Subur Perdagangan Satwa Ilegal di Marketplace

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Senin, 30 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Platform perdagangan online atau biasa disebut electronic commerce (e-commerce) berperan dalam suburnya perdagangan ilegal satwa liar. Tak terkecuali media sosial Facebook dengan marketplace-nya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, yang dilakukan April 2021 hingga Maret 2022, ada sekitar 996 iklan dari 421 akun penjual menawarkan satwa liar ataupun bagian tubuhnya secara daring (dalam jaringan) di e-commerce.

Dalam paparannya, Analis Kebijakan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik-KLHK, Krismanko Padang mengungkapkan, Facebook Marketplace menempati urutan pertama dalam hal temuan iklan dan akun penjual satwa liar terbanyak, mengalahkan Tokopedia, Shopee dan platform e-commerce lainnya.

Krismanko bilang, sebagian besar jenis satwa yang diperdagangkan secara daring itu merupakan satwa dilindungi. "Ada 45 dari 60 jenis satwa yang termasuk kategori dilindungi,” katanya, dalam webinar Penguatan Kajian Pencegahan Perdagangan dan Peredaran Satwa Liar di Indonesia Berbasis Daring yang disiarkan pada 10 Oktober 2022 lalu.

Ilustrasi burung kakatua maluku (Cacatua moluccensis)./Foto: Walter Oshiro/Birds of the World/Garda Animalia

Taksa burung, lanjut Krismanko, khususnya paruh bengkok (20 jenis) merupakan satwa yang mendominasi perdagangan di marketplace, disusul oleh kelompok burung berkicau (8 jenis). Sementara untuk taksa mamalia (gajah dan harimau) dan reptil (soa payung/Chlamydosaurus kingii dan labi-labi moncong babi/Carettochelys insculpta) merupakan dua taksa lain yang mendominasi perdagangan daring.

"Hasil yang didapat yaitu taksa mamalia (gajah) muncul mendominasi temuan iklan ini dipengaruhi oleh penggunaan keyword saat dilakukan pencarian," kata Krismanko.

Krismanko menyebut, akun-akun penjual yang mengiklankan satwa liar tersebar di 21 provinsi di Indonesia. 3 provinsi dengan akun penjual terbanyak yakni DKI Jakarta (161 akun), Jawa Barat (80 akun) dan Jawa Tengah (55 akun). Analisis sebaran lokasi pemilik akun ini mengacu pada informasi domisili yang tertera di dalam akun.

Lebih jauh, dari banyak akun yang ditemukan, diketahui 4 akun terdeteksi memiliki nilai degree centrality 2. Artinya 1 akun memiliki hubungan dengan 2 jenis marketplace.

Akun-akun tersebut mengiklankan satwa di dua jenis marketplace dengan kombinasi marketplace yaitu Shopee-Lazada, Shopee-Bukalapak, Shopee-Tokopedia dan Tokopedia-Bukalapak. Dalam hal ini, Shopee terdeteksi sebagai salah satu marketplace yang terlihat lebih digemari oleh akun-akun tersebut.

Namun demikian, pada akun yang menggunakan Facebook marketplace dan Kaskus, tidak terdeteksi adanya penggunaan kombinasi marketplace. Hal tersebut tidak mengindikasikan bahwa akun yang terdaftar pada Facebook marketplace dan Kaskus tidak memiliki akun di marketplace lain. Penelusuran lebih lanjut diperlukan untuk mendalami hal tersebut.

Untuk modus operandi dan taktik transaksi perdagangan, Krismanko mengungkapkan, para pemilik akun penjual satwa liar biasanya menggunakan kode huruf dan angka sebagai identitas satwa. Para pemilik akun juga cenderung menyertakan nomor Whatsapp untuk interaksi lebih lanjut. Para pemilik akun juga menggunakan rekening bersama untuk transaksi jual beli satwa.

Platform e-commerce menjadi ladang subur bagi pedagang satwa liar ilegal. Satu penjual satwa liar dapat menggunakan dua platform untuk memperdagangkan secara bersamaan di platform e-commerce tanpa adanya potensi restriksi atau hambatan.

Meskipun dari lima platform e-commerce dan satu platform media sosial yang ditinjau, hanya satu platform e-commerce yaitu Tokopedia yang menyebutkan syarat dan ketentuan kegiatan perdagangan bagi pengguna yakni tidak memperdagangkan satwa yang dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis yuridis yang dilakukan terhadap sembilan peraturan terkait, ditemukan bahwa hampir seluruh peraturan perundangan di Indonesia, termasuk Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, belum mengatur bentuk perdagangan satwa liar secara daring sebagai salah satu modus operandi kejahatan terhadap satwa liar dilindungi.

Berkenaan dengan kegiatan perdagangan daring itu sendiri, merujuk kepada perangkat hukum yang mengatur tentang perdagangan (UU No. 7 Tahun 2014) dan transaksi elektronik (UU No. 11 Tahun 2008) sebagai dua unsur yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Ternyata kedua undang-undang tersebut belum memuat norma mengenai pencegahan terhadap perdagangan satwa liar dilindungi secara daring.

Perdagangan secara elektronik telah diatur pada peraturan turunan UU No. 7 Tahun 2014 yaitu Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019. Namun sayangnya, hal ini masih belum sampai mengatur kegiatan yang melibatkan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan salah satunya berupa pemanfaatan dan peredaran ilegal perdagangan satwa liar secara daring.

Terpisah, terkait marketplace e-commerce, Shopee Indonesia menyatakan bahwa pihaknya melarang aktivitas penjualan satwa yang dilindungi, dan melakukan pemantauan berkala pada seluruh produk di platformnya. Pemilik akun yang melanggar dapat dikenakan sanksi penangguhan, penghapusan akun, hingga tindakan hukum.

“Kami tidak menoleransi segala bentuk penjualan barang yang dilarang pada platform kami karena kami berkomitmen untuk memberikan pengalaman berbelanja yang aman, andal, dan nyaman bagi seluruh pengguna,” ujar Head of Public Affairs Shopee Indonesia, Radynal Nataprawira, dikutip dari The Conversation.

Sedangkan untuk media sosial Facebook, dari Januari sampai Mei 2021, Facebook secara kumulatif menghapus lebih dari 1.953 grup Facebook yang terkait dengan penjualan satwa liar terlarang yang beroperasi di Filipina dan Indonesia, berdasarkan data pemantauan Traffic.

Traffic menyoroti pelanggar berulang Facebook dan grup yang dibuat ulang setelah penonaktifan mengikuti laporan sebelumnya. Pedagang profesional akan terus membuat akun dan laman baru.

Namun, setiap penghapusan dan pemblokiran akun mengharuskan mereka membangun kembali jaringan mereka, proses yang membosankan dan tidak menguntungkan dalam perdagangan yang bergerak cepat. Ini juga menghalangi lebih banyak penjual dan pembeli biasa dengan menciptakan lebih banyak hambatan untuk aktivitas mereka.

"Kami bangga dapat bekerja sama dengan Traffic Southeast Asia untuk menghentikan aktivitas perdagangan lokal di Filipina dan Indonesia. SEA memberi tim kami wawasan berharga yang membantu mendorong perjuangan kami melawan perdagangan satwa liar ilegal secara online dan kami berharap dapat melanjutkan kolaborasi kami di kawasan ini dan sekitarnya," kata Jan Edward Lim, Manajer Rekanan Kebijakan Publik di Facebook.

Facebook adalah anggota Koalisi untuk Mengakhiri Perdagangan Satwa Liar Online, sebuah kemitraan dari 41 perusahaan teknologi yang diadakan oleh Traffic, WWF dan IFAW bekerja sama untuk mengurangi perdagangan ilegal satwa liar melalui platform berbasis web. Melalui kolaborasi ini, Traffic secara rutin berbagi data pemantauan dengan Facebook dan, jika relevan, lembaga penegak hukum lokal tentang pengguna online, halaman, dan grup yang menawarkan satwa langka untuk dijual di platform.

Sejak 2018, anggota perusahaan dalam Koalisi untuk Mengakhiri Perdagangan Satwa Liar Online telah melaporkan pemblokiran atau penghapusan lebih dari 4 juta daftar yang melanggar kebijakan satwa liar yang dilarang.