Perppu Cipta Kerja Hambat Transisi Energi

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Senin, 09 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja memberi keistimewaan pada pelaku industri batubara. Aturan ini mengatur pemberian royalti atau iuran produksi sebesar 0 persen bagi perusahaan batubara yang melakukan produk hilirisasi antara lain berupa Dimethyl Ether (DME). 

Pasal 128 A ayat (1) Perppu Cipta Kerja menyebutkan pemegang IUP atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasional produksi yang melakukan pertambangan dan/atau pemanfaatan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo, menilai perppu yang dikeluarkan di penghujung akhir tahun 2022 merupakan bentuk ketidakseriusan dalam transisi energi. Sebagai negara yang menyepakati Perjanjian Paris dan baru saja menyatakan keseriusan transisi menuju energi terbarukan di COP 27 dan G20, ini adalah langkah kontraproduktif. 

“Pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya fokus mempersiapkan kerangka kebijakan yang meningkatkan pengembangan energi terbarukan, alih-alih terus mendorong penggunaan energi batubara melalui pemanfaatan produk turunannya,” ujarnya.

Tongkang pengangkut batu bara melintas di aliran Sungai Batang Hari, Maret 2022./Foto: Antara Foto/Wahdi Septiawan

Saat ini tekanan atas komitmen iklim global dan tren pendanaan hijau membuat industri batubara secara global dinilai memasuki masa senja. Namun Perppu Cipta Kerja justru berusaha mengamankan pemain batubara dalam negeri dengan meningkatkan serapan pasar domestik, sebagai antisipasi ketika batubara tidak diminati di luar negeri.

“Jika diturut secara kronologis, bukan sekali ini pemain batubara besar tanah air mendapat keistimewaan berbisnis. Pemerintah telah memberi karpet merah untuk praktik hilirisasi batubara lewat serangkaian pembuatan regulasi,” tutur Juru Kampanye Energi Trend Asia.

,Novita Indri, 

Wacana hilirisasi batubara telah masuk dalam pembahasan RUU Minerba hingga disahkan DPR. Substansi hilirisasi batubara kemudian masuk juga dalam UU Cipta Kerja. Pada November 2021, MK menetapkan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. 

Bukan memperbaiki, Presiden Joko Widodo justru menggunakan hak prerogatifnya-di tengah situasi yang tidak darurat, dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Kebijakan ini dibuat untuk menjustifikasi nilai keekonomian proyek hilirisasi batubara. 

Tidak hanya itu, pemerintah juga sedang membuat regulasi turunan lainnya. Seperti Rancangan Keputusan Menteri ESDM tentang harga khusus batubara yang digunakan untuk hilirisasi, dan Rancangan Peraturan Presiden tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga DME. 

Selain meminta kepastian regulasi dan insentif fiskal-nonfiskal, pengusaha batubara selanjutnya juga meminta jaminan ketersediaan pasar untuk produk hilirisasi batubara kepada pemerintah. 

Sekian banyak dukungan insentif-subsidi itu, kata Andri, seharusnya bisa dialihkan untuk membangun ekosistem bisnis energi terbarukan. Mengingat situasi terkini bauran energi terbarukan Indonesia juga masih mencapai angka sekitar 11 persen dari target 23 persen pada 2025. Merujuk studi Trend Asia (2022), tingkat pertambahan energi terbarukan rata-rata per tahun sangat kecil hanya 0,8 persen.

“Segala paket kebijakan yang begitu besar disiapkan untuk mendukung keberlangsungan energi kotor batubara, seharusnya bisa direorientasi untuk menciptakan iklim investasi energi terbarukan yang saat ini masih sangat rendah,” tutur Andri. 

Saat ini, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi perusahaan batubara pertama yang telah mendapat persetujuan pemerintah untuk melakukan hilirisasi. PTBA bersama dua stakeholder lainnya, PT Pertamina, dan Air Products & Chemical akan mengolah batubara menjadi DME. Proyek yang mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) ini telah mulai dibangun sejak Januari 2022 di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan. 

Proyek yang mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) ini diklaim pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor liquid petroleum gas (LPG).

Total investasi proyek PTBA ini mencapai Rp30 triliun. Namun, alih-alih untung, proyek ini dinilai hanya akan meraup kerugian. Studi The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkap proyek ini tidak layak dijalankan karena nilai keekonomian proyek yang tidak masuk akal.

Hasil analisis dalam studi IEEFA menunjukkan, proyek gasifikasi batubara ini tidak hanya akan menimbulkan utang baru sebesar 30 triliun rupiah, tetapi juga akan mengakibatkan kerugian negara sebesar 5,43 triliun rupiah per tahunnya. Nilai kerugian itu jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar setara 273,7 miliar rupiah.

Selain kerugian ekonomi, risiko lingkungan juga tak terhindarkan. Studi AEER (2020) menemukan bahwa proyek gasifikasi batubara ini akan menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun.