yang ada, meski listrik itu sudah tidak diperlukan.

Beban keuangan negara yang diakibatkan oleh PLTU tidak hanya akibat skema take or pay, tapi juga potensi beban keuangan negara akibat bencana. Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Pada 2021, bencana di Indonesia didominasi oleh gempa dan cuaca ekstrim, dan pada 2022 kejadian gempa bumi terjadi berulang kali dengan kekuatan besar,

Cuaca ekstrim merupakan salah satu akibat dari penggunaan PLTU. Selain itu, pembangunan PLTU yang masih terus dilanjutkan tentu berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, dan itu memicu kerugian negara.

Kejadian tsunami pada 2018 contohnya, telah meluluhlantahkan PLTU Panau, Sulawesi Tengah, dan mengakibatkan kerusakan sistem ketenagalistrikan, serta mengakibatkan biaya bencana yang besar. Seharusnya hal itu menjadi peringatan bagi pemerintah untuk berhenti membangun PLTU dan beralih ke energi bersih, terbarukan, adil dan berkelanjutan.

Di penutup 2022, jalan bagi oligarki ekstraktif semakin mulus. Setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan Judicial Review Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pemerintah dan DPR memperkuat posisi oligarki ekstraktif dengan mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-undang predator ini semakin memperburuk posisi rakyat yang menolak keberadaan industri ekstraktif di wilayahnya. Pasal 162 yang ada dalam UU Minerba memudahkan para pebisnis tambang memenjarakan masyarakat, karena dianggap menghalangi pertambangan. Diperkuat pula dengan keberadaan pasal anti-demokrasi dalam KHUP, yang menjadikan masyarakat semakin sulit menyampaikan kritik kepada Presiden maupun lembaga negara.

Trend Asia mencatat, upaya kriminalisasi terhadap warga penolak tambang telah berulang kali terjadi. Di Pulau Wawonii misalnya, kegiatan pertambangan nikel PT GKP yang diduga ilegal tak hanya mengancam keselamatan lingkungan, namun juga memicu intimidasi terhadap warga oleh aparat kepolisian.

Selain Pulau Wawonii, ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat penolak tambang emas juga terjadi di Pulau Sangihe. Selain upaya kriminalisasi terhadap Robison Saul--nelayan penolak tambang, upaya intimidasi juga dialami oleh 14 warga lainnya dari Bawone dan Salurang.

Kemudian di Lombok Timur, warga yang melawan keberadaan PLTU juga diintimidasi oleh keberadaan aparat TNI yang membantu melakukan penggusuran warga.

Sebelum ada KUHP, demokrasi di Indonesia telah berjalan mundur. Dalam perhelatan G20 di Bali, pemerintah melarang kegiatan masyarakat sipil di Bali. Pemerintah menggunakan alat negara untuk mengintimidasi dan membubarkan berbagai macam diskusi yang digelar oleh masyarakat sipil, termasuk diskusi yang diselenggarakan oleh masyarakat terdampak industri ekstraktif yang diselenggarakan di Universitas Udayana.

Jelasnya, adanya KUHP semakin melanggengkan langkah para pebisnis batu bara yang ingin melakukan praktik korupsi. Karena berkurangnya sanksi pidana dalam KHUP. Contohnya, kasus pertambangan tanpa izin di Kalimantan Timur marak terjadi. Bahkan kasus ini diduga melibatkan aparat kepolisian dan laporan warga juga tidak diproses oleh pihak kepolisian.

Fakta ini menguatkan bahwa praktik industri ekstraktif telah terbukti hanya menguntungkan segelintir orang, karena pada kenyataannya PLTU justru menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi warga di sekitarnya.

Co-firing Biomassa dan Solusi Palsu Lainnya

Di tengah kecanduan kronis batu bara, mengejar target angka bauran energi terbarukan dan mengurangi emisi tentu bukan tugas mudah. Transisi menuju energi bersih juga dipersulit oleh kondisi oversupply energi listrik Jawa-Madura-Bali. Sebelum energi bersih bisa masuk, pemensiunan dini PLTU batu bara harus menjadi prioritas utama pemerintah.

Tetapi, pemerintah malah terdistraksi dengan solusi-solusi palsu yang lebih melayani kepentingan-kepentingan oligarki batu bara. Berbagai strategi seperti Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCUS), co-firing ammonia, dan terutama co-firing biomassa, didukung pemerintah sebagai metode mengurangi emisi dan menambah bauran energi terbarukan. Namun, semua strategi ini rawan digunakan untuk memperpanjang usia PLTU dengan mengakalinya dengan embel-embel “hijau”.

Di antara solusi tersebut, co-firing biomassa tampaknya mendapatkan perhatian lebih pemerintah. Co-firing biomassa pun dijadikan bahan jualan oleh pemerintah dalam perhelatan G20 yang digelar di Bali pada November 2022 lalu.

Praktik co-firing biomassa dilakukan dengan cara mencampur 1-10 persen biomassa, seperti pelet kayu (wood pellet), sabut kelapa, atau sekam padi, sebagai bahan bakar oplosan di PLTU batu bara. Per Mei 2022, praktik co-firing ini telah dilakukan di 33 lokasi PLTU.

Pemerintah berencana memperluas praktik ini hingga ke 52 lokasi PLTU di seluruh Indonesia per 2025. Saat ini, mayoritas PLTU yang melakukan co-firing beroperasi dengan porsi oplosan biomassa 1 persen hingga 5 persen. Namun, PLN menyatakan rencana untuk mengembangkan praktik co-firing 10 persen di seluruh PLTU di Indonesia.

Apa implikasinya? Pemerintah kerap menjual praktik co-firing biomassa sebagai strategi murah yang bersih dan netral karbon. Mereka menekankan aspek pemanfaatan limbah yang dijanjikan akan membantu ekonomi rakyat. Namun semua klaim ini bermasalah.

Dalam laporan bertajuk “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi”, Trend Asia menghitung bahwa untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar co-firing biomassa 10 persen yang direncanakan pemerintah, akan dibutuhkan pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas hingga 2 juta hektare, atau setara 35 kali luas Provinsi Jakarta atau 3.270.000 lapangan sepak bola.

Melihat rekam jejak pemerintah yang kerap melakukan pembebasan lahan secara tidak transparan dan represif, pembebasan lahan semasif ini berpotensi besar mendisrupsi kehidupan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat marginal. Selain itu, rekam jejak pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini kerap kali dilakukan dengan cara membuka hutan alam.

Jika praktik serupa dilakukan pada HTE, ada kemungkinan deforestasi besar-besaran. Ironisnya, hal ini akan bertolak belakang dengan misi utama transisi energi untuk melawan perubahan iklim.

Apalagi, klaim netral karbon pemerintah tentang praktik co-firing dari kebun kayu juga banyak ditentang. Dalam laporan Trend Asia bertajuk “Adu Klaim Mengurangi Emisi2”, mengungkapkan, jika dihitung secara menyeluruh dari hulu ke hilir, emisi dari praktik ini akan berujung pada utang karbon yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dilunasi

Daripada memilih strategi yang menjaga kepentingan oligarki ekstraktif, pemerintah harusnya bersikap lebih tegas dalam transisi.

Upaya Transisi Energi Berkelanjutan dan JETP

Praktik baik penggunaan energi terbarukan sebenarnya telah dilakukan di skala daerah, seperti Desa Batu Sanggan, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau yang menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) yang bergantung pada debit air sungai Sanggan.

Tapi, PLTMh yang sebenarnya telah berdiri sejak 2008 itu belum berjalan dengan optimal, sebab kerap terjadi kerusakan pada sistem pembangkit, kebocoran bendungan, hingga faktor cuaca yang mempengaruhi banyak atau tidaknya suplai air.

Karena itu, aliran listrik yang mengalir di sekitar 100 rumah warga sering naik-turun, kadang masyarakat bisa menikmati aliran listrik 24 jam ketika musim hujan, tetapi situasi berbalik ketika debit air menjadi dangkal. PLTMh itu berkapasitas 30 KW, tapi daya yang dialirkan hanya mencapai 25 KW.

Panjangnya nafas PLTMh juga bergantung pada dana iuran masyarakat untuk memperbaiki kerusakan sistem pembangkit, tetapi warga tetap membutuhkan bantuan dana dari pemerintah sebesar Rp200 juta-Rp250 juta untuk perbaikan bendungan. Namun, masuknya PLN ke desa tersebut justru mengancam keberadaan PLTMh milik warga, karena jaringan tiang-tiang PLN yang ditancapkan di 12 desa di Kampar Kiri Hulu.

Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan sampai 417,8 GW, yang hanya baru termanfaatkan tidak lebih dari 2,5 persen. Potensi tertinggi ditemukan dari energi surya yang mencapai 207,8 GW disusul dengan tenaga air sungai sebesar 75 GW, yang saat ini hanya dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,07 persen dan 8,2 persen.

Di Agustus tahun ini, PLN melaporkan capaian bauran EBT pada pembangkit listrik nasional hanya mencapai 12,6 persen dari target Nationally Determined Contribution (NDC) bauran EBT
sebesar 23 persen di 2025. Pada RUPTL 2021-2030 disebutkan, PLN menetapkan kenaikan 51,6 persen pembangkit listrik EBT yang berasal dari tenaga air sebesar 10,4 GW, De-dieselisasi (konversi) Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan beberapa energi lain.

Sejumlah pembangunan dari sumber EBT ini memicu penolakan dari warga yang tidak hanya dibangun secara tidak adil, tetapi juga menghasilkan kerusakan lingkungan ketika proses eksplorasi, misalnya pembangkit panas bumi yang kapasitasnya mencapai 3,4 GW.

Jelang G20 di Bali, pemerintah dan PLN juga sangat ambisius membangun 36 unit pembangkit PLTS berkapasitas 869 KWp. Empat hari sebelum puncak acara KTT G20 di Nusa Dua, Bali, PLTS terapung berkapasitas 100 KWp diresmikan November kemarin.

Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, PLTS tersebut menjadi showcase G20 untuk menunjukkan Indonesia mampu membangun PLTS dengan sumber daya yang ada dalam negeri. Akan tetapi, pembangunan dan rencana pembangunan pembangkit listrik tersebut membutuhkan dana yang tak sedikit serta terkesan hanya gimmick pemerintah karena tidak mempertimbangkan adanya oversupply pembangkit listrik Jawa-Bali.

Upaya percepatan transisi energi didukung dengan mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM) yang resmi diumumkan pemerintah dalam perhelatan G20 di Bali, November lalu. Salah satu skema pendanaan berupa Just Transition Energy Partnership (JETP) yang menggelontorkan uang sebesar USD20 miliar (USD10 miliar dari negara G7 dan sisanya dari sektor swasta) dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun ke depan.

Perjanjian tersebut memfasilitasi untuk pemensiunan dini dan penghentian konstruksi pembangkit listrik tenaga batu bara, mengurangi emisi sektor energi pada 2030, dan mencapai nol emisi pada 2050. Pendanaan JETP ini berbentuk hibah, pinjaman lunak, pinjaman tarif pasar, guarantees, dan pendanaan swasta.

Namun perlu digaris-bawahi, pemerintah masih kontradiktif dalam komitmen iklimnya, karena masih membangun 13,5GW PLTU batu bara di luar PLTU captive untuk industri. Selain itu, dukungan pendanaan untuk akselerasi transisi energi kepada negara berkembang seharusnya bukan berupa pinjaman yang berpotensi menjerat Indonesia dalam lilitan hutang, sementara JETP memiliki risiko tersebut.

Bercermin pada pendanaan JETP Afrika Selatan yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun lalu, ada dominasi utang atau pinjaman lunak dan komersial, sedangkan porsi hibah kurang dari 3 persen. Porsi hibah yang kecil tak cukup untuk membantu Indonesia keluar dari ketergantungan batu bara.

Ancaman korupsi juga terus menghantui, Bank Dunia dalam laporan Elite Capture of Foreign Aid, Evidence From Offshore Bank Account menyatakan, diperkirakan 7,5 persen bantuan asing ke negara penerima bantuan diambil oleh elit koruptor. Dengan demikian, pendanaan JETP harus dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif agar Indonesia mencapai transisi energi yang berkeadilan serta berkelanjutan.

Perjuangan Warga Jadi Harapan Transisi energi

Meski demikian, ada kemenangan kecil dari warga yang membawa harapan untuk percepatan proses transisi energi. Sebagai contoh yakni kemenangan warga dalam kampanye #BersihkanBankmu yang berhasil mendesak Bank BRI menjadi bank nasional pertama yang terang-terangan menyatakan akan menghentikan pembiayaan batu bara.

Inisiatif itu menjadi langkah yang perlu diikuti aktor perbankan lainnya untuk memiliki komitmen pendanaan bebas batu bara. Akan tetapi, BRI belum menunjukkan komitmen pasti untuk menindaklanjuti pernyataannya yang tak lagi mendanai energi kotor.

Perlu menjadi catatan juga, pada Juli 2020 BRI berperan dalam pembangunan beberapa PLTU batu bara, seperti PLTU Jawa 9 dan 10. Pada April 2021 BRI juga terlibat dalam pemberian kredit kepada PT Adaro Energy Indonesia Tbk. sebanyak USD400 juta. Harapan lain juga dibawa oleh warga Indramayu karena berhasil mendesak pemerintah Jepang untuk mundur dari pendanaan proyek pembangunan PLTU Indramayu 2.

Tak hanya itu, masyarakat Cirebon juga memenangkan gugatan pembatalan izin lingkungan pembangunan PLTU Tanjung Jati A berkapasitas 2x660 MW serta fasilitas penunjangnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.

Kemenangan warga Cirebon atas pembatalan izin lingkungan pembangunan PLTU Tanjung Jati A tersebut semakin menguatkan bahwa saat ini telah terjadi perubahan iklim dan pemerintah harus mengambil langkah penting untuk melakukan pencegahan. Transisi energi menuju energi bersih, terbarukan, adil, dan berkelanjutan sudah harus segera dilakukan.