Panas Ekstrem Ancam 40% Vertebrata Darat pada Akhir Abad Ini

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Senin, 23 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Lebih dari 40% vertebrata darat akan terancam oleh panas ekstrem pada akhir abad ini. Hal itu terjadi di bawah skenario emisi tinggi, dengan temperatur abnormal yang kini menjadi rutin.

Menurut penelitian terbaru, reptil, burung, amfibi, dan mamalia saat ini terpapar peristiwa panas ekstrem dengan frekuensi, durasi, dan intensitas yang meningkat. Ini sebagai akibat dari pemanasan global yang didorong oleh aktivitas manusia, dan menimbulkan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati di planet ini. 

Penelitian tersebut terbit di jurnal Nature, yang menyebut bahwa skenario emisi tinggi pemanasan 4,4C akan berdampak pada 41% vertebrata darat mengalami peristiwa termal esktrem pada 2099.  

Sejumlah daerah akan terkena dampak yang lebih buruk, di mana 100% spesies akan terpapar panas ekstrem. Di antaranya gurun Mojave di Amerika Serikat, Gran Chaco di Amerika Selatan, Sahel dan Sahara di Afrika, serta sebagian Iran dan Afghanistan. Tidak mungkin mengatakan jika daerah ini tidak dapat dihuni, namun kemungkinan lebih banyak spesies akan punah. 

Foto udara bangkai enam jerapah yang mati di Kenya sebelum mencapai reservoir untuk minum. Kekeringan berkepanjangan tak hanya mengancam jutaan warga Kenya, namun juga satwa. Otoritas lokal menyatakan 4.000 jerapah di wilayah tersebut dapat musnah. Foto: Ed Ram/Getty Images

Dalam laporan tersebut, para peneliti memetakan efek panas ekstrem pada lebih dari 33.000 vertebrata darat dengan melihat data suhu maksimum antara tahun 1950 dan 2099. Mereka mempertimbangkan lima prediksi model iklim global berdasarkan berbagai tingkat emisi gas rumah kaca, serta persebaran distribusi darat, untuk mengetahui bagaimana populasi hewan akan terkena.

“Beberapa penelitian telah menunjukkan tren pemanasan iklim baru-baru ini cocok dengan skenario 4.4C jauh lebih baik daripada skenario lainnya,” kata penulis utama Gopal Murali, yang berada di Ben-Gurion University of Negev, Israel saat melakukan penelitian, dikutip Guardian, Jumat, 20 Januari 2023.  

“Kami ingin menyoroti konsekuensi bencana bagi satwa liar jika bumi di bawah skenario emisi yang tinggi dan tidak tanggung-tanggung,” jelasnya. 

Amfibi dan reptil paling terpengaruh, masing-masing 55% dan 51% cenderung mengalami peristiwa panas ekstrem pada akhir abad ini, dibandingkan dengan 26% burung dan 31% mamalia. Amfibi dan reptil paling rentan karena umumnya hidup dalam kisaran suhu yang lebih kecil.

Di bawah pemanasan 3,6C, 29% vertebrata darat akan mengalami kejadian panas ekstrem, menurut laporan tersebut. Ini turun menjadi 6% jika pemanasan dibatasi hingga 1,8C. “Pemotongan emisi gas rumah kaca yang dalam sangat dibutuhkan untuk membatasi paparan spesies terhadap suhu ekstrem,” tulis para peneliti.

Tekanan panas menyebabkan kematian yang dramatis dan dapat membinasakan seluruh ekosistem, seperti yang terjadi pada gelombang panas tahun 2021 di sepanjang pantai Pasifik Kanada, yang menurut perkiraan para ahli telah membunuh lebih dari satu miliar hewan laut

“Gelombang panas semakin sering terjadi. Kita melihatnya setiap musim panas, dengan rekor baru sepanjang waktu, dan berdampak drastis pada satwa liar. Kejadian ini dapat menghilangkan seluruh ekosistem dalam semalam. Tetapi tidak ada penelitian skala besar yang melihat bagaimana peristiwa suhu ekstrem seperti itu akan memengaruhi keanekaragaman hayati di masa depan,” kata Murali.

Tahun lalu, penelitian menemukan bahwa suhu ekstrem membunuh lebih dari 5 juta orang per tahun secara global, dan jumlah kematian terkait panas terus meningkat. 

Uri Roll dari Ben-Gurion University of the Negev mengatakan, masa depan planet bumi suram jika terus mengikuti tren kenaikan suhu saat ini. Pada saat suhu panas, manusia bisa berlindung, minum sebanyak mungkin, dan mendinginkan makanannya. Namun kondisi berbeda bagi hewan. 

“Pada akhirnya, ini akan sangat memengaruhi banyak spesies – dan ini hanyalah satu sisi dari banyak perubahan yang akan terjadi. Kami tidak melihat perubahan habitat atau peningkatan spesies invasif, atau perubahan curah hujan dalam penelitian ini,” kata Roll.