Tambang Ilegal: Ismail Bolong dan Kerentanan Konflik Kepentingan

Penulis : Hilman Afif - Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Senin, 09 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus segera membuat sebuah aturan yang membatasi terjadinya konflik kepentingan. Jika tidak, kasus suap seperti yang dijelaskan oleh Ismail Bolong akan semakin menjamur. Bahkan konflik kepentingan bisa menjadi sesuatu yang dianggap normal di tubuh institusi.

Berbisnis di sektor esensial saja seharusnya dilarang, apalagi ini, dilakukan secara ilegal. Semestinya tak ada kata ampun bagi para pelaku. Pemberhentian tidak dengan hormat dan pemidanaan menjadi sanksi wajib bagi para pelanggar.

Belakangan ramai perbincangan perihal video Ismail Bolong yang membocorkan suap para petinggi Polri dalam bisnis tambang. Viralnya video pengakuan itu turut disambut oleh Mantan Ketua KPK, Abraham Samad. Dalam cuitan akun twitter, Ia menyebut banyak ditemukan permasalahan yang harus segera diperbaiki terutama menyoal tata kelola pertambangan.

Ternyata, ini bukan kali pertama kasus keterlibatan Polri dalam tambang ilegal. Di Kalimantan Utara misalnya, Briptu Hasbudi sebagai personel Polairud Polda Kalimantan Utara menjadi tersangka dalam kasus pertambangan emas ilegal.

Salah satu alat berat jenis excavator yang digunakan untuk aktivitas penambangan batu bara ilegal di Tahura Bukit Soeharto./Foto: Dokumentasi Gakkum LHK

Pada Oktober 2022, Hasbudi divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Selor. Polisi aktif yang menjadi bos tambang emas ilegal tersebut dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp2 miliar subsider enam bulan kurungan.

Auriga melalui laporannya pun mengungkap keterlibatan elite politik, pejabat publik, dan bahkan aparat pemerintahan (termasuk kepolisian dan TNI) dalam bisnis pertambangan. Tri Giyarsa, Kepala Badan Geologi di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral di Kutai Kartanegara, turut memberi keterangan  bahwa banyak jenderal menguasai pertambangan di Kutai Kartanegara dan beberapa dari mereka berkomunikasi langsung dengan bupati dalam upaya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Sebagai aparat penegak hukum, bukannya mencegah pelanggaran hukum terjadi, sebagian dari mereka malah menjadi pelaku pelanggaran itu sendiri. Terang-terangan “berselingkuh” dengan bisnis pertambangan batu bara.

Penulis menduga hal ini terjadi karena tidak adanya peraturan yang jelas untuk mengantisipasi suap terjadi. Adanya ruang yang memungkinkan polisi berinteraksi dengan bisnis pertambangan, tentu menjadi celah terjadinya konflik kepentingan.

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 telah mengatur persoalan konflik kepentingan. Peraturan ini mengartikan konflik kepentingan sebagai kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.

Lingkup peraturan ini turut menyasar kepada badan yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintahan maupun penyelenggara Negara lainnya. Jika mengacu pada UUD 45 Pasal 30 Ayat 4 maka Polri sebagai alat Negara di bawah Presiden seharusnya menjadi adressat dari UU Nomor 30 Tahun 2014.

Meskipun Polri telah memiliki Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Usaha bagi Anggota Polri, peraturan ini nyatanya tak cukup untuk mencegah potensi konflik kepentingan di tubuh Polri. Sebab peraturan ini hanya untuk membatasi, tidak untuk melarang.

Mereka masih dibolehkan berbisnis dengan batasan-batasan tertentu. Peraturan ini menjadi tidak layak karena tidak mempertimbangkan kehadiran UU Nomor 30 Tahun 2014.

Hal lain yang memberikan ruang interaksi antara Polri dan bisnis ekstraktif adalah dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Pada Pasal 4 secara terang dituliskan bahwa kepolisian berkewajiban untuk memberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional.

Alih-alih mengamankan objek vital dari gangguan teror, mereka yang bertugas justru memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang untuk berbisnis dan meraup keuntungan pribadi. Jika hal ini tidak segera diperbaiki, maka dengan sangat mungkin institusi terlibat tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan publik.