Perppu Cipta Kerja Dianggap Mengancam Masyarakat Adat dan Hutan

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Sabtu, 07 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perppu Cipta Kerja mengadopsi UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat adat tak terlindungi dan pembela lingkungan terancam kriminalisasi. 

Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyebut substansi Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Cipta Kerja tidak banyak berbeda dengan UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. 

"Perppu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup," tuturnya.

Di antaranya adalah soal kawasan hutan. Perppu Cipta Kerja mengadopsi UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. 

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Sebelum direvisi dalam omnibus law, UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi, UU Cipta Kerja, yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perppu, menghapus ketentuan tersebut, untuk kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Perppu Cipta Kerja juga mempertahankan aturan dalam UU Cipta Kerja yang memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan Amdal. Penyusunan Amdal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan Amdal. 

Pasal 'pemutihan' atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga masih dipertahankan. Baik UU maupun Perppu Cipta Kerja tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku. 

UU Cipta Kerja justru memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam perppu, isinya tak jauh beda, hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023.

Selain itu pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang masih muncul dalam Pasal 162 Perppu Cipta Kerja yang isinya sama persis dengan UU Cipta Kerja. Aturan ini berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang. 

Pasal tersebut mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).

"Jadi berdasarkan catatan di atas, pandangan kami soal substansi tidak berubah. UU Cipta Kerja, yang kini dilanjutkan dalam bentuk perppu ini, memang mempreteli kerangka perlindungan lingkungan dan sosial," ujar Andi. 

Deregulasi, kata Andi, dapat dilakukan untuk memangkas aturan penghambat aktivitas ekonomi. Tapi deregulasi dalam UU Cipta Kerja sudah kebablasan hingga menghilangkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.

Ia menilai Perppu Cipta Kerja merupakan langkah pintas negara karena enggan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan pengelabuan dengan memakai dalih persoalan perubahan ikllim dan investasi sebagai alasan kegentingan memaksa. Negara sepertinya 'memaksakan kegentingan' untuk menerbitkan Perppu ini. 

"Kita tidak membutuhkan perbaikan dengan perppu, tapi dengan undang-undang yang proses pembentukannya dilakukan dengan transparan serta menyertakan partisipasi bermakna masyarakat dan stakeholder terkait sesuai putusan MK," tutur mantan Deputi Direktur ELSAM ini.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati, mendesak presiden membatalkan penerbitan perppu tersebut. Seharusnya DPR juga menolak langkah presiden menerbitkan perppu ini. 

"Penerbitan Perppu ini berpotensi besar akan menciptakan kegentingan baru yang memporak-porandakan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik yang sedang kita bangun. Kepemimpinan Presiden Jokowi di periode terakhirnya semestinya mampu memberikan warisan yang baik, bukan malah sebaliknya," ujar Annisa.