Studi: Krisis Iklim Memperparah Cuaca Ekstrem

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Kamis, 12 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kekeringan tanpa henti di California, curah hujan ekstrem di Inggris, rekor panas di China - beberapa peristiwa cuaca paling parah yang terjadi di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir menjadi jauh lebih mungkin terjadi karena krisis iklim, demikian temuan penelitian baru.

Analisis peristiwa ekstrem pada tahun 2021 dan 2022 menemukan bahwa banyak dari cuaca ekstrem ini diperburuk oleh pemanasan global.  Dalam beberapa kasus, peristiwa ekstrem hampir tidak mungkin terjadi jika manusia tidak mengubah iklim melalui pembakaran bahan bakar fosil.

“Sifat ekstrim dari peristiwa ini sangat mengkhawatirkan,” kata Stephanie Herring, seorang ilmuwan iklim di Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA).

“Kita perlu memahami jika peristiwa ini merupakan tanda bahwa keadaan menjadi lebih panas lebih cepat dari yang kita perkirakan. Kami tahu panas ekstrem akan menjadi lebih buruk, dan penelitian tambahan akan membantu kami mengukur perubahan di masa depan dengan lebih baik,” jelasnya.

Seorang pria membasahi dirinya di pancuran air kala gelombang panas melanda India dan Bangladesh pada 2015. Panas ekstrem saat itu menewaskan lebih dari 4.000 jiwa dan ribuan petani gagal panen sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Foto: Saikat Paul/Shutterstock via The Conversation

Berbagai perubahan iklim sedang diidentifikasi di seluruh planet ini. Risiko kekeringan ekstrem di California dan Nevada diperparah enam kali lipat oleh krisis iklim dan peristiwa iklim La Niña berkala yang kuat dari Oktober 2020 hingga September 2021, sementara, sebaliknya, curah hujan ekstrem yang membanjiri sebagian Inggris pada Mei 2021 adalah 1,5 kali lebih mungkin karena pemanasan global.

Cuaca panas yang parah di China pada Februari 2021 terjadi antara empat dan 20 kali lebih mungkin karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Sementara kekeringan akut di Iran, yang terjadi pada 2021, sekarang 50% lebih mungkin terjadi karena gas rumah kaca umat manusia telah dipompa ke atmosfer.

Sejumlah dampak parah lainnya dapat dikaitkan, setidaknya sebagian, dengan pengaruh krisis iklim. Ini termasuk cuaca yang menyebabkan kebakaran hutan yang berbahaya di Cape Town, Afrika Selatan, pada tahun 2021 menjadi 90% lebih mungkin. 

Peneliti mengatakan, cuaca berawan terus-menerus di dataran tinggi Tibet juga disebabkan oleh peningkatan suhu global bersama dengan angin yang tidak normal dan polusi lokal. Hal ini pun mengurangi pertumbuhan vegetasi. 

Ringkasan penelitian, yang dipresentasikan oleh NOAA pada sebuah konferensi pada hari Senin, mengumpulkan beberapa contoh terbaru dari atribusi iklim, di mana para ilmuwan telah berhasil menunjukkan dengan tepat pengaruh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia terhadap peristiwa cuaca dan bencana individu.

Sebelumnya, Herring mengatakan bahwa para ilmuwan sangat enggan untuk berbicara tentang pengaruh perubahan iklim pada peristiwa diskrit, lebih memilih kerangka probabilistik yang lebih umum. Namun pesan ini telah "berkembang seiring waktu seiring meningkatnya penelitian" menjadi metode atribusi yang lebih tepat.

Dengan menggunakan model iklim yang semakin kuat, bersama dengan pengamatan sejarah, para ilmuwan sekarang dapat memberikan penilaian yang lebih tepat dan cepat tentang pengaruh krisis iklim pada bencana tertentu. Hujan deras yang menyebabkan banjir dahsyat di Nigeria, Niger, dan Chad tahun lalu, misalnya, kemungkinannya 80 kali lebih besar disebabkan oleh krisis iklim, menurut sebuah penelitian.

Herring memperingatkan bahwa banyak suhu yang sekarang terlihat jauh melampaui norma sejarah modern mana pun dan mendorong umat manusia ke keadaan baru yang berbahaya. 

Gelombang panas di Korea Selatan pada Oktober 2021, misalnya, sangat drastis, hampir 7F lebih tinggi dari biasanya, sehingga dianggap sebagai peristiwa yang hanya akan terjadi setiap 6.250 tahun. Tetapi model iklim memperkirakan bahwa hal ini akan menjadi normal baru bagi Korea Selatan pada tahun 2060 jika gas pemanas planet tidak dikurangi secara radikal.

Nasib yang sama mungkin menunggu suhu normal Pasifik barat laut AS, di mana sekitar 600 orang meninggal saat gelombang panas yang membakar melanda wilayah tersebut pada tahun 2021. Sebuah studi selanjutnya menemukan krisis iklim membuat gelombang panas 43 kali lebih mungkin terjadi.

“Perubahan iklim akibat ulah manusia merupakan gangguan ekstrem pada sistem Bumi,” kata Paul Higgins, direktur eksekutif Asosiasi Meteorologi Amerika.

“Kita harus mengharapkannya untuk mengarah pada peristiwa yang lebih ekstrem, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian baru ini. Kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk membantu orang-orang, dan semua kehidupan, berkembang terlepas dari bahaya ini.”

Guardian