Tata Kelola Penerbitan HGU Masih Hadapi Sejumlah Masalah

Penulis : Tim Betahita

Agraria

Sabtu, 14 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Tata kelola penerbitan hak guna usaha (HGU) di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah. Masalah itu dimulai dari lemahnya pengawasan, penyimpangan prosedur dalam penerbitan, dan minimnya digitalisasi sertifikasi HGU. 

Hal itu terungkap dalam kajian terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masalah ini terjadi di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional selaku instansi yang memiliki otoritas penerbitan HGU.  

“Akibatnya, banyak terjadi tumpang-tindih HGU dengan hak tanah lainnya, hutan, dan masyarakat,” kata Deputi Monitoring dan Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, dikutip Tempo, Senin, 6 Januari 2023. 

Data terbaru dari Direktorat Monitoring KPK pada 2022 mencatat, terdapat 1.779 sertifikat yang belum terdigitalisasi dari total 15.441 sertifikat yang telah diterbitkan pemerintah. Secara keseluruhan, luas wilayah HGU di Indonesia mencapai 9,8 juta hektare. 

Foto udara memperlihatkan kawasan hutan yang ditebang perusahaan tanpa HGU di Distrik Jari, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Foto: Yayasan Pusaka

Sertifikat yang belum terdigitalisasi tersebut mencakup 11,52 persen dari total luas nasional. Artinya, luasan yang belum terpetakan mencapai 8,3 juta hektare atau 83,63 persen dari total seluruh wilayah HGU. 

Proses digitalisasi yang tidak kunjung rampung ini menyebabkan masalah pengawasan dan penyimpangan. Menurut Pahala, digitalisasi HGU ini merupakan proses mengubah sertifikat menjadi bentuk digital. Nantinya akan dilengkapi dengan peta lokasi HGU berdasarkan koordinat, sehingga lokasi, luas, dan batas-batasnya dapat terlihat dengan jelas. 

Temuan KPK, anggaran yang disediakan kementerian untuk fungsi pengawasan masih minim. Sistem pengawasan yang berjalan saat ini pun tidak maksimal karena tidak berbasis risiko dan teknologi. 

“Akibatnya, yang terjadi pemegang HGU tidak patuh dalam pelaksanaan kewajibannya,” ujar Pahala. 

Selain itu, penyimpangan dalam prosedur penerbitan HGU juga masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh absennya pedoman teknis bagi pemeriksa di Badan Pertanahan Nasional dalam memeriksa kesesuaian berkas dengan kondisi riil di lapangan. 

Pahala mengatakan, digitalisasi yang belum rampung tersebut berujung pada buruknya pengelolaan data penerbitan. Salah satu masalah yang muncul adalah tumpang-tindih HGU dengan hak tanah masyarakat adat, kawasan hutan, dan pertambangan. Pengelolaan yang buruk ini pun turut memicu kerap terjadinya konflik di level masyarakat. 

Menurut laporan Tempo, berdasarkan pengkajian Direktorat Monitoring KPK dalam empat tahun terakhir, terjadi 31.228 kasus pertanahan. Sebanyak 37 persen merupakan sengketa, 2,7 persen konflik, dan 60 persen perkara. Terdapat juga 244 kasus mafia tanah dalam periode yang sama. 

Buruknya tata kelola penerbitan juga menimbulkan celah korupsi. Menurut Pahala, hal ini terjadi karena adanya mafia-mafia tanah yang bersedia mengurus rekomendasi penerbitan HGU meskipun batas-batasnya masih kabur.