Usulan Revisi Aturan PLTS Atap Bisa Hambat Progres Energi Bersih

Penulis : Kennial Laia

Energi

Senin, 16 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pengamat energi dan iklim menilai rencana perubahan aturan mengenai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat menghambat progres capaian energi terbarukan. Aturan itu adalah Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 (Permen ESDM Nomor 26/2021). 

Aturan ini mengatur tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) untuk kepentingan umum. Dalam audiensi publik yang dilakukan Jumat, 6 Januari 2023 lalu, Kementerian ESDM memaparkan sejumlah usulan perubahan substansi. Di antaranya adalah tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem. 

Menurut Juru Kampanye 350.org, Suriadi Darmoko, aturan ini berpotensi merugikan pengembangan pemanfaatan energi surya di dalam negeri. “Penambahan pasal yang mensyaratkan adanya kuota ini mengkhawatirkan karena usulan penetapan kuota ini bisa saja diusulkan secara subjektif berdasarkan kepentingan bisnis dari pemegang IUPTL yakni PT Perusahaan Listrik Negara,” kata Suriadi, Kamis, 12 Januari 2023. 

Menurut Suriadi, rencana revisi tersebut memberikan porsi besar kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku pemegang IUPTL dalam mengusulkan kuota PLTS atap on grid. Prosedurnya, pemegang IUPTL mengusulkan kuota pengembangan PLTS Atap kepada Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. 

Pembangkit Tenaga Listrik di Kupang./Foto: Dok. EBTKE ESDM

Suriadi mengatakan pasal itu dapat menimbulkan konflik kepentingan. “Ada skenario seperti ini: kondisi kelistrikan nasional sedang mengalami pasokan berlebih karena pembangkit skala besar berbasis fosil. Usulan kuota PLTS Atap dari Pemegang Izin IUPTL bisa sangat kecil bahkan mungkin tidak diusulkan kuotanya karena sudah kelebihan pasokan listrik dan masih menyalurkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit fosil yang sudah terlanjur dibangun.” 

“Usulan kuota itu sangat subyektif dan kontraproduktif dengan semangat transisi. Pembangkitan energi terbarukan seharusnya didasarkan potensinya tidak dibatasi dengan usulan kuota. Subjektivitas dalam penentuan kuota inilah yang akan menghambat pemanfaatan potensi energi terbarukan secara maksimal,” tambahnya. 

Menurunkan partisipasi publik dalam mencapai target energi terbarukan

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Energy Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan revisi Permen ESDM Nomor 26/2021 ini akan memangkas keekonomian dan menurunkan minat pengguna PLTS atap di level residensial. 

Pasalnya, selain kuota, revisi Permen ESDM Nomor 26/2021 turut mengusulkan peniadaan ekspor listrik (tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan), biaya kapasitas untuk pelanggan industri dihapuskan (tidak lagi lima jam), dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

Fabby menduga, revisi tersebut merupakan titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity

“Sejak diundangkan pada Agustus 2021 lalu, Permen ESDM No. 26/2021 praktis tidak berjalan karena PLN menolak pelaksanaannya. Akibatnya target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS di 2022 tidak tercapai,” kata Fabby. 

“Tapi AESI menyayangkan bahwa akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh,” tambahnya.

Sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM Nomor 26/2021 (maksimum 100%) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap. 

Dalam usulan perubahan substansi Permen tersebut, pembatasan kapasitas hingga 100% tidak akan diberlakukan kembali melainkan didasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve. 

Menurut Fabby, perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan. Namun teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitannya dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah, serta periode waktu penetapan kuota per liima tahun yang terlalu lama karena dinamika penyediaan listrik.

Selain itu, peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN yang berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar residensial (rumah tangga). Tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi oleh net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari. Tidak adanya ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS atap.

“Survei pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) di 7 provinsi di Indonesia pada 2019 - 2021 menunjukkan bahwa keekonomian menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk menggunakan PLTS atap. Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan yang jelas serta cepat,” Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum. 

Ironisnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTS atap dengan target 3,6 GW pada tahun 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23% justru mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat. Padahal, Marlistya mengatakan, dengan pangsa pasar 20% saja untuk pelanggan golongan R2 dan R3 (3.500 VA ke atas), terdapat potensi 400.000 rumah tangga di seluruh Indonesia - setara dengan 1,2 GWp PLTS atap jika masing-masing memasang minimal 3 kWp. 

Dengan potensi penggunaan tersebar di berbagai kota di Indonesia, pasar PLTS atap residensial juga berkontribusi pada terbukanya lapangan kerja hijau, misalnya teknisi dan pemasang, dan tumbuhnya UMKM pemasang PLTS atap. 

Menurut Marlistya, jika revisi Permen terbaru disahkan dengan klausul usulan saat ini, pertumbuhan dan peluang usaha hijau ini tentunya akan terhambat. AESI dan IESR merekomendasikan net-metering tetap diberlakukan untuk pelanggan residensial dengan perhitungan ekspor-impor yang dapat didiskusikan kemudian.